Imam Asy-Syatibi rahimahullah di
Mukadimah ke dua belas dari kitab Al Muwafaqot menyebutkan cara terbaik
untuk meraih ilmu syar’i adalah mengambilnya langsung dari dari
ahlinya yang menguasai ilmu tersebut.
Ulama mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu dulunya tersimpan di dada-dada para pengembannya, kemudian berpindah ke kitab-kitab lalu kuncinya ada pada para ahlinya”.
Asy-Syatibi berkata, “Ungkapan ini menunjukkan untuk mendapatkan ilmu harus mengambilnya dari ulama-ulama yang menguasainya, mereka adalah kunci-kuncinya tanpa diragukan lagi”.
Kemudian beliau melanjutkan, “Apabila telah tetap bahwasanya harus mengambil ilmu dari ahlinya yang menguasainya. Maka untuk menempuhnya ada dua cara :
Pertama : Musyafahah (mengambil langsung dari lisannya, dan ini adalah jalan yang paling bermanfaat).”
Yaitu penuntut ilmu duduk di hadapan gurunya dengan benar, ikhlas dan fokus kepada ilmu. alangkah besarnya berkah dan rahmah duduk di majelis ilmu seperti ini.
Seringkali seorang penuntut ilmu membaca sebuah kitab, ia menghapalnya, dan mengulang-ulangnya tapi ia tidak mengerti. Apabila disampaikan oleh guru ia tiba-tiba bisa paham dengan mudah, dan ia mendapatkan ilmu itu di hadapan gurunya.
Asy-Syathiby berkata, “Dan pemahaman ini kadang didapat dengan hal yang biasa, seperti penjelasan bagian yang meragukan yang tak terpikirkan oleh seorang penuntut ilmu, dan bisa juga di dapat dengan hal yang tidak biasanya, yaitu Allah menganugerahkan kepada penuntut ilmu pemahaman ketika ia bersimpuh di hadapan gurunya dengan tawadhu dan merasa membutuhkan apa yang diajarkan kepadanya. Ini adalah di antara faedah-faedah duduk di majelis para ulama, yaitu; ketika dibukakan pemahaman untuk penuntut ilmu di hadapan mereka apa yang tidak dibukakan untuknya ketika dia duduk belajar kepada yang lain”.
Jalan yang ke dua : untuk meraih ilmu, (masih bersama perkataan Abu Ishaq Asy-Syatiby rahimahullah), yaitu menelaah kitab-kitab yang dikarang para ulama. Cara ini juga bermanfaat dengan dua syarat :
Pertama : mampu memahami maksud-maksud ilmu yang sedang dipelajari, mengetahui istilah-istilah ahlinya, yang akan membantunya memahami kitab-kitab yang dipelajari. Dan modal inipun sejatinya di dapat dengan jalan yang pertama yaitu belajar langsung dari ulama atau ahlinya.
Kedua : hendaklah ia memilih kitab-kitab ulama terdahulu, karena mereka lebih mendalam ilmunya dari pada ulama muta-akhirin.
dan ini bukan berarti membaca dan mempelajari buku tidak berfaedah ..tentu sangat besar faedahnya ..namun belajar dari buku saja tidaklah cukup. bahkan tidak sedikit orang yang salah paham hanya karena mengandalkan berguru kepada buku. tetap saja seorang penuntut ilmu membutuhkan guru tempat bertanya tentang isi buku yang dia baca.
Maka barangsiapa yang ingin mendapatkan ilmu syar’i hendaklah mendatangilah ahlinya, yaitu ulama. Duduk dihadapan mereka dengan meluruskan niat dan mengikhlaskan amalan hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Serta bertakwa kepada Allah zhohir dan batin, ketika sendiri maupun bersama orang lain, dalam perkataan dan perbuatan. Dan hendaklah senantiasa berusaha menjaga keta’atan serta bersungguh-sungguh dalam menjauhi maksiat dan yang haram. Karena maksiat adalah kegelapan yang akan memadamkan cahaya ilmu.
Seperti perkataan Imam Malik kepada muridnya Imam Asy-Syafi’i, “Aku melihat bahwasanya Allah telah memberikan cahaya di hatimu. Jangan padamkan cahaya itu dengan kegelapan maksiat”.
Asy-Syafi’i berkata,
Aku mengadukan kepada waki’ buruknya hapalanku
Ia bimbing aku tinggalkan maksiat
Dan ia wasiatkan kepadaku bahwa ilmu itu adalah cahaya
Dan cahaya Allah takkan diberikan kepada pelaku maksiat.
Selamat menuntut ilmu saudaraku! Semoga Allah Ta’ala memudahkan jalanmu ke surge …amin.
(Abu Zubair Hawaary)
Ulama mengatakan, “Sesungguhnya ilmu itu dulunya tersimpan di dada-dada para pengembannya, kemudian berpindah ke kitab-kitab lalu kuncinya ada pada para ahlinya”.
