Halaman

Rabu, 10 Oktober 2012

Makanan Haram Hanya 4 Macam? (arti innama..)

Muqoddimah
Dengan memuji Allah yang Maha Mengetahui kebenaran, lagi Maha Bijaksana, dan bersholawat atas Nabi Shallallaahu’alaihi wasallam yang telah menjelaskan kepada kita Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya, menjelaskan ayat-ayat yang global, mengkhususkan nash-nash yang masih umum, dan menjelaskan yang kurang jelas kepada manusia, sehingga kita mengetahui ayat-ayat Allah dg penjelasan Rasul-Nya, mengamalkan perintah, dan tidak terjerumus dalam perkara yang disangka benar padahal sebaliknya.



Dalam edisi ini, kami uraikan permasalahan yang mungkin sudah sangat jelas, akan tetapi kerena bagi sebagian orang masih dianggap sebagai syubhad/kerancuan, yang membutuhkan penjelasan lebih rinci. Inti permasalahan itu adalah kata “innama” (انما : hanyalah) tidak harus bermakna pembatas hakiki (حصر حقيقي ), akan tetapi suatu ketika bermakna pembatas yang tidak hakiki (حصر اضا في) yang berfungsi untuk menyebutkan sifat yang dominant dan utama, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya sifat/hal lain selain yang tersebut dalam satu bentuk kalimat, hal ini didasari oleh nash-nash yang gamblang, perkataan para sahabat, dan penjelasan para ulama, bahkan ahli bahasa dalam mengartikan “innama” (انما : hanyalah) sebagai alat pembatas (spt dalam QS Al Baqarah 173, yang didalamnya ada pembatasan yang haram hanya 4 saja), ternyata mereka mengatakan: “Ada selain 4 hal yang diharamkan baik oleh Allah dalam Kitab-Nya atau oleh Rasul-Nya dalam hadits2 yang shahih.”

Arti “innama” (انما )
Kata “innama” (انما ) dalam kamus bahasa Arab bermakna:اثبات لما يذكر بعده ونفي لما سوا ه Menetapkan apa yang disebutkan dan meniadakan selain yang disebutkan
Para ahli bahasa mengatakan bahwa “innama” (انما ) adalah salah satu alat untuk membatasi sesuatu yang disebutkan dalam suatu kalimat, dan meniadakan selainnya, sama dengan pembatas lainnya seperti pengecualian (istitsna’) yang didahului oleh peniadaan (naïf), seperti:  لا اله الا الله Tiada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah. 
Faidah “innama” (انما )
Para ahli bahasa berkata bahwa “innama” (انما ) berfungsi untuk membatasi sesuatu yang disebutkan saja, dan meniadakan selainnya, seperti yang dikatakan oleh Muhammad Ar Rozi dalam Mukhtarus Shihah (hal. 12), beliau mengatakan: “Apabila engkau tambahkan ma (ما) kepada inna (انا), maka maknanya untuk menta’yin/menentukan (apa yang akan disebutkan tanpa selainnya), seperti dalam firman Allah: 
Hanyalah Zakat itu buat orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat…dst 
Macam pembatas dengan kata “innama” (انما )

