Halaman

Jumat, 30 November 2012

Beberapa Kaidah yang Berkaitan dengan Kepemimpinan (Imaamah)


Kaidah Pertama : Wajib Berbai’at kepada Imam Muslim yang Tegak Berkuasa dan Bersikap Keras kepada Orang yang Berbai’at serta Ancaman Bagi Orang yang Membatalkan Bai’atnya.
Telah berkata Al-Imam Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Barbahaariy  rahimahullahu ta’ala dalam kitab As-Sunnah karangannya :
(( من ولي الخلافة بإجماع الناس عليه ورضاهم به، فهو أمير المؤمنين، لا يحل لأحد أن يبيت ليلة ولا يرى أن ليس عليه إمام براً كان أو فاجراً ... هكذا قال أحمد بن حنبل )) اهـ .
“Barangsiapa yang diserahi kekhalifahan (kekuasaan) dengan kesepakatan dan keridlaan manusia padanya, maka ia adalah Amiirul-Mukminiin. Tidak halal bagi seseorang bermalam walaupun satu malam dalam keadaan ia berpandangan bahwa tidak ada seorang imam baginya (yang wajib dibai’at), baik ia seorang imam yang baik maupun jahat…… demikianlah yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal….” [selesai].


Hal itu ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya[1]Kitaabul-Imaarah : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar mendatangi ‘Abdullah bin Muthii’ saat peristiwa Hurrah sedang berkecamuk di jaman Yaziid bin Mu’aawiyyah. ‘Abdullah bin Muthii’ berkata : “Berikanlah bantal kepada Abu ‘Abdirrahmaan !”. Ibnu ‘Umar berkata : “Sesungguhnya aku menemuimu bukan untuk duduk-duduk. Akan tetapi aku menemuimu untuk menyampaikan sebuah hadits yang telah aku dengar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
من خلع يداً من طاعة، لقي الله يوم القيامة لا حجة له، ومن مات ليس في عنقه بيعة، مات ميتة جاهلية
“Barangsiapa yang melepaskan ketaatan (dari penguasa), sungguh ia akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat tanpa mempunyai hujjah. Dan barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak ada baiat di lehernya, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyyah”.
‘Abdullah bin Muthii’, ia adalah Ibnul-Aswad bin Haaritsah Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy Al-Madaniy. Ibnu Hibbaan berkata dalam Ats-Tsiqaat[2] :
له صحبة ولد في حياة رسول الله صلى الله عليه وسلم، ومات في فتنة ابن الزبير
“Ia termasuk shahabat, dilahirkan saat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Wafat saat fitnah di jaman Ibnuz-Zubair” [selesai].
Al-Haafidh berkata dalam At-Taqriib :
له رؤية وكان رأس قريش يوم الحرة، وأمره ابن الزبير على الكوفة، ثم قتل معه سنة ثلاث وسبعين
“Ia pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk pemimpin di kalangan Quraisy saat peristiwa Hurrah. Ibnuz-Zubair menyerahinya kekuasaan di wilayah Kuffah, kemudian terbunuh bersamanya (Ibnuz-Zubair) pada tahun 73 hijriyyah” [selesai].
Adz-Dzahabiy berkata dalam Al-‘Ibar[3] pada peristiwa yang terjadi di tahun 63 H :
كانت وقعة الحرة، وذلك أن أهل المدينة خرجوا على يزيد لقلة دينه فجهز لحربهم جيشاً عليهم مسلم بن عقبة
“Saat peristiwa Hurrah, penduduk Madinah memberontak terhadap Yaziid karena (anggapan) sedikitnya (ketaatan) dalam agama. Lalu Yaziid menyiapkan pasukan untuk memerangi mereka yang dipimpin oleh Muslim bin ‘Uqbah” [selesai].
Penyebab pemberontakan penduduk Madinah kepada Yaziid adalah karena ia berlebih-lebihan dalam kemaksiatan.[4]
Al-Haafidh Ibnu Katsiir berkata dalam Al-Bidaayah wan-Nihaayah[5] :
ولما خرج أهل المدينة عن طاعته – أي: يزيد -، وولوا عليهم بن مطيع، وابن حنظلة، لم يذكروا عنه – وهم أشد الناس عداوة له – إلا ما ذكروه عنه من شرب الخمر وإتيانه بعض القاذورات... بل قد كان فاسقاً، والفاسق لا يجوز خلعه، لأجل ما يثور بسبب ذلك من الفتنة ووقوع الهرج – كما وقع في زمن الحرة –
وقد كان عبد الله بن عمر بن الخطاب وجماعات أهل بيت النبوة ممن لم ينقض العهد، لا بايع أحد بعد بيعته ليزيد كما قال الإمام أحمد : حدثنا إسماعيل ابن علية : حدثني صخر بن جورية، عن نافع قال : لما خلع الناس يزيد بن معاوية جمع ابن عمر بنية وأهله، ثم تشهد، ثم قال : "أما بعد، فإننا بايعنا هذا الرجل على بيع الله ورسوله، وأني سمعت رسول
الله صلى الله عليه وسلم يقول : (( إن الغادر ينصب له لواء يوم القيامة، يقال : هذا غدرة فلان )).
وإن من أعظم الغدر – إلا أن يكون الإشراك بالله - : أن يبايع رجل رجلاً على بيع الله ورسوله، ثم ينكث بيعته فلا يخلعن أحد منكم يزيد ولا يسرفن أحد منكم في هذا الأمر، فيكون الفيصل بيني وبينه".
وقد رواه مسلم والترمذي من حديث صخر بن جويرية، قال الترميذي: حسن صحيح
“Ketika penduduk Madinah keluar dari ketaatan – yaitu : terhadap Yaziid - , maka mereka menyerahkan urusan mereka kepada Ibnu Muthii’ dan Ibnu Handhalah. Tidaklah mereka menyebutkan perihal Yaziid – dan mereka itu adalah orang-orang yang paling keras permusuhannya kepada Yaziid – kecuali perkara-perkara (menyimpang) yang mereka sebutkan tentangnya bahwa ia telah meminum khamr dan perbuatannya mendatangi hal-hal yang keji lainnya….. Bahkan ia memang orang yang fasiq. Akan tetapi, walaupun ia orang yang fasiq, tetap tidak diperbolehkan untuk memberontak kepadanya karena akibat yang ditimbulkannya yaitu fitnah dan huru-hara (pembunuhan) – sebagaimana hal itu terjadi pada peristiwa Hurrah.
