Alhamdulillah, shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Definisi Tayamum
Tayamum secara bahasa berarti al
qoshdu, yang artinya berniat atau bermaksud. Makna ini sebagaimana terdapat
dalam ayat,
وَلَا
تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ
“Dan janganlah kamu (berniat)
memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya” (QS. Al Baqarah:
267)
Sedangkan secara istilah, tayamum bermaksud menggunakan sho’id (debu atau tanah) untuk mengusap wajah dan kedua telapak tangan dengan niat untuk melaksanakan shalat dan ibadah lainnya. (Fiqh Sunnah, 1: 57)
Dalil Pensyariatan Tayamum
Tayamum dibolehkan ketika safar
maupun ketika mukim. Dalil pensyariatannya adalah berdasarkan Al Qur’an, hadits
dan ijma’ (kesepakatan para ulama). (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 14: 248 dan Fiqh
Sunnah, 1: 57)
Dalil dari Al Qur’an, Allah
Ta’ala berfirman,
وَإنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أو على
سَفَرٍ أو جَاءَ أحَدٌ
مِنْكُمْ من الغَائطِ أو
لامَسْتُم النِّسَاءَ فلمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدَاً طَيِّبَاً فَامْسَحُوا بِوجُوهِكُمْ وَأيْديكمْ إنَّ اللَّهَ كَانَ
عَفوَّاً غَفورَاً
“Dan jika kamu sakit atau sedang
dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan
tanah yang baik (suci); usaplah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pema'af lagi Maha Pengampun.” (QS. An Nisa’: 43)
Begitu pula firman Allah Ta’ala,
فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدَاً
طَيِّبَاً فَامْسَحُوا بِوجُوهِكمْ وَأيديكمْ منه
“Lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al Maidah: 6)
Dalil dari hadits, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَجُعِلَتْ
لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا
”Dianugerahkan untukku tanah
sebagai masjid (tempat shalat) dan untuk bersuci.” (HR. Bukhari no. 438)
Para ulama pun sepakat bahwa tayamum disyari’atkan sebagai pengganti dari wudhu dan mandi dalam keadaan tertentu. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 14: 248)
Kapan Dibolehkan untuk Tayamum?
Ada sebab utama yang membolehkan
tayamum yaitu: (1) karena tidak mendapati air, (2) khawatir menggunakan air.
(Ad Daroril Mudhiyyah, 103)
Secara lebih lengkap sebab yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Tidak
ada air yaitu tidak ditemukan atau sumber air begitu jauh.
2. Jika
memiliki luka atau penyakit dan khawatir menggunakan air.
3. Jika
air sangat dingin dan sulit dipanaskan.
4. Jika
air diperlukan untuk minum dan khawatir kehausan. (Taisirul Fiqh, 140)
Dalil bolehnya tayamum karena
tidak mendapati air sudah diisyaratkan dalam ayat,
فلمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدَاً
طَيِّبَاً
“Kemudian kamu tidak mendapat
air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci) ... ” (QS. An Nisa’:
43)
Sedangkan dalil bahwa tayamum dibolehkan ketika khawatir menggunakan air akan menimbulkan dhoror atau bahaya dapat dilihat dalam hadits berikut.
عَنْ
جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِى
سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ
فَشَجَّهُ فِى رَأْسِهِ ثُمَّ
احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ
لِى رُخْصَةً فِى التَّيَمُّمِ فَقَالُوا
مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً
وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ
فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِىِّ -صلى
الله عليه وسلم- أُخْبِرَ
بِذَلِكَ فَقَالَ « قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلاَّ سَأَلُوا
إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا
شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ
يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرَ »
Dari Jabir, ia berkata, “Kami
pernah keluar pada saat safar, lalu seseorang di antara kami ada yang terkena
batu dan kepalanya terluka. Kemudian ia mimpi basah dan bertanya pada temannya,
“Apakah aku mendapati keringanan untuk bertayamum?” Mereka menjawab, “Kami
tidak mendapati padamu adanya keringanan padahal engkau mampu menggunakan air.”