Kalau kita memperhatikan nash-nash baik dalam Al-Qur’an maupun hadits yang menggunakan kata “innama” (انما ), memang maknanya adalah “hanyalah”, akan tetapi semua tidak terlepas dari 2 maksud pembatasan, yaitu:
1. Batasan tidak hakiki/idhofi (حصر اضا في)
yaitu untuk mengutamakan atau menyebutkan sesuatu yang lebih dominant, tidak menutup kemungkinan adanya hal lain yang akan disebutkan menyusul, sebagaimana firman Allah yang mensifati Rasul-Nya:
..engkau hanyalah seorang pemberi peringatan…. (QS. Hud (11): 12)
Kata “innama” (انما ) diatas bukan batasan secara hakiki, akan tetapi disebutkan demikian karena itulah sifat yang lebih dominant dan utama dalam diri Rasulullah, hal ini karena ada sifat lain yang disandarkan kepada Rasulullah, sebagaimana dalam firman-Nya, .sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan….. (QS. Al-Maidah (5): 19)
Contoh lain, firman-Nya:
Hanyalah orang-orang mu’min itu bersaudara…..(QS. Al Hujurot (49): 10)
Kata “innama” (انما ) diatas juga membatasi tetapi tidak hakiki, disebutkan demikian lantaran itulah yang dominant dan utama, dan tidak menutup kemungkinan adanya sifat lain dari kalangan orang-orang muslim seperti adanya mereka yang tidak saling bersaudara bahkan saling bermusuhan dan berpecah-belah. 
2. Untuk pembatasan secara hakiki/mutlak
Yaitu pembatasan yang sebenarnya, sehingga menutup kemungkinan akan hal lain selain selain yang telah disebutkan setelah “innama” (انما ), sebagai contoh firman Allah:
Hanyalah zakat itu untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, para mu’allaf, para budak, orang yang menanggung hutang, untuk jihad fii sabilillah, dan untuk ibnu sabil, sebagai ketentuan dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksan. (QS. At Taubah (9): 60)
Kata “innama” (انما ) diatas berfungsi sebgai batasan secara hakiki/mutlak, sehingga tidak ada lagi selain 8 golongan tersebut yang berhak menerima zakat. Karena tidak dalil lain/qorinah yang menunjukkan bahwa zakat boleh diberikan kepada selain 8 golongan tersebut.
 
PEMBATASAN EMPAT HAL YANG HARAM TERMASUK HAKIKI ATAU TIDAK? 
Dalam surat Al Baqoroh: 173 disebutkan:
Hanyalah Allah mengharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih bukan dengan nama Allah …..
Kalau kita meneliti lebih lanjut ternyata ada hal lain yang diharamkan selain dari 4 hal tersebut baik dalam Al Qur’an maupun hadits-hadits yang shahih semisal khamer, judi, binatang buas, burung yang bercakar dan lainnya. Oleh karenanya terlalu jauh kalau kita mengatakan keharaman empat hal tsb adalah pembatasan secara hakiki/mutlak, sehingga yang lebih tepat kita katakana bahwa pembatasan 4 hal itu adalah pembatasan secara idhofi atau dominant/tidak mutlak, dengan bukti adanya hal-hal lain yang haram selain 4 hal diatas. 
