Shalat Jum’at sudah kita ketahui bersama adalah suatu
kewajiban.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah ...” (QS. Al
Jumu’ah: 9)
Shalat ini diwajibkan bagi: (1) orang yang mukim (bukan musafir), (2) pria, (3) sehat, (4) merdeka dan (5) selamat dari lumpuh (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27: 198-199).
Pelaksanaan shalat Jum’at bisa menjadi sah jika memenuhi syarat-syarat berikut ini:
Pertama: Adanya khutbah
Khutbah jum’at mesti dengan dua kali khutbah karena kebiasaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian adanya. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama, yaitu ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambali.
Ulama Syafi’iyah menambahkan bahwa khutbah Jum’at bisa sah jika memenuhi lima syarat:
Ulama Syafi’iyah menambahkan bahwa khutbah Jum’at bisa sah jika memenuhi lima syarat:
1. Ucapan puji syukur pada Allah
2. Shalawat kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
3. Wasiat takwa [tiga syarat pertama merupakan syarat dalam dua
khutbah sekaligus]
4. Membaca satu dari ayat Al Qur’an pada salah satu dari dua
khutbah
5. Do’a kepada kaum muslimin di khutbah kedua
Namun sebenarnya khutbah yang dituntunkan adalah yang sesuai
petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalamnya berisi nasehat
motivasi dan menjelaskan ancaman-ancaman terhadap suatu maksiat. Inilah hakekat
khutbah. Jadi syarat di atas bukanlah syarat yang melazimkan (Lihat Shahih Fiqh
Sunnah, 1: 583)
Kedua: Harus dilakukan dengan berjama’ah
Dipersyaratkan demikian karena shalat Jum’at bermakna banyak
orang (jama’ah). Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menunaikan
shalat ini secara berjama’ah, bahkan hal ini menjadi ijma’ (kata sepakat) para
ulama.
Ulama Syafi’iyah dan Hambali memberi syarat 40 orang bisa
disebut jama’ah Jum’at. Akan tetapi, menyatakan demikian harus ada dalil
pendukung. Kenyataannya tidak ada dalil –sejauh yang kami ketahui- yang
mendukung syarat ini. Sehingga syarat disebut jama’ah jum’at adalah seperti halnya
jama’ah shalat lainnya, yaitu satu orang jama’ah dan satu orang imam (Lihat
Shahih Fiqh Sunnah, 1: 593). Yang menyaratkan shalat Jum’at bisa dengan hanya
seorang makmum dan seorang imam adalah ulama Hanafiyah (Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 27: 202).
Ketiga: Mendapat izin khalayak ramai yang menyebabkan shalat
jum’at masyhur atau tersiar.
Sehinga jika ada seorang yang shalat di benteng atau
istananya, ia menutup pintu-pintunya dan melaksanakan shalat bersama anak
buahnya, maka shalat Jum’atnya tidak sah. Dalil dari hal ini adalah karena
diperintahkan adanya panggilan untuk shalat Jum’at sebagaimana dalam ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah ...” (QS. Al
Jumu’ah: 9) Panggilan ini menunjukkan shalat Jum’at harus tersiar, tidak
sembunyi-sembunyi meskipun dengan berjama’ah.
Keempat: Jama’ah shalat Jum’at tidak lebih dari satu di satu
negeri (kampung)
Karena hikmah disyariatkan shalat Jum’at adalah agar kaum
muslimin berkumpul dan saling berjumpa. Hal ini sulit tercapai jika beberapa
jama’ah shalat Jum’at di suatu negeri tanpa ada hajat. Imam Asy Syafi’i, Imam
Ahmad dan pendapat masyhur di kalangan madzhab Imam Malik, menyatakan bahwa
terlarang berbilangnya jamaah shalat jumat di suatu negeri (kampung) besar atau
kecil kecuali jika ada hajat. Namun para ulama berselisih pendapat tentang
batasan negeri tersebut. Ada ulama yang menyatakan batasannya adalah jika suatu
negeri terpisah oleh sungai, atau negeri tersebut merupakan negeri yang besar
sehingga sulit membuat satu jamaah jum’at.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa
shohbihi wa sallam. Walhamdulillahi Robbil ‘alamin.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
[Disarikan dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27: 201-204]
Sumber : www.rumaysho.com
Akhi kalo pendapat mta yg mewajibkan sholat jumat laki perempuan dalam kondisi apapun itu dalilnya QS Al Jumuah.. Apa ada yg salah?
BalasHapusbismillah, untuk saudaraku anonim
Hapussemoga Allah memberkahi kita dengan ilmu yang lurus, pendapat mta berdalil dengan QS Al Jumuah memang tidak ada salahnya, namun yang membuat terjadinya penyimpangan adalah pemahaman ayat tersebut mengikuti pendapatnya siapa? pendapat pribadi ataukah para pendahulu islam? kemudian yang menjadi masalah lagi adalah syarat rukun dari sholat jum'at itu sendiri tidak terpenuhi maka datangkan suatu dalil untuk menguatkan tetap sholat jum'at walaupun sendirian. jazakumullah khoiron
cukuplah Hadist Nabi yang menjawab..
BalasHapushadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu:
وَمَنْ فَاتَتْهُ الرَّكْعَتَانِ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا.
“Maka barangsiapa tertinggal dua raka’at (Jum’at), maka ia harus menggantikannya dengan melakukan empat raka’at.” [11]
‘Abdurrahman bin Abu Dzuaib, beliau berkata:
خَرَجْتُ مَعَ الزُّبَيْرِ مُخْرِجًا يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَصَلَّى الْجُمُعَةَ أَرْبَعًا.
“Aku keluar menuju masjid bersama az-Zubair dengan terlambat pada hari Jum’at, lalu beliau melakukan shalat Dzuhur sebanyak empat raka’at.”
dari hadist diatas jelas.. tertinggal sholat jumat tidak wajib sholat jumat tapi harus sholat 4 rokaat yaitu dhuhur..
BalasHapusAbdullah bin Ma’dan meriwayatkan dari neneknya, dia berkata bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud berkata kepada kami:
إِذَا صَلَّيْتُنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مَعَ اْلإِمَـامِ فَصَلِّيَنَّ بِصَلاَتِهِ، وَإِذَا صَلَّيْتُنَّ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ فَصَلِّيَنَّ أَرْبَعًا.
“Jika kalian melakukan shalat Jum’at beserta imam, maka laku-kanlah seperti shalatnya, dan jika kalian melakukannya di rumah kalian, maka lakukanlah dengan empat raka’at.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Thariq bin Syihab, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
BalasHapusاَلْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَـى كُلِّ مُسْلِمٍ (فِـيْ جَمَـاعَةٍ) إِلاَّ أَرْبَعَةٌ: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ.
“Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap muslim (dengan berjama’ah)[3] kecuali kepada empat orang: hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sedang sakit.”
Hadits ini dishahihkan bukan hanya oleh satu Imam (ulama hadits).
(mta mengartikan hadist diatas sebagai dasar tetap wajibnya sholat jumat juga terhadap wanita tapi dengan penekanan tidak berjamaah... namun bagaimana dengan anak2 pada hadist yang sama yang bahkan belum wajib sholat?)
“Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” [As-Sunan Al-Kubraa, 3/184].
BalasHapusواتفقوا على أن الجمعة لا تجب على صبي ولا عبد ولا مسافر ولا امرأة، إلا رواية عن أحمد في العبد خاصة
“Para ulama telah sepakat bahwasannya shalat Jum’at tidak diwajibkan atas anak-anak, hamba/budak, musafir, dan wanit; kecuali satu riwayat dari Ahmad tentang hamba secara khusus” [Ikhtilaaful-‘Ulamaa’, 1/152].
Begitu juga yang dikatakan Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah :
وأما قوله: (ليس على مسافر جمعة) فإجماع لا خلاف فيه
“Adapun sabda beliau : ‘Tidak ada kewajiban shalat Jum’at atas musafir’, maka itu adalah ijma’ tanpa ada perselisihan padanya” [Al-Istidzkaar, 2/36].[3]
Hal itu dikarenakan bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah sering melakukan safar, akan tetapi tidak ternukil satupun riwayat yang menjelaskan beliau menegakkan shalat Jum’at. Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata :
ومما يحتج به في إسقاط الجمعة عن المسافر أن النبي صلى الله عليه وسلم قد مرّ به في أسفاره جُمَعٌ لا محالة، فلم يبلغنا أنه جَمَّع وهو مسافر، بل قد ثبت عنه أنه صلى الظهر بعرفة وكان يوم الجمعة، فدلّ ذلك من فعله على أن لا جمعة على المسافر
“Dan termasuk dalil yang menunjukkan gugurnya kewajiban shalat Jum’at bagi musafir adalah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam safar-safarnya tentu pernah melewati hari Jum’at. Akan tetapi tidak sampai pada kita beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Jum’at dalam keadaan safar. Bahkan, telah shahih dari beliau mengerjakan shalat Dhuhur di ‘Arafah yang saat itu bertepatan dengan hari Jum’at.[4] Maka, itu merupakan petunjuk dari perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” [Al-Ausath, 4/20].
حدثنا وكيع عن العمري عن نافع عن ابن عمر أنه كان لا يجمع في السفر
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Al-‘Umariy, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia tidak melaksanakan shalat Jum’at ketika safar [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya hasan, namun shahih dengan riwayat mauquf Al-Baihaqiy di awal].
عن الثوري عن مغيرة عن إبراهيم قال كانوا لا يجمعون في سفر ولا يصلون الا ركعتين
Dari Ats-Tsauriy, dari Mughiirah, dari Ibraahiim, ia berkata : “Mereka tidak mengerjakan shalat Jum’at ketika safar. Dan mereka tidaklah shalat kecuali dua raka’at” [Diriwayatkan ‘Abdurrazzaaq 3/173-174 no. 5202; sanadnya shahih].
Silahka saling menasihati, jangan saling menjatuhkan
BalasHapusالمسلم اخل المسلم
MTA alamatnya jelas
Dan anda bisa ke pimpinan Nya utk meluruskan dengan membawa kitab
انشاءالله MTA akan menerima nasihat