Orang tersebut kemudian mandi (junub), lalu meninggal dunia. Ketika tiba dan
menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menceritakan kejadian orang
yang mati tadi. Beliau lantas bersabda, “Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah
membinasakan mereka. Hendaklah mereka bertanya jika tidak punya ilmu karena
obat dari kebodohan adalah bertanya. Cukup baginya bertayamum dan mengusap
lukanya.” (HR. Abu Daud no. 336, Ibnu Majah no. 572 dan Ahmad 1: 330. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan selain perkataan ‘cukup baginya
bertayamum’)
Tayamum Pengganti Bersuci dengan Air
Perlu dipahami bahwa tayamum
adalah pengganti bersuci dengan air ketika tidak mampu menggunakan air. Dengan
tayamum seseorang boleh melakukan berbagai hal yang dibolehkan ketika bersuci
dengan air seperti shalat, thowaf, membaca Al Qur’an dan selain itu. Karena
Allah Ta’ala telah menjadikan debu (atau segala hal di permuakaan bumi) itu
suci dan mensucikan sebagaimana air pun demikian. Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
وَجُعِلَتْ
تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا
“Dan dijadikan debunya untuk kami
sebagai alat untuk bersuci ....” (HR. Muslim no. 522). (Al Mulakhoshul Fiqhiy,
1: 70)
Tayamum Harus dengan Sho’id
Perlu diketahui bahwa para ulama sepakat bahwa bolehnya tayamum adalah dengan menggunakan sho’id yang suci. Demikian dipersyaratkan oleh jumhur (mayoritas ulama), sedangkan ulama Malikiyah memasukannya dalam wajib tayamum. Dalil harus menggunakan sho’id adalah firman Allah Ta’ala,
فَتَيَمَّمُوا
صَعِيدَاً طَيِّبَاً
“Lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayammumlah dengan sho’id yang baik (suci).” (QS. Al Maidah: 6). (Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 14: 260)
Apa itu Sho’id?
Jumhur ulama memaknakan sho’id
pada ayat di atas dengan debu. Namun ulama lainnya mengatakan bahwa sho’id
adalah setiap yang berada di permukaan bumi termasuk debu, pasir, batu, kapur
dan selainnya. Dalil ulama yang menyatakan demikian adalah hadits,
وَجُعِلَتْ
لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا
”Dianugerahkan untukku tanah
sebagai masjid (tempat shalat) dan untuk bersuci.” (HR. Bukhari no. 438).
Hadits ini menunjukkan bahwa setiap yang berada di permukaan bumi bisa
digunakan untuk bersuci. Yang termasuk sho’id adalah debu. Dan kita pun bisa
menggunakan selain debu, asalkan masih menempel di atas permukaan bumi.
Pendapat yang menyatakan sho’id adalah setiap yang berada di permukaan bumi, itulah yang lebih kuat. (Lihat Syarh ‘Umdatul Fiqh, 1: 146-147)
Ibnu Taimiyah menerangkan, “Sho’id adalah sesuatu yang muncul pada permukaan bumi. Ini umum mencakup apa saja yang berada di permukaan. Hal ini berdasarkan dalil firman Allah Ta’ala,
وَإِنَّا
لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا
جُرُزًا
“Dan sesungguhnya Kami
benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi sho’id yang rata
lagi tandus.” (QS. Al Kahfi: 8)
فَتُصْبِحَ
صَعِيدًا زَلَقًا
“Hingga (kebun itu) menjadi
sho’id yang licin” (QS. Al Kahfi: 40).