YANG MENGATAKAN INNAMA BERFUNGSI SEBAGAI PEMBATAS, TIDAK MENGATAKAN YANG HARAM HANYA EMPAT HAL 
1.Imam al-Qurthubi
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya (2/246) mengatakan: “innama fungsinya sebagai pembatas,” tetapi beliau menegaskan bahwa para ulama sepakat atas adanya selain empat hal yang telah di haramkan, beliau berkata: “di antara hal yang menguatkan pendapat ini adalah Ijma’ (kesepakatan) para ulama tentang haramnya kotoran, air kencing, binatang-binatang yang kotor, dan minum khomer, padahal semua ini tidak disebutkan dalam ayat (yang ada kata innama) ini”. 
 2. Imam Ibnu Hazm
Beliau mengatakan tentang kalimat innama semisal yang dikatakan oleh Imam Qurthubi, yaitu berfungsi sebagai pembatas. Walau demikian, beliau dalam kitabnya (al-Muhalla 6/70 cet. Dar al-Ilmiah th.1425 H), mengatakan: “ Dan anjing merupakan binatang buas yang bertaring, demikian juga kucing, dan serigala semuanya haram.” 
 3.Imam Syaukani
Beliau menafsirkan kata innama adalah kalimat yang berfungsi untuk membatasi sesuatu yang disebutkan. (lihat Tafsir Fathul Qodir 1/150 cet. Maktabah ar-Rusyd th.1424 H) Akan tetapi dalam menafsirkan QS. Al-An’am 145 beliau mengatakan:” Allah memerintahkan nabi-Nya untuk mengumumkan kepada manusia bahwa tidak ada yang diharamkan selain empat perkara yang disebutkan, ini menunjukan bahwa hal yang diharamkan terbatas hanya empat saja seandainya surat ini tidak turun di makkah (akan tetapi surat ini turunya di makkah) kemudian turunlah setelah itu surat al Ma’idah di Madinah dan ditambah lagi keharaman yang lain seperti hewan yang mati tercekik, hewan yang mati dipukul benda keras, hewan yang mati terjatuh, dan hewan yang mati ditanduk hewan lain, dan telah sah dari Nabi keharaman setiap hewan buas yang bertaring, burung yang bercakar tajam, keledai jinak, anjing dan semisalnya.
4. Imam Ibnu Katsir
Beliau mengatakan dalam QS al-Baqarah 173 yang didalamnya ada kata innama, bahwasanya: “Allah membatasi perkara yang haram hanya empat hal yang di sebutkan dalam ayat ini,” akan tetapi tatkala sampai kepada surat al-an’am 145 beliau mengatakan :” kemudian datang berikutnya diharamkanya hal-hal lain (selain empat tersebut) seperti dalam QS.al-maidah dan dalam hadits-hadits yang shahih, (ini semua) menghapus anggapan (terbatasnya empat hal saja yang haram) dalam ayat (yang ada kata innama)nya
 