Adalah ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab dan jama’ah Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam termasuk orang yang tidak ikut membatalkan bai’at. Mereka tidak membaiat seorang pun setelah bai’at yang mereka berikan kepada Yaziid, sebagaimana dikatakan Al-Imam Ahmad[6] : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ulayyah : telah menceritakan kepadaku Sakhr bin Juwairiyyah, dari Naafi’, ia berkata : Ketika orang-orang memberontak kepada Yaziid bin Mu’aawiyyah, Ibnu ‘Umar mengumpulkan anak-anak dan istrinya. Setelah mengucapkan kalimat tasyahud, ia berkata : ‘Amma ba’du. Sesungguhnya kami telah membaiat orang ini (yaitu Yaziid) sesuai dengan bai’at Allah dan Rasul-Nya. Dan sungguh aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‘Sesungguhnya seorang pengkhianat akan ditancapkan padanya bendera di hari kiamat. Akan dikatakan kepadanya : Ini adalah (bendera) pengkhianatan dari si Fulaan’.
Termasuk pengkhianatan yang paling besar – selain dari perbuatan syirik kepada Allah – adalah  : Seseorang yang membaiat orang lain di atas baiat Allah dan Rasul-Nya, kemudian ia membatalkan baiatnya itu. Maka, janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian membatalkan baiat Yaziid, dan jangan pula berlebih-lebihan dalam urusan ini – yang dengan itu akan menjadi pemisah antara aku dengannya’.
Muslim dan At-Tirmidziy telah meriwayatkan dari hadits Shakhr bin Juwairiyyah. At-Tirmidziy berkata : ‘Hasan shahih” [selesai perkataan Ibnu Katsiir].
Hadits di atas terdapat pada Kitaabul-Fitan dalam Shahih Al-Bukhaariy. Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullaahu ta’ala berkata dalam Al-Fath[7] :
وفي هذا الحديث وجوب طاعة الإمام الذي انعقدت له البيعة، والمنع من الخروج عليه ولو جار في حكمه، وأنه لا ينخلع بالفسق
“Dalam hadits ini terkandung kewajiban untuk taat kepada imam yang telah dibai’at, dan larangan keluar (ketaatan) darinya meskipun ia berbuat jahat dalam hukumnya. Ketaatan tersebut tidak batal begitu saja dengan adanya kefasikan” [selesai].
Al-Haafidh Ibnu Katsiir berkata dalam Al-Bidaayah wan-Nihaayah :
ولما رجع أهل المدُنة من عند يزيد، مشى عبدُ الله بن مطيع وأصحابه إلى محمد بن الحنفية، فأرادوه على خلع يزيد، فأبي عليهم.
فقال ابن مطيع : أن يزيد يشرب الخمر، ويترك الصلاة ويتعدى حكم الكتاب.
فقال لهم: ما رأيت منه ما تذكرون، وقد حضرته وأقمت عنده، فرأيته مواظباً على الصلاة متحرياً للخير، يسأل عن الفقه، ملازماً للسنة.
فقال: فإن ذلك كان منه تصنعاً لك.
فقال : وما الذي خاف مني أو رجا حتى يظهر إلي الخشوع ؟ ! أفأطلعكم على ما تذكرون من شرب الخمر ؟ فلئن كان أطلعكم على ذلك: إنكم لشركائه، وإن لم يكن أطلعكم فما يحل لكم أن تشهدوا بما لا تعلموا.
قالوا: إن عندنا لحق، وإن لم يكن رأيناه.
فقال لهم: أبى الله ذلك على أهل الشهادة فقال: ( إِلاَّ مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ)، ولست من أمركم في شيء
قالوا: فلعلك تكره أن يتولى الأمر غيرك، فنحن نوليك أمرنا
قال: ما استحل القتال على ما تريدونني عليه – تابعاً ولا متبوعاً -.
قالوا: قد قاتلت مع أبيك – أي: على بن أبي طالب – رضي الله عنه –
قال : جيئوني بمثل أبي أقاتل على مثل ما قاتل عليه.
قالوا : فمر أبنيك أبا القاسم والقاسم بالقتال معنا.
قال: قو أمرتهما قاتلت.
قالوا: فقم معنا مقاماً تحض الناس فيه على القتال معنا.
قال: سبحان الله ! آمر الناس بما لا أفعله ولا أرضاه إذاً ما نصحت لله في عباده !
قالوا: إذاً نكرهك.
قال : إذاً آمر الناس بتقوى الله، ولا يرضون المخلوق بسخط الخالق.
وخرج إلي مكة
“Ketika penduduk Madinah kembali dari Yaziid, ‘Abdullah bin Muthii’ dan teman-temannya berjalan menemui Muhammad bin Al-Hanafiyyah dengan maksud mengajaknya untuk menurunkan Yaziid (dari tampuk kekhalifahan). Namun Muhammad bin Al-Hanafiyyah menolaknya.
Ibnu Muthii’ berkata : ‘Sesungguhnya Yaziid meminum khamr, meninggalkan shalat, dan berpaling dari hukum Al-Qur’an’.
Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata kepada mereka : ‘Aku tidak pernah melihat apa yang kalian sebutkan itu. Sungguh, aku telah menemuinya dan tinggal bersamanya. Maka, yang aku lihat ia adalah orang yang tekun dalam shalat, bersemangat dalam meraih kebaikan, bertanya tentang fiqh (perkara-perkara agama), dan komitmen terhadap sunnah’.
Mereka berkata : ‘Ia berpura-pura melakukannya di hadapanmu’.
Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata : ‘Apa gerangan yang ia takutkan atau ia harapkan dariku sehingga ia menampakkan kekhusyukan ?! Apakah kalian melihat padanya hal-hal yang kalian sebutkan tentang minum khamr ? Jika memang hal itu nampak oleh kalian, sesungguhnya kalian telah bersekutu dengannya atas perbuatan itu (karena tidak ada pengingkaran dari kalian terhadapnya). Namun jika hal itu tidak nampak oleh kalian, maka tidak halal bagi kalian bersaksi atas sesuatu yang tidak kalian ketahui’.
Mereka berkata : ‘Sesungguhnya hal itu menurut kami adalah benar meskipun kami belum pernah melihatnya (secara langsung)’.
Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata kepada mereka : ‘Allah menolak (sikap seperti itu dari) orang-orang yang memberikan kesaksian melalui firman-Nya : ‘Kecuali orang-orang yang bersaksi dengan hak (benar) sedangkan mereka mengetahuinya’.[8] Dan aku tidak ada urusannya dengan perkaramu itu sedikitpun’.
Mereka berkata : ‘Barangkali engkau tidak suka jika diserahkan urusan (kepemimpinan) kepada selain dirimu. (Jika demikian), maka akan kami serahkan urusan kami kepadamu’.
Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata : ‘Aku tidak memperbolehkan peperangan dengan sebab perkara yang kalian inginkan terhadapku atasnya, (sama saja) baik sebagai pengikut maupun orang yang diikuti’.
Mereka berkata : ‘Sungguh, kami telah berperang bersama ayahmu – yaitu ‘Aliy bin Abi Thaalib – radliyallaahu ‘anhu – ‘.
Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata : ‘Datangkanlah kepadaku orang yang semisal ayahku sehingga aku akan turut berperang dengan sebab yang mendorong ayahku untuk berperang’.
Mereka berkata : ‘Kalau begitu, perintahkanlah kedua anakmu yaitu Abul-Qaasim dan Al-Qaasim untuk berperang bersama kami’.
Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata : ‘Seandainya aku perintahkan mereka berdua (untuk berperang), niscaya aku juga ikut berperang’.
Mereka berkata : ‘Berdirilah engkau di suatu tempat yang disitu engkau mengajak manusia untuk berperang bersama kami’.
Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata : ‘Subhaanallaah, aku memerintahkan manusia dengan sesuatu yang tidak aku lakukan dan tidak pula aku meridlainya. (Jika aku memenuhi permintaan kalian), maka aku bukan termasuk orang yang memberi nasihat di jalan Allah kepada para hamba-Nya’.
Mereka berkata : ‘Kami akan membecimu’.
Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata : ‘Jika begitu, aku akan tetap memerintahkan orang-orang untuk bertaqwa kepada Allah dan agar mereka tidak meridlai makhluk dengan kemurkaan Al-Khaaliq (Allah)’.
Mereka akhirnya keluar menuju Makkah” [selesai perkataan Ibnu Katsiir].
Kaidah Kedua : Barangsiapa yang Memenangkan Peperangan, lalu Mengendalikan Pemerintahan/Hukum dengan Kokoh; maka Ia adalah Imam/Pemimpin yang Wajib Dibai’at dan Ditaati, serta Tidak Boleh Ditentang dan Didurhakai
Telah berkata Al-Imam Ahmad – rahimahullahu ta’ala – dalam masalah ‘aqidah yang diriwayatkan oleh ‘Abduus bin Maalik Al-‘Aththaar :
... ومن غلب عليهم يعني: الولاة – بالسيف حتى صار خليفة، وسمي أمير المؤمنين، فلا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يبيت ولا يراه إماماً، براً كان أو فاجراً
“…Dan barangsiapa yang mengalahkan mereka – yaitu pemimpin negara (sebelumnya) – dengan pedang hingga menjadi khalifah dan digelari Amiirul-Mukminiin, maka tidak boleh bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir bermalam dengan masih beranggapan tidak ada imam (untuk dibai’at), baik imam tersebut seorang yang baik ataupun jahat (faajir)” [selesai].[9]
Al-Imam Ahmad berhujjah dengan riwayat dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, bahwasannya ia berkata :
... وأصلي وراء من غلب
“Dan aku shalat di belakang orang yang menang (dalam perebutan kekuasaan)”.[10]
Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat[11] - dengan sanad jayyid – dari Zaid bin Aslam bahwasannya Ibnu ‘Umar saat jaman fitnah tidak mendatangi seorang amir melainkan ia shalat di belakangnya, dan mengeluarkan zakat hartanya kepadanya.
Dan dalam Shahih Al-Bukhaariy[12], Kitaabul-Ahkaam, Baab Kaifa Yubaayi’ul-Imaaman-Naas (Bagaimana membaiat Pemimpin/Imam Manusia); dari ‘Abdullah bin Diinaar, ia berkata : Aku pernah menyaksikan Ibnu ‘Umar saat manusia berkumpul membaiat ‘Abdul-Malik. Ia berkata :
كتب: أني أقر بالسمع والطاعة لعبد الله عبد الملك أمير المؤمنين، على سنة الله وسنة رسوله ما استطعت، وان بني قد أقروا بمثل ذلك
 “Ia berwasiat : Sesungguhnya aku menyatakan akan mendengar dan taat kepada hamba Allah yang bernama ‘Abdul-Malik, amiirul-mukminiin, berdasarkan sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya sesuai dengan kesanggupanku. Dan sesungguhnya anak-anakku juga menyatakan hal yang semisal dengan itu”.
Maksud perkataan ‘Abdullah bin Diinaar : “saat manusia berkumpul membaiat ‘Abdul-Malik”; yaitu Ibnu Marwaan bin Al-Hakam.
Dan yang dimaksud dengan berkumpul (al-ijtimaa’) adalah berkumpulnya kalimat, karena sebelum itu terjadi perpecahan, yaitu menjadi dua wilayah kekuasaan. Setiap wilayah mendakwakan diri sebagai khilafah yang sah. Mereka itu adalah ‘Abdul-Malik bin Marwaan dan ‘Abdullah bin Az-Zubair radliyallaahu ‘anhu.
Ibnu ‘Umar pada waktu itu melarang berbaiat kepada Ibnuz-Zubair ataupun ‘Abdul-Malik. Namun ketika ‘Abdul-Malik memenangkan pertempuran dan memegang kendali kekuasaan, ia (Ibnu ‘Umar) pun berbaiat kepadanya.[13]
Inilah yang dilakukan Ibnu ‘Umar dalam berbaiat kepada (penguasa baru) yang memenangi pertempuran, yang kemudian dipegang oleh para ulama (setelahnya). Bahkan para fuqahaa’ bersepakat atas hal ini :
Dalam kitab Al-I’tishaam karangan Asy-Syaathibiy[14] disebutkan :
أن يحيى بن يحيى قيل له: البيعة مكروهة ؟ قال: لا. قيل له: فإن كانوا أئمة جور ؟ فقال : قد بايع ابن عمر لعبد الملك بن مروان ،وبالسيف أخذ الملك، أخبرني بذلك مالك عنه، أنه كتب إليه : وأقر لك بالسمع والطاعة كتاب الله وسنة نبيه محمد صلى الله عليه وسلم .