Ulama yang menyatakan bahwa tayamum tidak khusus dengan debu berdalil pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
جُعِلَتْ
لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي
أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ
“Dijadikan untukku permukaan bumi
sebagai tempat shalat dan untuk bersuci. Maka siapa saja dari umatku yang
mendapati waktu shalat, maka shalatlah.” Dalam riwayat lainj disebutkan,
فَعِنْدَهُ
مَسْجِدُهُ وَطَهُورُهُ
“Tanah tersebut bisa jadi tempat
shalat dan untuk dia bersuci.” Dalil di atas menunjukkan bahwa seorang muslim
di mana pun ia berada, maka ia bisa memanfaatkan tanah yang ia temui sebagai
tempat shalat dan alat untuk bersuci.
Sudah dimaklumi bahwa kebanyakan tanah yang ada tidak semuanya berupa debu. Jika kita tidak boleh tayamum dengan pasir (artinya: harus dengan debu saja), maka ini jelas menyelisihi kandungan hadits di atas. Dalil di atas jelas mendukung bolehnya tayamum dengan pasir saja atau dengan pasir ditambah batu kapur.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 365-366)
Ibnul Qoyyim berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa bertayamum dengan tanah tempat beliau shalat, baik itu debu, tanah berair (lembab) atau pasir.” (Mukhtashor Zaadil Ma’ad, 12)
Al Amir Ash Shon’ani berkata, “Ash sho’id menurut kebanyakan para ulama adalah turob (debu). Sedangkan sebagian pakar bahasa menyatakan bahwa sho’id adalah setiap permukaan bumi baik debu atau yang lainnya. Seandainya di suatu tempat hanya terdapat bebatuan dan tidak ada debu, maka itu masih disebut sho’id.” (Subulus Salaam, 1: 459)
Sayyid Sabiq berkata, “Para pakar bahasa sepakat bahwa sho’id adalah seluruh yang berada di atas permukaan bumi, baik debu atau lainnya.” (Fiqh Sunnah, 1: 60)
Syaikh Dr. Sholeh Al Fauzan pun menguatkan pendapat bahwa seluruh yang berada di atas permukaan bumi adalah sho’id. Beliau hafizhohullah berkata, “Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri jika mendapati waktu shalat, mereka berwudhu dengan sesuatu yang ada di permukaan bumi, seperti debu dan lainnya. Dan tidak menjadi keharusan mereka harus membaca debu.” (Al Mulakhosul Fiqhiy, 1: 72)
Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin berkata, “Boleh saja seseorang tayamum pada dinding semen dan batu ubin walaupun tidak terdapat debu karena keduanya tersusun dari batu, debu dan selainnya yang berasal dari permukaan bumi. Namun tidak boleh tayamum pada dinding yang bercat atau tayamum pada kasur karena keduanya bukan sesuatu yang asalnya berada di permukaan bumi. Akan tetapi, jika pada dinding yang bercat atau pada kasur tersebut terdapat debu, maka boleh bertayamum di tempat tersebut.” (Syarh ‘Umdatul Fiqh, 1: 148)
Tata cara tayamum yang shahih
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
1. Menetup telapak tangan ke sho’id
(contoh: debu) sekali tepukan.
2. Meniup kedua tangan tersebut.
3. Mengusap wajah sekali.
4. Mengusap punggung telapak tangan
sekali.
Dalil pendukung dari tata cara di atas dapat dilihat dalam hadits ‘Ammar bin Yasir berikut ini.
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّى أَجْنَبْتُ
فَلَمْ أُصِبِ الْمَاءَ . فَقَالَ
عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا
كُنَّا فِى سَفَرٍ أَنَا
وَأَنْتَ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ
، وَأَمَّا أَنَا
فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِىِّ
- صلى الله عليه وسلم
- فَقَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه
وسلم - « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا
» . فَضَرَبَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه
وسلم - بِكَفَّيْهِ الأَرْضَ ، وَنَفَخَ فِيهِمَا
ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
وَكَفَّيْهِ
Ada seseorang mendatangi ‘Umar
bin Al Khottob, ia berkata, “Aku junub dan tidak bisa menggunakan air.” ‘Ammar
bin Yasir lalu berkata pada ‘Umar bin Khottob mengenai kejadian ia dahulu, “Aku
dahulu berada dalam safar. Aku dan engkau sama-sama tidak boleh shalat. Adapun
aku kala itu mengguling-gulingkan badanku ke tanah, lalu aku shalat. Aku pun
menyebutkan tindakanku tadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas
beliau bersabda, “Cukup bagimu melakukan seperti ini.” Lantas beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dengan menepuk kedua telapak
tangannya ke tanah, lalu beliau tiup kedua telapak tersebut, kemudian beliau
mengusap wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari no. 338 dan Muslim no.