SYUBHAT DAN BANTAHANYA
 
Syubhat Pertama
Mereka mengatakan: ”Apa yang dikatakan oleh Nabi tentang haramnya binatang buas yang bertaring, maksudnya adalah bukan haram tetapi makhruh. Mereka memberi alasan: “ jika sabda Nabi diartikan haram, berarti nabi telah lancang dan menentang Allah karena beliau mengharamkan apa yang di halalkan, dan ini tidak mungkin bagi nabi yang mulia.” Mereka menambahkan: “ haram itu berarti dilarang dan ada yang makhruh, dan dalam hal ini harus kita artikan makruh supaya selamat dari prasangkan buruk kepada Nabi”.
Jawab
Jawaban yang global; Nabi adalah hamba yang paling mulia, tidak akan lancang dan menentang Allah. Apa yang di haramkan oleh rasul-Nya sama dengan yang diharamkan oleh Allah. Apabila kita mentaati Rasulullah berarti kita telah mentaati Allah, sebagaimana firma-Nya;
Barangsiapa mentaati rasul berarti telah mentaati Allah (QS.an-Nisa’ [4]: 80)
Ayat diatas mengingatkan kepada kita bahwa apabila Rasul mengatakan haram, maka sama halnya Allah mengatakan haram, dan sebagai seorang muslim harus mengikuti apa yang dikatakan Rasul dan meninggalkan semua perkataan manusia yang menyelisihinya walaupun yang mengatakan adalah seorang imam. Sebagai misal apabila ada yang mengatakan binatang buas hukumnya makruh, padahal nabi jelas-jelas mengatakan hukumnya haram, maka wajib bagi kita mengatakan haram sebagaimana Nabi mengatakan haram dan membuang jauh-jauh perkataan yang menyelisihinya.
Jawaban secara terperinci, Dalam kaidah fiqih yang masyhur dikatakan : suatu kalimat wajib diartikan secara hakikatnya, bukan kepada arti kiasan, kecuali apabila ada dalil/qorinah yang menguatkan arti kiasan,” sebagai contoh seorang mengatakan رَاَيْتُ الاَسَدَ (Aku melihat singa). Kata ‘singa’ di atas mengandung kemungkinan bermakna hewan singa yang sebenarnya (makna hakikatnya), dan mengandung kemungkinan bermakna ”seorang pemberani” (makna kiasan), karena tidak ada dalil/qorinah yang menguatkan makna kiasan, maka wajib diartikan secara hakikatnya yaitu “hewan singa”. Lain halnya seorang mengatakan; رَأَيْتُ الاَسَدَ يَخْطُبُ عَلَي الْمِنْبَرِ (Aku melihat singa sedang berpidato di podium). Maka singa disini di artikan seorang pemberani, hal ini lantaran ada dalil/qorinah yang menguatkan makna kiasan yaitu perkataan “sedang berpidato di podium” sebab tidak mungkin singa berpidato di podium.
Demikian juga sabda Nabi “setiap binatang buas yang bertaring hukumnya haram”, maka kita wajib mengartikan “haram” dengan hukum “haram yang sebenarnya” tidak dikiaskan kepada arti lain (makruh misalnya), karena tidak ada dalil/qorinah yang menguatkan makna selain haram yang sebenarnya. Para ulama menambahkan, makna hakikat terbagi menjadi tiga, hakikat syar’i, hakikat lughowi/ bahasa dan hakikat ‘urfi/ kebiasaan masyarakat. Kalimat yang diucapkan oleh ahli bahasa harus dibawa ke makna secara bahasa, kalimat yang diucapkan oleh pembuat syari’at (Allah dan Rasul-Nya) harus dibawa kepada makna hakikat syar’i, dan kalimat yang diucapkan oleh keumuman masyarakat harus dibawa kepada makna hakikat secara kebiasaan masyarakat. Dari sini kita mengetahui apabila Nabi mengatakan haram, maka wajib kita mengartikan hakikat haram sesuai dengan syriat, bukan bermakna makruh, karena nabi berbicara sesuai dengan syari’at, sehingga harus dibawa kepada makna hakikatnya secara syar’i. Tidak dijumpai baik dalam al-Qur’an maupun sunnah yang shahih kata haram bermakna makruh, justru yang ada dalam al-Qur’an kata makruh itu bermakna haram seperti dalam firmanya: 
Semua itu kejahatanya amat makruh (dibenci) di sisi Allah (QS. Al-Isro [17]: 38)
Kata makruh ini artinya adalah haram karena ayat tersebut menghukumi semua larangan agama dalam ayat sebelumnya seperti membunuh anak, makan harta anak yatim, berzina dan sebagainya, yang kesemuanya hukumnya haram.  
Syubhat Kedua
Ada beberapa sahabat nabi mengatakan bahwa yang haram hanya empat hal saja, mereka berpegang kepada keumuman firman Allah seperti dalam QS al-An’am 145, diantaranya adalah ibnu Abbas. 