قال يحيى بن يحيى: والبيعة خير من الفرقة
“Bahwasannya pernah dikatakan kepada Yahyaa bin Yahyaa : ‘Apakah baiat itu makruh hukumnya ?’. Ia menjawab : ‘Tidak’. Dikatakan kepadanya : ‘Meskipun itu diberikan kepada para imam/pemimpin yang jahat ?’. Ia menjawab : ‘Ibnu ‘Umar telah berbaiat kepada ‘Abdul-Malik bin Marwaan dimana ia memperoleh kekuasaannya dengan perantaraan pedang. Telah mengkhabarkan kepadaku Malik (bin Anas) tentang hal tersebut, bahwasannya Ibnu ‘Umar berwasiat : ‘Dan aku menyatakan akan mendengar dan taat berdasarkan Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Yahyaa bin Yahyaa berkata : ‘Bai’at itu lebih baik daripada perpecahan” [selesai].
Al-Baihaqiy meriwayatkan dalam Manaaqibusy-Syaafi’iy[15] dari Harmalah, ia berkata :
سمعت الشافعي يقول : كل من غلب على الخلافة بالسيف حتى يسمي خليفة، ويجمع الناس عليه، فهو خليفة
“Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata : ‘Setiap orang yang dapat merebut kekhilafahan dengan pedang, yang kemudian ia digelari dengan khaliifah (setelah memegang tampuk kepemimpinan), dan manusia bersepakat atasnya, maka ia adalah khaliifah (yang sah)” [selesai].
Ibnu Hajar rahimahullahu ta’ala telah mengatakan adanya kesepakatan (ijma’) terhadap perkara ini dalam Al-Fath.[16] Ia berkata :
وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه، وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء، وتسكين الدهماء
Para fuqahaa’ telah bersepakat tentang wajibnya taat kepada sulthaan yang menang (saat merebut kekuasaan) dan berjihad bersamanya. Dan bahwasannya ketaatan kepadanya lebih baik daripada memberontak kepadanya, karena hal itu dapat melindungi darah dan menenangkan rakyat jelata” [selesai].
Penetapan ijma’ juga dikatakan oleh Syaikhul-Islaam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullaahu ta’ala, ia berkata :
الأئمة مجموعون من كل مذهب على أن من تغلب على بلد – أو بلدان – له حكم الإمام في جميع الأشياء...
“Para imam/ulama dari seluruh madzhab telah bersepakat bahwasannya siapa saja yang menguasai satu negeri – atau beberapa negeri - (dari kekuasaan penguasa sebelumnya), maka ia dihukumi sebagai imam dalam segala urusan…..” [selesai].[17]
Asy-Syaikh ‘Abdul-Lathiif bin ‘Abdirrahman bin Hasan Aalusy-Syaikh rahimahullahul-jamii’ berkata :
وأهل العلم .... متفقون على طاعة من تغلب عليهم في المعروف، يرون نفوذ أحكامه، وصحة إمامته، لا يختلف في ذلك اثنان، ويرون المنع من الخروج عليهم بالسيف وتفريق الأمة، وإن كان الأئمة فسقة ما لم يروا كفراً بواحاً ونصوصهم في ذلك موجودة عن الأئمة الأربعة وغيرهم وأمثالهم ونظرائهم
“Dan ahlul-‘ilmi (ulama)…. telah bersepakat untuk taat kepada orang yang mengalahkan mereka dalam perkara yang ma’ruuf. Mereka juga berpendapat wajibnya melaksanakan hukum-hukumnya dan keabsahan kepemimpinannya itu. Tidak berselisih dua orang dalam perkara tersebut. Mereka juga berpendapat terlarangnya memberontak kepadanya dengan pedang dan memecah-belah umat meskipun para penguasa itu adalah orang-orang yang fasiq, selama tidak terlihat kekufuran yang nyata (pada diri mereka).
Keterangan-keterangan atas pernyataan ini dapat diperoleh dari imam empat dan selain mereka dari kalangan ulama” [selesai].[18]
Kaidah Ketiga : Apabila Tidak Berkumpul Syarat-Syarat Imamah pada Penguasa Baru, Akan Tetapi Kekuasaannya Kokoh dan Urusan Negara Berjalan di Tangannya; Maka Tetap Wajib Taat kepadanya dan Tidak Boleh Menentangnya
Al-Ghazaaliy berkata :
لو تعذر وجود الورع والعلم فيمن يتصدى للإمامة – بأن يغلب عليها جاهل بالأحكام، أو فاسق – وكان في صرفه عنها إثارة فتنة لا تطاق، حكمنا بانعقاد إمامته.
لأنا بين أن نحرك فتنة بالاستبدال، فما يلقي المسلمون فيه – أي: في هذا الاستبدال – من الضرر يزيد على ما يفوتهم من نقصان هذه الشروط التي أثبتت لمزية المصلحة.
فلا يهدم أصل المصلحة شغفاً بمزاياها، كالذي يبني قصر ويهدم مصراً.
وبين أن نحكم بخلو البلاد عن الإمام، وبفساد الأقضية وذلك محال.
ونحن نقضي بنفوذ قضاء أهل البغي في بلادهم لمسيس حاجتهم، فكيف لا نقضي بصحة الإمامة عند الحاجة والضرورة ؟ !
“Meskipun terdapat kekurangan dalam hal ke-wara’-an dan ilmu dari orang yang merebut kekuasaan karena dirinya jahil/bodoh terhadap hukum atau bahkan fasiq, dimana jika ia diturunkan akan menimbulkan fitnah yang tidak bisa diatasi, maka kita hukumi kekuasaannya itu sah.
Karena, jika kita mengobarkan fitnah dengan usaha penggantian (kekuasaan), maka yang didapatkan kaum muslimin padanya – yaitu usaha penggantian (kekuasaan) – adalah semakin bertambah buruknya keadaan daripada sebelumnya (yaitu, membiarkan penguasa sebelumnya tetap berkuasa) karena kekurangan dalam persyaratan (imamah). Walaupun kurang dalam hal persyaratan, akan tetapi kemaslahatan yang ada di dalamnya telah dapat dipastikan.