368)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
ثُمَّ
ضَرَبَ بِيَدَيْهِ الأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً ثُمَّ مَسَحَ الشِّمَالَ
عَلَى الْيَمِينِ وَظَاهِرَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ
“Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menepuk kedua telapak tangannya ke tanah dengan sekali
tepukan, kemudian beliau usap tangan kiri atas tangan kanan, lalu beliau usap
punggung kedua telapak tangannya, dan mengusap wajahnya.”
Namun dalam riwayat Muslim ini didahulukan mengusap punggung telapak tangan, lalu wajah. Ini menunjukkan bahwa urutan antara wajah dan kedua telapak tangan tidak dipersyaratkan mesti berurutan.
Hadits ‘Ammar di atas menunjukkan
tayamum cukup sekali tepukan untuk wajah dan telapak tangan. Jadi kurang tepat
dilakukan dengan cara satu tepukan untuk wajah dan satu lagi untuk telapak
tangan hingga siku. Mengapa dinyatakan kurang tepat?
Hadits yang membicarakan dua kali
tepukan dan mengusap tangan hingga siku berasal dari hadits yang dho’if, tidak
ada hadits marfu’ sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam ayat dan hadits hanya
dimutlakkan telapak tangan, sehingga tidak mencakup bagian telapak hingga siku.
Ibnu ‘Abbas berdalil bahwa bagian tangan yang dipotong bagi pencuri adalah
hanya telapak tangan. Beliau berdalil dengan ayat tayamum. (Lihat Shahih Fiqh
Sunnah, 1: 203)
Pembatal Tayamum
Setiap hadats yang membatalkan
wudhu, maka itu juga yang menjadi pembatal tayamum. Hal ini tidak ada khilaf
(perselisihan) di antara para ulama. (Al Muhalla, 2: 122)
Mendapati Air Sebelum Shalat
Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Para
ulama berijma’ (sepakat) bahwa siapa saja yang bertayamum setelah berusaha
mencari air, namun tidak mendapatinya, kemudian ia mendapati air sebelum masuk
waktu shalat, tayamumnya ketika itu menjadi batal. Ketika itu, tayamumnya tidak
bisa mencukupi untuk shalat. Keadaannya menjadi kembali seperti keadaan sebelum
tayamum. Dan para ulama berselisih pendapat jika ia mendapati air setelah masuk
waktu shalat.” (Al Istidzkar, 1: 314)
Mengetahui Adanya Air di Tengah
Shalat
Jika seseorang sudah bertayamum
karena tidak mungkin menggunakan air, lalu ia shalat, kemudian ada info telah
ada air sedangkan ketika itu ia berada dalam shalat, apakah shalatnya mesti
diputus atau disempurnakan?
Dalam masalah ini ada
perselisihan. Pendapat lebih tepat adalah ia tetap melanjutkan atau
menyempurnakan shalatnya karena tidak adanya dalil yang mengharuskan shalatnya
mesti diputus. Sebagaimana orang yang berpuasa dengan niatan menunaikan
kafaroh, lalu ia temukan adanya budak di tengah ia berpuasa, puasanya tidak
jadi sia-sia. (Shahih Fiqh Sunnah, 1: 204-205)
Menemukan Air di Waktu Shalat
Setelah Sebelumnya Shalat dengan Tayamum
Dalam kondisi seperti ini, apakah
perlu shalat pertama yang dilakukan dengan tayamum diulang?
Pendapat yang tepat dalam masalah
ini, shalatnya tidak perlu diulang. Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al Khudri
berikut.
عَنْ
أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ
خَرَجَ رَجُلاَنِ فِى سَفَرٍ فَحَضَرَتِ
الصَّلاَةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا
طَيِّبًا فَصَلَّيَا ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ
فِى الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلاَةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدِ الآخَرُ
ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم-
فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ
لِلَّذِى لَمْ يُعِدْ « أَصَبْتَ
السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلاَتُكَ ». وَقَالَ لِلَّذِى تَوَضَّأَ
وَأَعَادَ « لَكَ الأَجْرُ مَرَّتَيْنِ
»
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia
berkata, “Ada dua orang pria keluar melakukan safar, lalu datang waktu shalat.
Ketika itu keduanya tidak mendapati air. Akhirnya mereka bertayamum dengan tanah
yang suci, kemudian mereka shalat. Masih di waktu shalat, mereka pun mendapati
air. Salah satu dari mereka mengulangi shalat dengan berwudhu. Yang lainnya
tidak mengulangi shalatnya. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian mereka pada beliau. Lantas beliau
bersabda pada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah menjalani
sunnah dan shalatmu sah.” Lalu beliau bersabda pula pada orang yang mengulangi
shalatnya, “Engkau mendapatkan dua pahala.” (HR. Abu Daud no. 338 dan An Nasai
no. 433. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits tersebut) (Lihat Shahih Fiqh
Sunnah, 1: 205-206)
Semoga Allah senantiasa
memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
Segala puji bagi Allah yang dengan
nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 7
Muharram 1433 H
Referensi
Ad Daroril Mudhiyyah Syarh Ad
Durorul Bahiyyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, terbitan Muassasah Ar
Risalah, cetakan pertama, 1432 H.
Al Istidzkar, Ibnu ‘Abdil Barr An
Numari, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1421 H.
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah,
terbitan Kementrian Agama Kuwait.
Al Muhalla, Ibnu Hazm, Mawqi’
Ya’sub.
Al Mulakhoshul Fiqhiy, Dr. Sholeh
bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, terbitan Darul Ifta’, cetakan kedua, 1430
H.
Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq,
terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan ketiga, 1430 H.
Mukhtashor Zaadil Ma’ad (Ibnul
Qoyyim), Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan
keempat, 1429 H.
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik
Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.
Syarh ‘Umdatul Fiqh, Prof. Dr.
‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan
keenam, 1431 H.
Subulus Salam, Muhammad bin
Isma’il Al Amir Ash Shon’ani, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan kedua, 1432 H.
Taisirul Fiqh, Prof. Dr. Sholeh
bin Ghonim As Sadlan, terbitan Dar Blancia, cetakan pertama 1424 H.
Sumber : www.rumaysho.com
saya dapat pelajaran di mta walaupun ada air didepan mata dan melimpah tapi kalo safar boleh tayamum.. karena kalo tidak boleh tayamun lalu apa bedanya dengan tidak safar/ muqim?
BalasHapuskarena hukum orang safar dan muqim itu berbeda..
dimanakah kesalahan dalil ini?
jazakalloh khoir..
telah dijawab dengan IJMA ULAMA
BalasHapusIbnu ‘Abdil Barr berkata, “Para ulama berijma’ (sepakat) bahwa siapa saja yang bertayamum setelah berusaha mencari air, namun tidak mendapatinya, kemudian ia mendapati air sebelum masuk waktu shalat, tayamumnya ketika itu menjadi batal. Ketika itu, tayamumnya tidak bisa mencukupi untuk shalat. Keadaannya menjadi kembali seperti keadaan sebelum tayamum. Dan para ulama berselisih pendapat jika ia mendapati air setelah masuk waktu shalat.” (Al Istidzkar, 1: 314)