Jawab
Riwayat dari ibnu Abbas tentang halalnya Keledai jinak yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrozzaq, kedua sanadnya lemah, sehingga tidak sah disandarkan kepada Ibnu Abbas, dan tidak dapat menjadi hujjah. Kebanyakan ahli hadits mengatakan apabila itu benar dari ibnu Abbas atau selainya, maka perkataan itu disebabkan karena beliau belum mendengar hadits keharaman tersebut, oleh karena tidak tau, ibnu Abbas ragu tentang sebab larangan tersebut, apakah disebabkan akan berkurangnya kendaraan manusia atau karena memang diharamkan secara mutlak, sebagaimana beliau (Ibnu Abbas) mengatakan;
 لاَ اَدْرِيْ اَنْهَا عّنْهُ رَسُوْلُ اللّهِ مِنْ اَجْلِ اَنَّهُ حَمُوْلَتُ النَّاسِ اَوْ حَرَّمَهَا اَلْبَتَّتَ يَوْمَ خَيْبَرَ
 Aku tidak tau, apakah Nabi melarangnya disebabkan dia (keledai jinak) menjadi kendaraan manusia, atau nabi mengharamkanya mutlak pada hari (peperangan) Khoibar?” (HR. Bukhori 4227 dan Muslim 1939)
Perkataan Ibnu Abbas ini bukan berarti beliau menghalalkan apa yang diharamkan oleh Rasul-Nya, sebagai bukti dia tidak menentukan alasan larangan tersebut karena beliau memang tidak mengetahuinya
Syubhat Ketiga
Imam as-Sya’bi berkata: لَوْ اَكَلَ اَهْلِيْ الضَّفَادِعَ لاََطْعَمْتُهُمْ   Seandainya keluargaku suka makan katak sungguh akan aku beri mereka makanan (berupa katak) (al-Mughni 11/84) Mereka mengatakan bahwa perkataan as-Sya’bi ini mengisyaratkan kepada kita bahwa yang haram hanya empat hal yang disebutkan oleh Allah dalam QS al-Baqoroh 173. 
Jawab
Memang katak diperselisihkan oleh para ulama, akan tetapi berkata Imam Ibnu Qudamah (al-Mughni 13/320): “sungguh telah diriwayatkan oleh Imam as-Sya’bi bahwasany dia ditanya tentang seseorang yang berobat dengan daging anjing, lalu dia berkata mudah-mudahan Allah tidak menyembuhkanya!, ini menunjukan bahwa beliau (as-Sya’bi) meyakini bahwa anjing adalah haram.”Maka kami katakan manakah perkataan Imam as-Sya’bi bahwa yang haram hanya empat saja?
AL-QUR’AN TIDAK BERTENTANGAN DENGAN HADITS SHAHIH 
Tidak dijumpai seorang ulama yang mengatakan bahwa apabila nabi mengharamkan binatang buas berarti menentang Allah yang hanya mengharamkan empat hal saja, oleh karena itu mereka memberikan jawaban tentang kontradiksi (yang nampak) antara ayat al-Qur’an (yang hanya menyebut empat hal yang haram) dengan ayat lain dan hadits-hadits yang manambah keharaman lebih dari empat hal, diantara jawaban mereka; 
1. Ayat-ayat yang membatasi empat hal yang haram turunya di Makkah, kemudian ayat tentang keharama khomer dan lainnya termasuk binatang buas dan burung bercakar tajam turunya di Madinah, kaum muslimin sepakat atas keharamanya khomer padahal khomer tidak termasuk dalam empat hal yang diharamkan.
2. Ayat-ayat yang membatasi empat hal yang haram yang turun di Makkah khusus pengharaman binatang ternak pada waktu kaum jahiliyah mengharamkan berbagai binatang ternak tanpa dasar, maka turunlah ayat tersebut sebagai bantahan bahwa yang haram dari binatang ternak hanya empat saja, kemudian Allah dan Rasul-Nya mengharamkan hal lain selain yang tersebut di atas baik dalam al-Qur’an atau melalui lisan Nabi-Nya.
3. Ayat-ayat yang membatasi empat hal yang haram sifatnya global, mencakup perincian hal yang di haramkan dalam ayat lain atau hadits Nabi, oleh karena itu firmannya فَاِنَّهُ رِجْس (karena sesungguhnya hal itu adalah kotor), sifatnya global mencangkup segala sesuatu yang kotor dan hukumnya sama yaitu haram.
4. Imam Nawawi mengatakan: “Para pengikut madzhab kami berdalil dengan hadits-hadits ini (atas haramnya binatang buas dan sebagainya), lalu mengatakan ayat diatas (pembatasan empat hal yang haram) menunjukan bahwa Nabi saat itu memang tidak menjumpai perkara yang haram (yang diwahyukan padanya) kecuali empat hal saja, kemudian setelah itu diwahyukan padanya haramnya binatang buas yang bertaring, maka hal itu wajib diterima dan diamalkan.” (Syarah Shahih Muslim)