Oleh karena itu, tidak boleh merobohkan/menghilangkan asal kemaslahatan ini begitu saja, karena akan merusak keistimewaan yang terkandung di dalamnya. Perbuatan ini seperti membangun istana dengan meruntuhkan kotanya.
Suatu hal yang mustahil jika kita ingin berhukum (dengan hukum syar’iy) sedangkan negara dalam keadaan kosong dari keberadaan imam dan rusaknya aturan perundang-undangan.
Kita tetap memutuskan terlaksananya hukum dari ahlul-baghyi (pemberontak yang berhasil merebut kekuasaan) pada negeri mereka dikarenakan kebutuhan mereka (akan keberadaan imam). Bagaimana kita tidak memutuskan keabsahan imamah karena alasan kebutuhan dan darurat ?” [selesai].[19]
Asy-Syaathibiy menukil perkataan Al-Ghazaaliy yang semisal dengan ini dalam Al-I’tishaam[20] dalam contoh kasus Al-Mashaalihul-Mursalah :
أما إذا انعقدت الإمامة بالبيعة، أو تولية العهد لمنفك عن رتبة الاجتهاد وقامت له الشوكة، وأذعنت له الرقاب، بأن خلا الزمان عن قرشي مجتهد مستجمع جميع الشروط وجب الاستمرار [على الإمامة المعقودة إن قامت له الشوكة].
وإن قدر حضور قرشي مجتهد مستجمع للورع والكفاية وجميع شرائط الإمامة واحتاج المسلمون في خلع الأول إلى تعرض لإثارة فتن، واضطراب الأمور، لم يجز لهم خلعه والاستبدال به، بل تجب عليهم الطاعة له، والحكم بنفوذ ولايته وصحةإمامته....
“Adapun jika imamah telah resmi ditetapkan dengan baiat atau ia berkuasa berdasarkan ijtihad yang ia tempuh. Kemudian (setelah berijtihad) ia mengumpulkan kekuatan, dan akhirnya manusia tunduk kepadanya, padahal jaman itu tidak ada seorang pun dari tokoh mujtahid Quraisy yang terhimpun padanya syarat (kepemimpinan), maka wajib dipertahankan [kepemimpinan resmi tersebut jika memang kekuasaan ia pegang/kendalikan].[21]
Dan jika waktu itu ditakdirkan muncul seorang mujtahid dari Quraisy yang terkumpul padanya sifat wara’, kecukupan (ilmu), dan terkumpulnya semua syarat-syarat kepemimpinan (imamah); kemudian kaum muslimin ketika hendak menggulingkan penguasa sebelumnya dihadapkan kepastian timbulnya fitnah dan kekacauan berbagai urusan (kehidupan manusia), maka dalam hal ini tidak diperbolehkan untuk menggulingkan dan menggantikannya. Bahkan wajib bagi mereka untuk tetap mentaatinya serta berhukum dengan kekuasaan pemerintah dan keabsahan kepemimpinannya….” [selesai].
Kemudian Asy-Syaathibiy membawakan riwayat dari Maalik bin Anas[22], lalu berkata :
فظاهر هذه الرواية أنه إذا خيف عند خلع غير المستحق وإقامة المستحق أن تقع فتنة وما لا يصلح، فالمصلحة الترك.
وروي البخاري عن نافع، قال :
لما خلع أهل المدينة يزيد بن معاوية، جمع بن عمر حشمه وولده، فقال : إني سمعت رسول الله ( يقول : (( ينصب لكل غادر لواء يوم القيامة ))، وإنا قد بايعنا هذا الرجل على بيعة الله ورسوله، وأني لا أعلم أحد منكم خلعه ولا تابع في هذا الأمر إلا كانت الفيصل بيني وبينه
قال بن العربي :
وقد قال ابن الخياط أن بيعة عبد الله لزيد كانت كرها، وأين يزيد من ابن عمر ؟ ولكن رأى بدينه وعلمه التسليم لأمر الله، والفرار من التعرض لفتنة فيها من ذهاب الأموال والأنفس ما لا يفي بخلع يزيد، لو تحقق أن الأمر يعود في نصابه، فكيف ولا يعلم ذلك ؟
قال وهذا أصل عظيم فتفهموه والزموه، ترشدوا – إن شاء الله -
“Dhahir riwayat ini adalah bahwa jika dikhawatirkan ketika menggulingkan/mencopot orang yang tidak berhak dan menggantikannya dengan orang yang lebih berhak menimbulkan fitnah sertahal-hal yang tidak diinginkan, maka maslahat (yang hendak diraih) tersebut ditinggalkan.
Al-Bukhaariy meriwayatkan dari Naafi’, ia berkata : Ketika penduduk Madiinah memberontak kepada Yaziid bin Mu’aawiyyah, Ibnu ‘Umar mengumpulkan keluarga dan anak-anaknya, dan berkata : “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Akan ditancapkan bendera bagi setiap pengkhianat pada hari kiamat kelak’. Dan sesungguhnya kami telah berbaiat kepada laki-laki ini di atas baiat Allah dan Rasul-Nya. Dan aku tidak tahu salah seorang diantara kalian jika melepaskan baiatnya, atau tidak pula ia mengikuti urusan ini (yaitu berbaiat), akan menjadi pemisah antara aku dengan dirinya”.[23]
Ibnul-‘Arabiy berkata : “Ibnul-Khayyaath berkata : ‘Bahwasannya baiat ‘Abdullah (bin ‘Umar) kepada Yaziid dilakukan karena terpaksa’. Dimana kedudukan Yaziid dibandingkan Ibnu ‘Umar (sehingga dikatakan baiatnya dilakukan secara terpaksa) ? Akan tetapi, Ibnu ‘Umar melakukannya karena pandangan agamanya, ilmunya, ketundukannya terhadap perintah Allah, serta menghindari timbulnya fitnah padanya dari hilangnya harta dan jiwa atas usaha pemberontakan terhadap Yaziid, seandainya pun dapat dipastikan perkara (imamah) dapat kembali kepada yang lebih berhak. (Lantas), bagaimana halnya jika hal itu tidak dapat dipastikan ? (tentu lebih tidak diperbolehkan lagi).