Asy-Syatibi berkata, “Ungkapan ini menunjukkan untuk mendapatkan ilmu harus mengambilnya dari ulama-ulama yang menguasainya, mereka adalah kunci-kuncinya tanpa diragukan lagi”.
Kemudian beliau melanjutkan, “Apabila telah tetap bahwasanya harus mengambil ilmu dari ahlinya yang menguasainya. Maka untuk menempuhnya ada dua cara :
Pertama : Musyafahah (mengambil langsung dari lisannya, dan ini adalah jalan yang paling bermanfaat).”
Yaitu penuntut ilmu duduk di hadapan gurunya dengan benar, ikhlas dan fokus kepada ilmu. alangkah besarnya berkah dan rahmah duduk di majelis ilmu seperti ini.
Seringkali seorang penuntut ilmu membaca sebuah kitab, ia menghapalnya, dan mengulang-ulangnya tapi ia tidak mengerti. Apabila disampaikan oleh guru ia tiba-tiba bisa paham dengan mudah, dan ia mendapatkan ilmu itu di hadapan gurunya.
Asy-Syathiby berkata, “Dan pemahaman ini kadang didapat dengan hal yang biasa, seperti penjelasan bagian yang meragukan yang tak terpikirkan oleh seorang penuntut ilmu, dan bisa juga di dapat dengan hal yang tidak biasanya, yaitu Allah menganugerahkan kepada penuntut ilmu pemahaman ketika ia bersimpuh di hadapan gurunya dengan tawadhu dan merasa membutuhkan apa yang diajarkan kepadanya. Ini adalah di antara faedah-faedah duduk di majelis para ulama, yaitu; ketika dibukakan pemahaman untuk penuntut ilmu di hadapan mereka apa yang tidak dibukakan untuknya ketika dia duduk belajar kepada yang lain”.
Jalan yang ke dua : untuk meraih ilmu, (masih bersama perkataan Abu Ishaq Asy-Syatiby rahimahullah), yaitu menelaah kitab-kitab yang dikarang para ulama. Cara ini juga bermanfaat dengan dua syarat :
Pertama : mampu memahami maksud-maksud ilmu yang sedang dipelajari, mengetahui istilah-istilah ahlinya, yang akan membantunya memahami kitab-kitab yang dipelajari. Dan modal inipun sejatinya di dapat dengan jalan yang pertama yaitu belajar langsung dari ulama atau ahlinya.
Kedua : hendaklah ia memilih kitab-kitab ulama terdahulu, karena mereka lebih mendalam ilmunya dari pada ulama muta-akhirin.
dan ini bukan berarti membaca dan mempelajari buku tidak berfaedah ..tentu sangat besar faedahnya ..namun belajar dari buku saja tidaklah cukup. bahkan tidak sedikit orang yang salah paham hanya karena mengandalkan berguru kepada buku. tetap saja seorang penuntut ilmu membutuhkan guru tempat bertanya tentang isi buku yang dia baca.
Maka barangsiapa yang ingin mendapatkan ilmu syar’i hendaklah mendatangilah ahlinya, yaitu ulama. Duduk dihadapan mereka dengan meluruskan niat dan mengikhlaskan amalan hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Serta bertakwa kepada Allah zhohir dan batin, ketika sendiri maupun bersama orang lain, dalam perkataan dan perbuatan. Dan hendaklah senantiasa berusaha menjaga keta’atan serta bersungguh-sungguh dalam menjauhi maksiat dan yang haram. Karena maksiat adalah kegelapan yang akan memadamkan cahaya ilmu.
Seperti perkataan Imam Malik kepada muridnya Imam Asy-Syafi’i, “Aku melihat bahwasanya Allah telah memberikan cahaya di hatimu. Jangan padamkan cahaya itu dengan kegelapan maksiat”.
Asy-Syafi’i berkata,
Aku mengadukan kepada waki’ buruknya hapalanku
Ia bimbing aku tinggalkan maksiat
Dan ia wasiatkan kepadaku bahwa ilmu itu adalah cahaya
Dan cahaya Allah takkan diberikan kepada pelaku maksiat.
Selamat menuntut ilmu saudaraku! Semoga Allah Ta’ala memudahkan jalanmu ke surge …amin.
(Abu Zubair Hawaary)
Maaf ya Mas Admin.. apakah menurut panjenengan Uztad2 diMta Itu bukan ULAMA?
BalasHapustolong dijawab YA/ TIDAK?
Antum bisa tanya ke MTA, berapa ustadz dari ustdz2 yang ada yang menguasai bahasa arab. Ini tahapan dasar ya, apa mungkin seseorang disebut 'ulama sementara bahasa arab dasarpun belum dikuasai?
Hapus