KESEPAKATAN KAUM MUSLIMIN BAHWA YANG HARAM BUKAN HANYA EMPAT HAL 
Ada diantara para ulama yang mengatakan bahwa terjadi ijma’ (kesepakatan) para ulama bahwa makanan yang haram bukan hanya empat hal, diantara mereka adalah;
1. Imam Qurthubi dalam tafsirnya (2/246), beliau berkata:” Di antara hal yang menguatkan pendapat ini adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama tentang haramnya makan kotoran, minum air kencing, binatang-binatang yang menjijikan, dan minum khomer, padahal semua ini tidak disebutkan dalam ayat ini (yaitu ayat pembatasan hal yang haram hanya empat hal saja)
2. Ibnu Taimiyah mengatakan :”makan sesuatu yang kotor, ular, kalajengking hukumnya haram dengan dalil ijma’ (kesepakatan) para ulama, barang siapa yang makan disertai dengan menghalalkan (sesuatu di atas), maka dia diperintah (oleh imam) untuk bertaubat , kalau tidak bertaubat, maka dia harus dibunuh”(Majmu ‘ al-Fatwa li Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah 6/330 cet.Maktabah al-Ubaikan th.1419 H)
3. Shiddiq Hasan Khon mengutarakan apa yang diketahui dengan mengisyaratkan adanya kesepakatan ulama, meskipun ada perbedaan dalam hal ini, akan tetapi menurut beliau pendapat yang menyelisihi kesepakatan ini tidak dianggap, beliau mengatakan: “ Dan anjing termasuk binatang yang diharamkan, dan tidak ada satu perbedaan pendapat yang dapat diangap dalam masalah ini.” (at-Ta’liqot ar-Rodhiyah ala ar-Roudhoh an-Nadiyah 3/33 cet.Dar Ibnul Qoyyim dan Dar Ibnu Affan th.1423 H.
4. Imam Ibnu Qudamah setelah menjelaskan bahwa kebanyakan ulama mengharamkan serangga, ulat, kecoa, kelelawar, tikus dan sebagainya, kemudian berkata: “kecuali cicak, maka sesungguhnya Ibnu Abdil Bar berkata: “Cicak telah disepakati para ulama tentang keharamanya.” (al-Mughni 13/316-317 cet.Dar Alam al-Kutub th. 1426 H)
5. Ibnu Abdil Bar mengatakan “Tidak ada perbedaan pendapat tentang haramnya keledai jinak.” Hal ini terbukti tatkala keledai jinak diharamkan , rasulullah melarang para sahabat makan dagingnya, harus dibuang begitu saja padahal dagingnya sudah di masak, pada saat itu tidak satu pun sahabat menentang atau mengatakan makruh. Dan hal lain yang menunjukan haramnya keledai jinak , Rasulullah dan sahabatnya menyia-nyiakan dan membuang daging yang telah dimasak, ini menunjukan bahwa hal itu adalah haram. Berkata Abdulloh al-Bassam: “Kesepakatan Ulama (tentang Haramnya keledai jinak) yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Bar ini terjadi setelah hilangnya pebedaan pendapat di zamanya Ibnu Abbas.” 
TINGGALKAN PENDAPAT MANUSIA IKUTI PETUNJUK NABI 
Sebelum kami akhiri risalah ini ada baiknya kami nukilkan perkataan Syeikh al-Albani dalam kitabnya Manzilatus Sunnah fil Islam (secara ringkas), beliau menegaskan: “Dan sangat disayangkan muncul para penafsir, dan penulis zaman ini berpendapat bahwa binatang buas dan memakai emas (bagi laki-laki) adalah halal, berdalil karena tidak ada larangan al-Qur’an, ada juga yang dikenal dengan sebutan Qur’aniyyin yang menafsirkan al-Qur’an menurut hawa nafsunya tanpa mengambil sunnah/hadits, bahkan sunnah bagi mereka bisa diatur sesuai dengan pikiran mereka, lalu mereka mengambil sunnah apabila cocok dengan mereka, dan membung sunnah kalau berseberangan dengan hawa nafsu mereka. Kenyataan ini telah diingatkan oleh Nabi dalam sabdanya;
 لا الفينّ احدكم متّكاء علي اريكته ياءتيه الامر من امري ممّا امرت به او نهيت عنه فيقول: لا ادري ما وجدنا في كتاب اللّه اتّبعناه
Sunguh-sunguh saya akan menjumpai ada seseorang bersandar pada kusri panjangnya, tatkala datang kepadanya perintahku yang aku telah diperintahkan sesuatu itu, atau (larangan) yang aku telah dilarang darinya, lalu dia mengatakan, “aku tidak mengerti (pokoknya) apa yang kami jumpai dalam al-Qur’an, kami ikuti, kalau tidak (kami jumpai) maka tidak (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi (dia menshahihkanya), dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan at-Thohawi dengan sanad yang shahih. Sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah sama halnya dengan yang diharamkan oleh Allah, maka ketahuilah bahwa keledai jinak hukumnya haram, dan binatang buas yang bertaring juga haram, demikian juga apa yang telah diharamkan oleh Nabi maka hukumnya haram.
 