Ini satu pokok yang sangat besar (dalam permasalahan ini), maka pahamilah dan tetapilah ia yang dengannya kalian dibimbing (oleh Allah) – insya Allah –“ [selesai].[24]
Kaidah Keempat : Keabsahan Berbilangnya Imam/Penguasa dalam Keadaan Darurat/Terpaksa, dan Mengambil Setiap Imam di Wilayahnya Masing-Masing dengan Hukum Sebagai Imam A’dham
“Barangsiapa yang tidak membedakan antara keadaan tidak terpaksa dan terpaksa (darurat), maka ia adalah orang yang bodoh akal dan agamanya”.[25]
Syaikhul-Islam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab – rahimahullaahu ta’ala – berkata :
الأئمة مجمعون من كل مذهب على أن من تغلب على بلد أو بلدان؛ له حكم الإمام في جميع الأشياء، ولولا هذا ما استقامت الدنيا. لأن الناس من زمن طويل قبل الإمام أحمد إلى يومنا هذا ما اجتمعوا على إمام واحد، ولا يعرفون أحداً من العلماء ذكر أن شيئاً من الأحكام لا يصلح إلا بالإمام الأعظم
”Para imam setiap madzhab telah sepakat bahwa siapa saja yang menaklukkan suatu negara maka ia berhak menjadi imam (penguasa) dalam membawahi segala urusan. Bila tidak demikian, maka dunia tidak akan berlangsung dengan baik. Hal itu disebabkan manusia selang beberapa lama, sejak sebelum jamannya Al-Imam Ahmad sampai jaman sekarang ini, manusia tidak berkumpul di bawah (kekuasaan) satu imam, dan mereka tidak mengetahui (mendapati) seorang ulama pun yang menyebutkan bahwa : Suatu perkara hukum tidak sah kecuali dengan keputusan Al-Imam Al-A’dham (imam yang membawahi seluruh kaum muslimin di dunia)” [selesai].[26]
Al-‘Allamah Ash-Shan’aaniy berkata dalam penjelasannya terhadap hadits : ‘Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jama’ah, lalu mati; maka kematiannya adalah kematian jahiliyyah’[27] :
قوله : ((عن الطاعة ))، أي : طاعة الخليفة الذي وقع الاجتماع عليه ،وكأن المراد خليفة أي قطر من الأقطار، إذ لم يجمع الناس على خليفة في جميع البلاد الإسلامية من أثناء الدولة العباسية بل استقل أهل كل إقليم بقائم بأمورهم، إذ لو حمل الحديث على خليفة أجتمع عليه أهل الإسلام، لقلت فائدته.
وقوله : (( وفارق الجماعة ))، أي : خرج عن الجماعة الذين اتفقوا على طاعة إمام انتظم به شملهم واجتمعت به كلمتهم وحاطهم عن عدوهم
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : 'keluar dari ketaatan' ; maksudnya ketaatan kepada khalifah yang disepakati, seolah-olah (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) maksudkan khalifah/pimpinan daerah manapun dari daerah-daerah yang ada, karena manusia (sejak) di masa daulah ‘Abbasiyyah tidak bersepakat pada satu orang khalifah di seluruh negeri Islam, bahkan penduduk setiap daerah menyendiri dengan pimpinan yang mengurusi urusan mereka. Dimana kalau hadits itu dibawa/difahami kepada satu orang khalifah yang telah disepakati orang Islam (seluruhnya), maka faedah hadits itu tentu menjadi kecil.
Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘dan memisahkan diri dari jama’ah’; maksudnya keluar dari jama’ah yang orang-orang bersepakat untuk mentaati pemimpin/imam yang mengatur urusan mereka, menggalang persatuan mereka, dan memelihara mereka dari musuh-musuhnya” [selesai].[28]
Al-‘Allamah Asy-Syaukaaniy rahimahullaahu ta’ala berkata saat menjelaskan perkataan penulis kitab Al-Azhar : ‘Tidak sah ada dua imam/penguasa’ :
وأما بعد انتشار الإسلام واتساع رقعته وتباعد أطرافه، فمعلوم أنه قد صار في كل قطر – أو أقطار – الولاية إلى إمام أو سلطان، وفي القطر الآخر كذلك، ولا ينعقد لبعضهم أمر ولا نهي في قطر الآخر وأقطاره التي رجعت إلى ولايته.
فلا بأس بتعدد الأئمة والسلاطين ويجب الطاعة لكل واحد منهم بعد البيعة له على أهل القطر الذي ينفذ فيه أوامره ونواهيه، وكذلك صاحب القطر الآخر.
فإذا قام من ينازعه في القطر الذي ثبت فيه ولايته، وبايعه أهله، كان الحكم فيه أن يقتل إذا لم يتب.
ولا تجب على أهل القطر الآخر طاعته، ولا الدخول تحت ولايته، لتباعد الأقطار، فأنه قد لا يبلغ إلى ما تباعد منها خبر إمامها أو سلطانها، ولا يدري من قام منهم أو مات، فالتكليف بالطاعة والحال هذا تكليف بما لا يطاق.
وهذا معلوم لكل من له إطلاع على أحوال العباد والبلاد ....
فاعرف هذا، فإنه المناسب للقواعد الشرعية، والمطابق لما تدل عليه الأدلة، ودع عنك ما يقال في مخالفته، فإن الفرق بين ما كانت عليه الولاية الإسلامية في أول الإسلام وما هي عليه الآن أوضح من شمس النهار.
ومن أنكر هذا، فهو مباهت ولا يستحق أن يخاطب بالحجة لأنه لا يعقلها
”Adapun setelah tersebarnya Islam dan luasnya dunia Islam serta tempat-tempat saling berjauhan; maka telah dimaklumi bahwa setiap daerah/negara - atau beberapa negara - dipimpin seorang imam atau sulthan. Di wilayah negara lain pun seperti itu. Mereka (penduduknya) tidak perlu melaksanakan perintah dan larangan (peraturan-peraturan) yang berlaku di daerah/negara lain atau negara-negara yang tergabung dalam wilayah penguasa lain tersebut.
Maka berbilangnya imam dan penguasa (yang berlainan daerah kekuasaannya) adalah tidak apa-apa. Setelah dibaiatnya seorang imam, maka wajib bagi setiap orang yang berada di bawah daerah kekuasaannya untuk mentaatinya, yaitu dengan melaksanakan perintah dan larangan-larangannya. Seperti itu pula negara-negara yang lainnya.
Apabila ada orang yang menentang/menyelisihi (imam/sulthan) di dalam suatu negara yang kekuasaan telah dipegangnya dan penduduk telah membaiatnya, maka hukuman bagi orang tersebut adalah dibunuh bila tidak mau bertaubat. Akan tetapi tidak wajib bagi penduduk negara lainnya untuk mentaatinya dan masuk di bawah kekuasannya; karena saling berjauhan kekuasannya. Kadangkala berita tentang imam atau pemimpin tidak sampai pada wilayah-wilayah yang berjauhan, dan dari sana tidak diketahui siapa yang masih hidup atau mati di antara penguasa itu. Maka pembebanan ketaatan dalam keadaan seperti ini adalah pembebanan di luar kemampuan.
Hal ini telah dipahami oleh setiap orang yang memiliki wawasan terhadap keadaan rakyat dan negara....
Maka pahamilah perkara ini, karena sesungguhnya hal ini sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at dan bersesuaian dengan dalil. Dan tinggalkanlah pendapat yang menyelisihinya. Sesungguhnya perbedaan antara daerah kekuasaan pada awal permulaan Islam dengan yang ada sekarang ini adalah lebih jelas/terang daripada matahari di siang hari. Maka orang yang mengingkari masalah ini berarti seorang pendusta, ia tidak perlu diajak bicara dengan hujjah karena ia tidak memahaminya” [selesai].[29]
Al-‘Allamah Ibnu Katsir mengatakan hal yang berbeda dalam permasalahan ini, dan ia menyebutkan pendapat jumhur ulama yang melarangnya (berbilangnya imam dalam waktu yang sama), kemudian berkata :
وحكى إمام الحرمين عن الأستاذ أبي إسحاق أنه جوز نصب إمامين فأكثر إذا تباعدت الأقطار، واتسعت الأقاليم بينهما، وتردد إمام الحرمين في ذلك .
قلت : وهذا يشبه حال الخلفاء من بني العباس بالعراق والفاطميين بمصر والأمويين بالمغرب ...
“Dan Imam Al-Haramain telah mengatakan dari Al-Ustadz Abu Ishaaq bahwasannya ia memperbolehkan pengangkatan dua imam atau lebih apabila negeri-negeri saling berjauhan dan luasnya daerah (kekuasaan Islam) antara keduanya; sedangkan Imam Al-Haramain bimbang/ragu-ragu dalam permasalahan tersebut.
Aku (Ibnu Katsiir) katakan : Kondisi ini seperti kondisi para khalifah Bani Al-‘Abbas (‘Abbaasiyyah) di ‘Iraq, Faathimiyyah di Mesir, dan Umawiyyah di Maghrib….” [selesai].[30]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu ta’ala berkata :
والسنة أن يكون للمسلمين إمام واحد والباقون نوابه، فإذا فرض أن الأمة خرجت عن ذلك لمعصية من بعضها، وعجز من الباقين - فكان لها عدة أئمة، لكان يجب على كل إمام أن يقيم الحدود، ويستوفي الحقوق ....
“Yang menjadi sunnah adalah bahwa kaum muslimin itu hanya memiliki satu imam, dan yang lain adalah para wakilnya. Seandainya jika sebuah umat keluar/memisah darinya karena perbuatan maksiat dari sebagian umat itu, atau karena adaya kelemahan dari yang lain sehingga umat itu memiliki beberapa imam. Maka wajib atas setiap imam (pimpinan negara) untuk menegakkan hukum-hukum had dan memenuhi hak-hak (rakyatnya)” [selesai].[31]
Kaidah Kelima : Para Pemimpin/Imam yang Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam Perintahkan kepada Kita untuk Mentaatinya adalah Para Pemimpin yang Keberadaannya Diketahui, Mempunyai Kekuatan dan Kekuasaan
Adapun imam yang tidak ada wujudnya atau tidak mempunyai kekuasaan sedikitpun, maka ia tidak masuk dalam perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mentaatinya.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu ta’ala berkata :
أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بطاعة الأئمة الموجودين المعلومين، الذين لهم سلطان يقدرون به على سياسة الناس، لا بطاعة معدوم ولا مجهول ولا من ليس له سلطان ولا قدرة على شيء أصلاً
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mentaati para pemimpin/penguasa yang keberadaannya diketahui, yang mempunyai kekuatan sehingga ia mampu/berkuasa untuk mengatur urusan orang-orang (yang di bawah kekuasaannya). Bukan mentaati pemimpin yang tidak ada wujudnya, tidak diketahui, tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan sama sekali” [selesai]. [32]
Tujuan dari kepemimpinan sebagaimana diatur oleh syari’at adalah untuk menegakkan keadilan di tengah-tengah manusia, menampakkan syi’ar-syi’ar Allah ta’ala, menegakkan huduud, dan yang semisalnya. Hal itu tidak mungkin dilakukan oleh imam yang tidak ada lagi tidak diketahui.
Urusan tersebut hanya dapat ditegakkan oleh imam yang ada wujudnya yang diketahui oleh kaum muslimin secara umum, baik ulamanya atau orang awamnya, baik kalangan muda atau orang tua, baik laki-laki maupun perempuan; yang ia mempunyai kekuasaan untuk kelangsungan tujuan-tujuan kepemimpinan (imamah) yang ia emban. Apabila ia memerintahkan untuk menolak kedhaliman dipenuhi, apabila menghukum dengan satu hadd ditegakkan, apabila menghukum ta’zir dilaksanakan hukuman tersebut pada rakyatnya, dan yang semisalnya dari fenomena kekuasaan dan kepemerintahan. Inilah perkara yang Allah wujudkan pada kedua tangannya kemaslahatan kaum muslimin, amannya jalan-jalan, terwujudnya persatuan, dan terjaga kemuliaan orang-orang Islam.
Barangsiapa memproklamirkan dirinya punya kedudukan sebagai penguasa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan dalam mengatur manusia, lalu menyeru sekelompok orang untuk mendengar dan taat kepadanya, atau jama’ah/kelompok orang tersebut membai’atnya sehingga mereka mendengar dan taat kepadanya dengan inisitaif dan kesadaran sendiri, dan yang semisalnya; padahal penguasa yang sah masih berkuasa dengan jelas, maka orang tersebut telah menentang Allah dan Rasul-Nya, menyelisihi hukum syari’at, dan keluar dari jama’ah.