Penulis: Ustad Abu Ibrohim Muhammad Ali

11 komentar:

  1. artikel yang bagus, semoga saudara kita (MTA) lekas sadar.

    BalasHapus
  2. Yg ngaji di MTA sangat banyak dan yang keluar juga banyak. Jadi kita saling menghormati dan tidak saling mencerca/menghina. Sesama muslim HARAM DARAHNYA, HARAM KEHORMATANNYA, HARAM HARTANYA..... MAri kita melaksanakan ibadah ini sesuai tuntunan dans esuai pemahaaman kita. Masalah antum melakukan ini kami tidak atau sebaliknya,mari kita saling menghormati.. APA2 yang kita lakukan di dunia ini akan kita pertanggungjawabkan di hari akhir kelak. Segolongan Umat Islam yang merasa paling benar dan paling selamat, ini bisa diklaim sebagai SESAT......

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya tegaskan, di blog ini tidak ada fitnah, tidak ada hinaan, atau cercaan. Yang ada adalah pengalaman pribadi dan ajakan kepada siapa saja untuk kembali kepada pemahaman generasi terbaik(salafush shalih)dari umat ini, serta ajakan agar senantiasa tidak berhenti untuk belajar/menuntut ilmu.

      Saudaraku, terima kasih bila antum berkenan mengoreksi bila ada yang salah.

      Hapus
    2. mencerca/menghina yang mana?
      ayo dong kalo ingin menjawab yang ilmiah... tepat pada topiknya... dan disertai hujjah dan dalil..
      apakah setiap nasehat adalah penghinaan? kalo dalilnya lemah mengapa tidak taslim?

      Hapus
  3. alhamdulillaah semakin jelas,,,siapa yang ilmiah dan siapa yang berkata "MENURUTKU",, Agama ini telah sempurna ketika diturunkan kepada rasulullah dan para sahabatnya...jadi pemahaman merekalah yang semestinya di jadikan pegangan kaum muslimin saat ini, sebagaimana perkataan imam Malik rahimahullah "tidak akan jaya ummat ini kecuali dengan apa yang telah membuat para pendahulunya berjaya" wallaahu a'lam

    BalasHapus
  4. Bismillah,
    Semoga Alloh menjaga antum, Abu Faris. Tulisan ini begitu ilmiyyah, barang siapa yang mencari kebenaran insyaAlloh akan ketemu, yaitu dengan memahami Al Quran dan As Sunnah sebagaimana yang difahami tiga generasi terbaik dari umat ini, Salafush Sholih.
    Teruslah menyampaikan kebenaran, sungguh yang hak itu adalah hak dan yang bathil itu tetaplah bathil, dakwahlah dengan penuh hikmah.

    BalasHapus
  5. saya msh ingat sekali ketika mengikuti pengajian ahad pagi maupun pengajian gelombang II,dijelaskan anjing itu halal,akan tetapi cara penyembelihannya itu yg sering digebuki,direndam di air dsb,yg membuatnya haram dimakan..."setelah belajar lagi dan membaca penjelasan dalil diatas semakin yakin,bahwa mereka bicara asal : asal masuk akal dan sekenanya dalam menjawab pertanyaan.padahal ini jelas berhubungan dengan dalil agama yang dipertanggung jawabkan dikherat kelak...astaghfirllah

    BalasHapus
  6. Ilmu yang bermanfaat..... Jazaakumullahu khair...

    BalasHapus
  7. saya sering mendengar kajian dari radio MTA, meski saya bukan pengikut MTA. Saya pribadi merasa banyak ilmu yang saya dapatkan, meski begitu tetap saja saya sangat terbuka menerima ilmu dari mana saja sekiranya memang berisikan kebenaran. Saya justru merasa lebih nyaman untuk berada diluar golongan-golongan dan tidak terpaku pada satu golongan, karena menurut saya suatu golongan sebagian besar mengaku/mengklaim golongannyalah yg paling benar.

    BalasHapus
  8. Akh Eko Suprayitno,

    Ilmu agama ini adalah sarana dalam memperoleh keselamatan dan kemenangan dunia akhirat, maka tidak boleh sembrono dalam mengambilnya (tanpa seleksi), hendaklah diambil dari orang-orang yang ikhlash, terpercaya, lagi mempunyai pemahaman yang lurus sebagaimana pesan Rasulullah kepada Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :

    ”Wahai Ibnu ’Umar, agamamu ! agamamu ! Ia adalah darah dan dagingmu. Maka PERHATIKANLAH DARI SIAPA KAMU MENGAMBILNYA. Ambillah dari orang-orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah)” [Al-Kifaayah fii ’Ilmir-Riwayah oleh Al-Khathib hal. 81, Bab Maa Jaa-a fil-Akhdzi ’an Ahlil-Bida’ wal-Ahwaa’ wa Ihtijaaj bi-Riwayaatihim, Maktabah Sahab].

    Ilmu agama ini juga tidak boleh diambil dari ahli bid’ah dan/atau ashaaghir sebagaimana pesan Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu :

    ”Senantiasa umat manusia dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para akaaabir (yaitu ahli ilmu/ulama) mereka,. Jika mereka mengambil ilmu dari ashaaghir (orang-orang bodoh dan pelaku bid’ah) dan orang-orang jelek di antara mereka, niscara mereka akan binasa” [Jaami’ Baayanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr Al-Andalusy hal. 112; Maktabah Al-Misykah].

    Syaikh Bakar Abu Zaid –seorang ulama Saudi, anggota Komisi Fatwa Saudi Arabia- berkata : “Waspadalah terhadap Abu Jahal (bapak kebodohan), yaitu ahli bid’ah, yang tertimpa penyimpangan aqidah, diselimuti oleh awan khurafat; dia menjadikan hawa nafsu sebagai hakim (penentu keputusan) dengan menyebutnya dengan kata “akal”; dia menyimpang dari nash (wahyu), padahal bukankah akal itu hanya ada dalam nash? Dia memegangi yang dha’if (lemah) dan menjauhi yang shahih. Mereka juga dinamakan ahlusy syubuhat (orang-orang yang memiliki dan menebar kerancauan pemikiran) dan ahlul ahwa’ (orang-orang yang mengikuti kemauan hawa nafsu). Oleh karena itulah Ibnul Mubarak menamakan ahli bid’ah dengan ash shaghir (anak-anak kecil) [Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 39, karya Syaikh Bakar Abu Zaid.]

    Kita tidak mengatakan bahwa seorang ulama, ustadz, atau pengajar itu harus ma’shum terbebas dari segala macam kesalahan sehingga dapat diambil ilmunya. BENARNYA PRINSIP-PRINSIP AQIDAH DAN MANHAJ ADALAH SATU HAL YANG TIDAK BISA DITAWAR-TAWAR LAGI. Wallahu a’lam

    BalasHapus