Maka, tidak wajib mentaatinya, bahkan diharamkan. Tidak diperbolehkan mengadukan kepadanya perkara (untuk diputuskan) dan tidak boleh menjalankan hukumnya. Barangsiapa yang membantu atau menolongnya dengan harta, perkataan, atau yang lebih rendah dari itu, sungguh ia (pada hakekatnya) telah memberikan pertolongan untuk merobohkan bangunan Islam, memerangi kaum muslimin, dan menyebarkan kerusakan di muka bumi – sedangkan Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (di muka bumi).
Kaidah Keenam : Menampakkan Penghormatan dan Pengagungan kepada Penguasa Sebagaimana Hal itu Diperintahkan oleh Allah ta’ala
Al-Imam Ibnu Abi ‘Aashim membawakan satu bab dalam kitabnya As-Sunnah : ‘Bab Penyebutan Keutamaan Menguatkan (Kedudukan) Amir dan Menghormatinya’; yang kemudian membawakan hadits dengan sanadnya dari Mu’aadz bin Jabal, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
خمس من فعل واحدة منهن كان ضامنا على الله عز وجل من عاد مريضا أو خرج مع جنازة أو خرج غازيا أو دخل على إمامه يريد تعزيزه وتوقيره أو قعد في بيته فسلم الناس منه وسلم من الناس
“Ada lima hal yang barangsiapa melakukan salah satu diantaranya, ia akan mendapatkan jaminan dari Allah ‘azza wa jalla : Orang yang menjenguk orang sakit, atau keluar mengantarkan jenazah (untuk dikebumikan), berperang (di jalan Allah), menemui pemimpinnya dengan tujuan untuk menguatkannya atau memuliakannya, atau duduk di rmahnya sehingga orang-orang selamat dari kejahatannya dan ia pun selamat dari kejahatan manusia”.[33]
Dan dengan sanadnya dari Abu Bakrah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
السلطان ظل الله في الأرض فمن أكرمه أكرم الله ومن أهانه أهانه الله
“Sulthaan adalah naungan Allah di muka bumi. Maka barangsiapa yang memuliakannya, niscaya Allah akan memulaikannya juga. Dan barangsiapa yang menghinakannya, niscaya Allah akan menghinakannya pula”.[34]
Semisal dengan Al-Imam Ibnu Abi ‘Aashim adalah Al-Imam Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy – yang mempunyai julkan Qawaamus-Sunnah – saat ia berkata dalam kitabnya Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah wa Syarh ‘Aqiidah Ahlis-Sunnah[35] : ‘Pasal Keutamaan Menghormati Amir’; yang kemudian membawakan hadits Mu’adz radliyallaahu ‘anhu di atas.
Telah berkata Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin :
فالله الله في فهم منهج السلف الصالح في التعامل مع السلطان، وأن لا يتخذ من أخطاء السلطان سبيلاً لإثارة الناس وإلي تنفير القلوب عن ولاة الأمور، فهذا عين المفسدة، وأحد الأسس التي تحصل بها الفتنة بين الناس.
كما أن ملء القلوب على ولاة الأمر يحدث الشر والفتنة والفوضى.
وكذا ملء القلوب على العلماء يحدث التقليل من شأن العلماء، وبالتالي التقليل من الشريعة التي يحملونها.
فإذا حاول أحد أن يقلل من هيبة العلماء وهيبة ولاة الأمر ضاع الشرع والأمن.
لأن الناس إن تكلم العلماء لم يثقوا بكلامهم وأن تكلم الأمراء تمردوا على كلامهم، فحصل الشر والفساد.
فالواجب أن ننظر ماذا سلك السلف تجاه ذوي السلطان وأن يضبط الإنسان نفسه وأن يعرف العواقب.
وليعلم أن من يثور إنما يخدم أعداء الإسلام، فليست العبرة بالثورة ولا بالانفعال، بل العبرة بالحكمة ...
“Ingatlah Allah, ingatlah Allah dalam memahami manhaj as-salafush-shaalih dalam berinteraksi dengan penguasa/sulthaan. Tidak boleh menjadikan kesalahan-kesalahan penguasa sebagai alasan untuk memicu kerusuhan di kalangan manusia dan menjauhkan hati mereka dari penguasa. Karena hal itu merupakan inti kerusakan dan salah satu sumber penyebab fitnah/kekacauan di tengah-tengah manusia.
Sebagaimana halnya memenuhi hati (manusia) dengan (permusuhan/kebencian) terhadap penguasa menyebabkan kejelekan, demikian juga memenuhi hati mereka dengan (permusuhan/kebencian) terhadap para ulama menyebabkan diremehkannya kedudukan para ulama. Dan berikutnya bahkan akan meremehkan syari’at yang mereka bawa.
Jika ada seorang yang berupaya menjatuhkan kewibawaan para ulama dan penguasa, maka akan terlantarlah syari’at dan keamanan. Karena jika para ulama berbicara, manusiapun tidak lagi mempercayai ucapan mereka. Dan jika penguasa berbicara, mereka terus-menerus akan menentangnya. Akibatnya, timbullah kejelekan dan kerusakan.
Maka wajib bagi kita memperhatikan jejak salaf dalam menyikapi para penguasa. Wajib pula masing-masing manusia membenahi jiwanya dan mengetahui akibat-akibat dari segala yang diperbuat.
Hendaklah dimengerti bahwa barangsiapa yang memberontak, maka sesungguhnya ia telah membantu musuh-musuh Islam. Bukanlah dinamakan (sebagai) suatu perbaikan jika ditempuh dengan jalan revolusi atau emosi. Tetapi yang diharapkan dalam perbaikan segala urusan adalah dengan cara hikmah” [selesai].[36]
Semoga Allah merahmati Sahl bin ‘Abdillah At-Tustariy saat ia berkata :
لا يزال الناس بخير ما عظموا السلطان والعلماء، فإن عظموا هذين : أصلح الله دنياهم وأخراهم، وإن استخفوا بهذين : أفسدوا دنياهم وأخراهم
“Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka mengagungkan sulthan/penguasa dan ulama. Apabila mereka mengagungkan keduanya, Allah akan memperbaiki dunia dan akhirat mereka. Dan jika mereka meremehkan keduanya, Allah akan merusak dunia dan akhirat mereka” [selesai].[37]
[selesai – diambil oleh Abu Al-Jauzaa’ dari buku Mu’aamalatul-Hukkaam oleh Dr. ‘Abdus-Salaam bin Barjas rahimahullah, hal 19-46; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 7/1427 – dengan peringkasan dan sedikit pengubahan tanpa mengubah inti makna].




2 komentar: