Muqoddimah
Dengan
memuji Allah yang Maha Mengetahui kebenaran, lagi Maha Bijaksana, dan
bersholawat atas Nabi Shallallaahu’alaihi wasallam yang telah menjelaskan
kepada kita Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya, menjelaskan ayat-ayat yang
global, mengkhususkan nash-nash yang masih umum, dan menjelaskan yang kurang
jelas kepada manusia, sehingga kita mengetahui ayat-ayat Allah dg penjelasan Rasul-Nya,
mengamalkan perintah, dan tidak terjerumus dalam perkara yang disangka benar
padahal sebaliknya.
Dalam edisi ini, kami uraikan permasalahan yang mungkin sudah sangat jelas, akan tetapi kerena bagi sebagian orang masih dianggap sebagai syubhad/kerancuan, yang membutuhkan penjelasan lebih rinci. Inti permasalahan itu adalah kata “innama” (انما : hanyalah) tidak harus bermakna pembatas hakiki (حصر حقيقي ), akan tetapi suatu ketika bermakna pembatas yang tidak hakiki (حصر اضا في) yang berfungsi untuk menyebutkan sifat yang dominant dan utama, sehingga tidak menutup kemungkinan adanya sifat/hal lain selain yang tersebut dalam satu bentuk kalimat, hal ini didasari oleh nash-nash yang gamblang, perkataan para sahabat, dan penjelasan para ulama, bahkan ahli bahasa dalam mengartikan “innama” (انما : hanyalah) sebagai alat pembatas (spt dalam QS Al Baqarah 173, yang didalamnya ada pembatasan yang haram hanya 4 saja), ternyata mereka mengatakan: “Ada selain 4 hal yang diharamkan baik oleh Allah dalam Kitab-Nya atau oleh Rasul-Nya dalam hadits2 yang shahih.”
Arti “innama” (انما )
Kata “innama”
(انما ) dalam kamus bahasa Arab bermakna:اثبات لما يذكر بعده ونفي لما
سوا ه Menetapkan apa yang disebutkan dan meniadakan selain yang disebutkan
Para ahli
bahasa mengatakan bahwa “innama” (انما ) adalah salah satu alat untuk membatasi
sesuatu yang disebutkan dalam suatu kalimat, dan meniadakan selainnya, sama
dengan pembatas lainnya seperti pengecualian (istitsna’) yang didahului oleh
peniadaan (naïf), seperti: لا
اله الا الله Tiada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah.
Faidah
“innama” (انما )
Para ahli
bahasa berkata bahwa “innama” (انما ) berfungsi untuk membatasi sesuatu yang
disebutkan saja, dan meniadakan selainnya, seperti yang dikatakan oleh Muhammad
Ar Rozi dalam Mukhtarus Shihah (hal. 12), beliau mengatakan: “Apabila engkau
tambahkan ma (ما) kepada inna (انا), maka maknanya untuk menta’yin/menentukan
(apa yang akan disebutkan tanpa selainnya), seperti dalam firman Allah:
Hanyalah
Zakat itu buat orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat…dst
Macam pembatas dengan kata “innama” (انما
)
Kalau kita
memperhatikan nash-nash baik dalam Al-Qur’an maupun hadits yang menggunakan
kata “innama” (انما ), memang maknanya adalah “hanyalah”, akan tetapi semua tidak
terlepas dari 2 maksud pembatasan, yaitu:
1. Batasan tidak hakiki/idhofi (حصر اضا في)
yaitu
untuk mengutamakan atau menyebutkan sesuatu yang lebih dominant, tidak menutup
kemungkinan adanya hal lain yang akan disebutkan menyusul, sebagaimana firman Allah
yang mensifati Rasul-Nya:
..engkau
hanyalah seorang pemberi peringatan…. (QS. Hud (11): 12)
Kata
“innama” (انما ) diatas bukan batasan secara hakiki, akan tetapi disebutkan
demikian karena itulah sifat yang lebih dominant dan utama dalam diri Rasulullah,
hal ini karena ada sifat lain yang disandarkan kepada Rasulullah, sebagaimana
dalam firman-Nya, .sesungguhnya telah
datang kepada kalian seorang pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan…..
(QS. Al-Maidah (5): 19)
Contoh
lain, firman-Nya:
Hanyalah
orang-orang mu’min itu bersaudara…..(QS. Al Hujurot (49): 10)
Kata
“innama” (انما ) diatas juga membatasi tetapi tidak hakiki, disebutkan demikian
lantaran itulah yang dominant dan utama, dan tidak menutup kemungkinan adanya
sifat lain dari kalangan orang-orang muslim seperti adanya mereka yang tidak
saling bersaudara bahkan saling bermusuhan dan berpecah-belah.
2. Untuk pembatasan secara hakiki/mutlak
Yaitu
pembatasan yang sebenarnya, sehingga menutup kemungkinan akan hal lain selain
selain yang telah disebutkan setelah “innama” (انما ), sebagai contoh firman Allah:
Hanyalah
zakat itu untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, para
mu’allaf, para budak, orang yang menanggung hutang, untuk jihad fii sabilillah,
dan untuk ibnu sabil, sebagai ketentuan dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksan. (QS. At Taubah (9): 60)
Kata
“innama” (انما ) diatas berfungsi sebgai batasan secara hakiki/mutlak, sehingga
tidak ada lagi selain 8 golongan tersebut yang berhak menerima zakat. Karena
tidak dalil lain/qorinah yang menunjukkan bahwa zakat boleh diberikan kepada
selain 8 golongan tersebut.
PEMBATASAN EMPAT HAL YANG HARAM TERMASUK
HAKIKI ATAU TIDAK?
Dalam
surat Al Baqoroh: 173 disebutkan:
Hanyalah Allah
mengharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih
bukan dengan nama Allah …..
Kalau kita
meneliti lebih lanjut ternyata ada hal lain yang diharamkan selain dari 4 hal
tersebut baik dalam Al Qur’an maupun hadits-hadits yang shahih semisal khamer,
judi, binatang buas, burung yang bercakar dan lainnya. Oleh karenanya terlalu
jauh kalau kita mengatakan keharaman empat hal tsb adalah pembatasan secara
hakiki/mutlak, sehingga yang lebih tepat kita katakana bahwa pembatasan 4 hal
itu adalah pembatasan secara idhofi atau dominant/tidak mutlak, dengan bukti
adanya hal-hal lain yang haram selain 4 hal diatas.
YANG
MENGATAKAN INNAMA BERFUNGSI SEBAGAI PEMBATAS, TIDAK
MENGATAKAN YANG HARAM HANYA EMPAT HAL
1.Imam
al-Qurthubi
Imam
al-Qurthubi dalam tafsirnya (2/246) mengatakan: “innama
fungsinya sebagai pembatas,” tetapi beliau menegaskan bahwa para ulama sepakat
atas adanya selain empat hal yang telah di haramkan, beliau berkata: “di antara hal yang menguatkan pendapat ini adalah Ijma’
(kesepakatan) para ulama tentang haramnya kotoran, air kencing,
binatang-binatang yang kotor, dan minum khomer, padahal semua ini tidak
disebutkan dalam ayat (yang ada kata innama) ini”.
2.
Imam Ibnu Hazm
Beliau
mengatakan tentang kalimat innama semisal yang dikatakan oleh Imam Qurthubi,
yaitu berfungsi sebagai pembatas. Walau demikian, beliau dalam kitabnya
(al-Muhalla 6/70 cet. Dar al-Ilmiah th.1425 H), mengatakan: “ Dan anjing
merupakan binatang buas yang bertaring, demikian juga kucing, dan serigala
semuanya haram.”
3.Imam
Syaukani
Beliau
menafsirkan kata innama adalah kalimat yang berfungsi untuk membatasi sesuatu
yang disebutkan. (lihat Tafsir Fathul Qodir 1/150 cet. Maktabah ar-Rusyd
th.1424 H) Akan tetapi dalam menafsirkan QS. Al-An’am 145 beliau mengatakan:” Allah memerintahkan nabi-Nya untuk mengumumkan kepada manusia
bahwa tidak ada yang diharamkan selain empat perkara yang disebutkan, ini
menunjukan bahwa hal yang diharamkan terbatas hanya empat saja seandainya surat
ini tidak turun di makkah (akan tetapi surat ini turunya di makkah) kemudian
turunlah setelah itu surat al Ma’idah di Madinah dan ditambah lagi keharaman
yang lain seperti hewan yang mati tercekik, hewan yang mati dipukul benda
keras, hewan yang mati terjatuh, dan hewan yang mati ditanduk hewan lain, dan
telah sah dari Nabi keharaman setiap hewan buas yang bertaring, burung yang
bercakar tajam, keledai jinak, anjing dan semisalnya.
4. Imam
Ibnu Katsir
Beliau
mengatakan dalam QS al-Baqarah 173 yang didalamnya ada kata innama, bahwasanya:
“Allah membatasi perkara yang haram hanya empat hal
yang di sebutkan dalam ayat ini,” akan tetapi tatkala sampai kepada surat
al-an’am 145 beliau mengatakan :” kemudian datang berikutnya diharamkanya
hal-hal lain (selain empat tersebut) seperti dalam QS.al-maidah dan dalam
hadits-hadits yang shahih, (ini semua) menghapus anggapan (terbatasnya empat
hal saja yang haram) dalam ayat (yang ada kata innama)nya
SYUBHAT
DAN BANTAHANYA
Syubhat
Pertama
Mereka
mengatakan: ”Apa yang dikatakan oleh Nabi tentang haramnya binatang buas yang
bertaring, maksudnya adalah bukan haram tetapi makhruh. Mereka memberi
alasan: “ jika sabda Nabi diartikan haram, berarti nabi telah lancang dan
menentang Allah karena beliau mengharamkan apa yang di halalkan, dan ini tidak
mungkin bagi nabi yang mulia.” Mereka menambahkan: “ haram itu berarti
dilarang dan ada yang makhruh, dan dalam hal ini harus kita artikan makruh
supaya selamat dari prasangkan buruk kepada Nabi”.
Jawab
Jawaban
yang global; Nabi adalah hamba yang paling
mulia, tidak akan lancang dan menentang Allah. Apa
yang di haramkan oleh rasul-Nya sama dengan yang diharamkan oleh Allah. Apabila
kita mentaati Rasulullah berarti kita telah mentaati Allah, sebagaimana
firma-Nya;
Barangsiapa
mentaati rasul berarti telah mentaati Allah (QS.an-Nisa’ [4]: 80)
Ayat
diatas mengingatkan kepada kita bahwa apabila Rasul mengatakan haram, maka sama
halnya Allah mengatakan haram, dan sebagai seorang muslim harus mengikuti apa
yang dikatakan Rasul dan meninggalkan semua perkataan manusia yang
menyelisihinya walaupun yang mengatakan adalah seorang imam. Sebagai misal
apabila ada yang mengatakan binatang buas hukumnya makruh, padahal nabi
jelas-jelas mengatakan hukumnya haram, maka wajib bagi kita mengatakan haram
sebagaimana Nabi mengatakan haram dan membuang jauh-jauh perkataan yang
menyelisihinya.
Jawaban
secara terperinci, Dalam kaidah fiqih yang masyhur
dikatakan : suatu kalimat wajib diartikan secara
hakikatnya, bukan kepada arti kiasan, kecuali apabila ada dalil/qorinah yang
menguatkan arti kiasan,” sebagai contoh seorang mengatakan رَاَيْتُ
الاَسَدَ (Aku melihat singa). Kata ‘singa’ di atas mengandung kemungkinan
bermakna hewan singa yang sebenarnya (makna hakikatnya), dan mengandung
kemungkinan bermakna ”seorang pemberani” (makna kiasan), karena tidak ada
dalil/qorinah yang menguatkan makna kiasan, maka wajib diartikan secara
hakikatnya yaitu “hewan singa”. Lain halnya seorang mengatakan; رَأَيْتُ
الاَسَدَ يَخْطُبُ عَلَي الْمِنْبَرِ (Aku melihat singa sedang berpidato di
podium). Maka singa disini di artikan seorang pemberani, hal ini lantaran ada
dalil/qorinah yang menguatkan makna kiasan yaitu perkataan “sedang berpidato di
podium” sebab tidak mungkin singa berpidato di podium.
Demikian
juga sabda Nabi “setiap binatang buas yang bertaring hukumnya haram”, maka kita
wajib mengartikan “haram” dengan hukum “haram yang sebenarnya” tidak dikiaskan
kepada arti lain (makruh misalnya), karena tidak ada dalil/qorinah yang
menguatkan makna selain haram yang sebenarnya.
Para ulama menambahkan, makna hakikat terbagi menjadi tiga, hakikat syar’i,
hakikat lughowi/ bahasa dan hakikat ‘urfi/ kebiasaan masyarakat. Kalimat yang
diucapkan oleh ahli bahasa harus dibawa ke makna secara bahasa, kalimat yang diucapkan oleh pembuat syari’at (Allah dan Rasul-Nya)
harus dibawa kepada makna hakikat syar’i, dan kalimat yang diucapkan
oleh keumuman masyarakat harus dibawa kepada makna hakikat secara kebiasaan
masyarakat. Dari sini kita mengetahui apabila Nabi
mengatakan haram, maka wajib kita mengartikan hakikat haram sesuai dengan
syriat, bukan bermakna makruh, karena nabi berbicara sesuai dengan syari’at,
sehingga harus dibawa kepada makna hakikatnya secara syar’i. Tidak
dijumpai baik dalam al-Qur’an maupun sunnah yang shahih kata haram bermakna
makruh, justru yang ada dalam al-Qur’an kata makruh itu bermakna haram seperti
dalam firmanya:
Semua itu
kejahatanya amat makruh (dibenci) di sisi Allah (QS. Al-Isro [17]: 38)
Kata
makruh ini artinya adalah haram karena ayat tersebut menghukumi semua larangan
agama dalam ayat sebelumnya seperti membunuh anak, makan harta anak yatim,
berzina dan sebagainya, yang kesemuanya hukumnya haram.
Syubhat
Kedua
Ada
beberapa sahabat nabi mengatakan bahwa yang haram hanya empat hal saja, mereka
berpegang kepada keumuman firman Allah seperti dalam QS al-An’am 145,
diantaranya adalah ibnu Abbas.
Jawab
Riwayat
dari ibnu Abbas tentang halalnya Keledai jinak yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dan Abdurrozzaq, kedua sanadnya lemah,
sehingga tidak sah disandarkan kepada Ibnu Abbas, dan tidak dapat menjadi
hujjah. Kebanyakan ahli hadits mengatakan apabila itu benar dari ibnu Abbas
atau selainya, maka perkataan itu disebabkan karena beliau belum mendengar
hadits keharaman tersebut, oleh karena tidak tau, ibnu Abbas ragu tentang sebab
larangan tersebut, apakah disebabkan akan berkurangnya kendaraan manusia atau
karena memang diharamkan secara mutlak, sebagaimana beliau (Ibnu Abbas)
mengatakan;
لاَ
اَدْرِيْ اَنْهَا عّنْهُ رَسُوْلُ اللّهِ مِنْ اَجْلِ اَنَّهُ حَمُوْلَتُ النَّاسِ
اَوْ حَرَّمَهَا اَلْبَتَّتَ يَوْمَ خَيْبَرَ
Aku
tidak tau, apakah Nabi melarangnya disebabkan dia (keledai jinak) menjadi
kendaraan manusia, atau nabi mengharamkanya mutlak pada hari (peperangan)
Khoibar?” (HR. Bukhori 4227 dan Muslim 1939)
Perkataan
Ibnu Abbas ini bukan berarti beliau menghalalkan apa yang diharamkan oleh Rasul-Nya,
sebagai bukti dia tidak menentukan alasan larangan tersebut karena beliau
memang tidak mengetahuinya.
Syubhat
Ketiga
Imam
as-Sya’bi berkata: لَوْ اَكَلَ اَهْلِيْ الضَّفَادِعَ لاََطْعَمْتُهُمْ Seandainya keluargaku suka makan katak
sungguh akan aku beri mereka makanan (berupa katak) (al-Mughni 11/84) Mereka
mengatakan bahwa perkataan as-Sya’bi ini mengisyaratkan kepada kita bahwa yang
haram hanya empat hal yang disebutkan oleh Allah dalam QS al-Baqoroh 173.
Jawab
Memang
katak diperselisihkan oleh para ulama, akan tetapi berkata Imam Ibnu Qudamah (al-Mughni 13/320): “sungguh telah
diriwayatkan oleh Imam as-Sya’bi bahwasany dia ditanya tentang seseorang yang
berobat dengan daging anjing, lalu dia berkata mudah-mudahan Allah tidak
menyembuhkanya!, ini menunjukan bahwa beliau (as-Sya’bi) meyakini bahwa anjing
adalah haram.”Maka kami katakan manakah perkataan Imam as-Sya’bi bahwa yang
haram hanya empat saja?
AL-QUR’AN
TIDAK BERTENTANGAN DENGAN HADITS SHAHIH
Tidak
dijumpai seorang ulama yang mengatakan bahwa apabila nabi mengharamkan binatang
buas berarti menentang Allah yang hanya mengharamkan empat hal saja, oleh
karena itu mereka memberikan jawaban tentang kontradiksi (yang nampak) antara
ayat al-Qur’an (yang hanya menyebut empat hal yang haram) dengan ayat lain dan
hadits-hadits yang manambah keharaman lebih dari empat hal, diantara jawaban
mereka;
1. Ayat-ayat yang membatasi empat hal yang haram turunya di
Makkah, kemudian ayat tentang keharama khomer dan lainnya termasuk binatang
buas dan burung bercakar tajam turunya di Madinah, kaum muslimin sepakat
atas keharamanya khomer padahal khomer tidak termasuk dalam empat hal yang
diharamkan.
2. Ayat-ayat yang membatasi empat hal yang haram yang turun di
Makkah khusus pengharaman binatang ternak pada waktu kaum jahiliyah
mengharamkan berbagai binatang ternak tanpa dasar, maka turunlah ayat tersebut
sebagai bantahan bahwa yang haram dari binatang ternak hanya empat saja,
kemudian Allah dan Rasul-Nya mengharamkan hal lain selain yang tersebut di atas
baik dalam al-Qur’an atau melalui lisan Nabi-Nya.
3. Ayat-ayat yang membatasi empat hal yang haram sifatnya global,
mencakup perincian hal yang di haramkan dalam ayat lain atau hadits Nabi, oleh
karena itu firmannya فَاِنَّهُ رِجْس (karena sesungguhnya hal itu adalah
kotor), sifatnya global mencangkup segala sesuatu yang kotor dan hukumnya sama
yaitu haram.
4. Imam Nawawi
mengatakan: “Para pengikut madzhab kami berdalil dengan hadits-hadits ini (atas
haramnya binatang buas dan sebagainya), lalu mengatakan ayat diatas (pembatasan empat hal yang haram) menunjukan bahwa Nabi saat
itu memang tidak menjumpai perkara yang haram (yang diwahyukan padanya) kecuali
empat hal saja, kemudian setelah itu diwahyukan padanya haramnya binatang buas
yang bertaring, maka hal itu wajib diterima dan diamalkan.” (Syarah Shahih
Muslim)
KESEPAKATAN
KAUM MUSLIMIN BAHWA YANG HARAM BUKAN HANYA EMPAT HAL
Ada
diantara para ulama yang mengatakan bahwa terjadi ijma’ (kesepakatan) para
ulama bahwa makanan yang haram bukan hanya empat hal, diantara mereka adalah;
1. Imam
Qurthubi dalam tafsirnya (2/246), beliau berkata:” Di
antara hal yang menguatkan pendapat ini adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama
tentang haramnya makan kotoran, minum air kencing, binatang-binatang yang
menjijikan, dan minum khomer, padahal semua ini tidak disebutkan dalam ayat ini
(yaitu ayat pembatasan hal yang haram hanya empat hal saja)
2. Ibnu
Taimiyah mengatakan :”makan sesuatu yang kotor, ular,
kalajengking hukumnya haram dengan dalil ijma’ (kesepakatan) para ulama, barang
siapa yang makan disertai dengan menghalalkan (sesuatu di atas), maka dia
diperintah (oleh imam) untuk bertaubat , kalau tidak bertaubat, maka dia harus
dibunuh”(Majmu ‘ al-Fatwa li Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah 6/330
cet.Maktabah al-Ubaikan th.1419 H)
3. Shiddiq
Hasan Khon mengutarakan apa yang diketahui dengan mengisyaratkan adanya
kesepakatan ulama, meskipun ada perbedaan dalam hal ini, akan tetapi menurut
beliau pendapat yang menyelisihi kesepakatan ini tidak dianggap, beliau
mengatakan: “ Dan anjing termasuk binatang yang
diharamkan, dan tidak ada satu perbedaan pendapat yang dapat diangap dalam
masalah ini.” (at-Ta’liqot ar-Rodhiyah ala ar-Roudhoh an-Nadiyah 3/33
cet.Dar Ibnul Qoyyim dan Dar Ibnu Affan th.1423 H.
4. Imam
Ibnu Qudamah setelah menjelaskan bahwa kebanyakan ulama
mengharamkan serangga, ulat, kecoa, kelelawar, tikus dan sebagainya,
kemudian berkata: “kecuali cicak, maka sesungguhnya Ibnu Abdil Bar berkata: “Cicak telah disepakati para ulama tentang keharamanya.”
(al-Mughni 13/316-317 cet.Dar Alam al-Kutub th. 1426 H)
5. Ibnu
Abdil Bar mengatakan “Tidak ada perbedaan pendapat tentang
haramnya keledai jinak.” Hal ini terbukti tatkala
keledai jinak diharamkan , rasulullah melarang para sahabat makan dagingnya,
harus dibuang begitu saja padahal dagingnya sudah di masak, pada saat itu tidak
satu pun sahabat menentang atau mengatakan makruh. Dan hal lain yang
menunjukan haramnya keledai jinak , Rasulullah dan sahabatnya menyia-nyiakan
dan membuang daging yang telah dimasak, ini menunjukan bahwa hal itu adalah
haram. Berkata Abdulloh al-Bassam: “Kesepakatan Ulama (tentang Haramnya keledai
jinak) yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Bar ini terjadi setelah hilangnya
pebedaan pendapat di zamanya Ibnu Abbas.”
TINGGALKAN
PENDAPAT MANUSIA IKUTI PETUNJUK NABI
Sebelum
kami akhiri risalah ini ada baiknya kami nukilkan perkataan Syeikh al-Albani
dalam kitabnya Manzilatus Sunnah fil Islam (secara ringkas), beliau menegaskan:
“Dan sangat disayangkan muncul para penafsir, dan
penulis zaman ini berpendapat bahwa binatang buas dan memakai emas (bagi
laki-laki) adalah halal, berdalil karena tidak ada larangan al-Qur’an, ada juga
yang dikenal dengan sebutan Qur’aniyyin yang menafsirkan al-Qur’an menurut hawa
nafsunya tanpa mengambil sunnah/hadits, bahkan sunnah bagi mereka bisa diatur
sesuai dengan pikiran mereka, lalu mereka mengambil sunnah apabila cocok dengan
mereka, dan membung sunnah kalau berseberangan dengan hawa nafsu mereka.
Kenyataan ini telah diingatkan oleh Nabi dalam sabdanya;
لا
الفينّ احدكم متّكاء علي اريكته ياءتيه الامر من امري ممّا امرت به او نهيت عنه
فيقول: لا ادري ما وجدنا في كتاب اللّه اتّبعناه
Sunguh-sunguh
saya akan menjumpai ada seseorang bersandar pada kusri panjangnya, tatkala
datang kepadanya perintahku yang aku telah diperintahkan sesuatu itu, atau
(larangan) yang aku telah dilarang darinya, lalu dia mengatakan, “aku tidak
mengerti (pokoknya) apa yang kami jumpai dalam al-Qur’an, kami ikuti, kalau
tidak (kami jumpai) maka tidak (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi (dia menshahihkanya),
dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan at-Thohawi dengan sanad yang shahih. Sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah sama
halnya dengan yang diharamkan oleh Allah, maka ketahuilah bahwa keledai jinak
hukumnya haram, dan binatang buas yang bertaring juga haram, demikian juga apa
yang telah diharamkan oleh Nabi maka hukumnya haram.
Penulis: Ustad Abu Ibrohim Muhammad Ali
artikel yang bagus, semoga saudara kita (MTA) lekas sadar.
BalasHapusYg ngaji di MTA sangat banyak dan yang keluar juga banyak. Jadi kita saling menghormati dan tidak saling mencerca/menghina. Sesama muslim HARAM DARAHNYA, HARAM KEHORMATANNYA, HARAM HARTANYA..... MAri kita melaksanakan ibadah ini sesuai tuntunan dans esuai pemahaaman kita. Masalah antum melakukan ini kami tidak atau sebaliknya,mari kita saling menghormati.. APA2 yang kita lakukan di dunia ini akan kita pertanggungjawabkan di hari akhir kelak. Segolongan Umat Islam yang merasa paling benar dan paling selamat, ini bisa diklaim sebagai SESAT......
BalasHapusSaya tegaskan, di blog ini tidak ada fitnah, tidak ada hinaan, atau cercaan. Yang ada adalah pengalaman pribadi dan ajakan kepada siapa saja untuk kembali kepada pemahaman generasi terbaik(salafush shalih)dari umat ini, serta ajakan agar senantiasa tidak berhenti untuk belajar/menuntut ilmu.
HapusSaudaraku, terima kasih bila antum berkenan mengoreksi bila ada yang salah.
mencerca/menghina yang mana?
Hapusayo dong kalo ingin menjawab yang ilmiah... tepat pada topiknya... dan disertai hujjah dan dalil..
apakah setiap nasehat adalah penghinaan? kalo dalilnya lemah mengapa tidak taslim?
alhamdulillaah semakin jelas,,,siapa yang ilmiah dan siapa yang berkata "MENURUTKU",, Agama ini telah sempurna ketika diturunkan kepada rasulullah dan para sahabatnya...jadi pemahaman merekalah yang semestinya di jadikan pegangan kaum muslimin saat ini, sebagaimana perkataan imam Malik rahimahullah "tidak akan jaya ummat ini kecuali dengan apa yang telah membuat para pendahulunya berjaya" wallaahu a'lam
BalasHapusBismillah,
BalasHapusSemoga Alloh menjaga antum, Abu Faris. Tulisan ini begitu ilmiyyah, barang siapa yang mencari kebenaran insyaAlloh akan ketemu, yaitu dengan memahami Al Quran dan As Sunnah sebagaimana yang difahami tiga generasi terbaik dari umat ini, Salafush Sholih.
Teruslah menyampaikan kebenaran, sungguh yang hak itu adalah hak dan yang bathil itu tetaplah bathil, dakwahlah dengan penuh hikmah.
saya msh ingat sekali ketika mengikuti pengajian ahad pagi maupun pengajian gelombang II,dijelaskan anjing itu halal,akan tetapi cara penyembelihannya itu yg sering digebuki,direndam di air dsb,yg membuatnya haram dimakan..."setelah belajar lagi dan membaca penjelasan dalil diatas semakin yakin,bahwa mereka bicara asal : asal masuk akal dan sekenanya dalam menjawab pertanyaan.padahal ini jelas berhubungan dengan dalil agama yang dipertanggung jawabkan dikherat kelak...astaghfirllah
BalasHapusIlmu yang bermanfaat..... Jazaakumullahu khair...
BalasHapusItu ustadzku
BalasHapussaya sering mendengar kajian dari radio MTA, meski saya bukan pengikut MTA. Saya pribadi merasa banyak ilmu yang saya dapatkan, meski begitu tetap saja saya sangat terbuka menerima ilmu dari mana saja sekiranya memang berisikan kebenaran. Saya justru merasa lebih nyaman untuk berada diluar golongan-golongan dan tidak terpaku pada satu golongan, karena menurut saya suatu golongan sebagian besar mengaku/mengklaim golongannyalah yg paling benar.
BalasHapusAkh Eko Suprayitno,
BalasHapusIlmu agama ini adalah sarana dalam memperoleh keselamatan dan kemenangan dunia akhirat, maka tidak boleh sembrono dalam mengambilnya (tanpa seleksi), hendaklah diambil dari orang-orang yang ikhlash, terpercaya, lagi mempunyai pemahaman yang lurus sebagaimana pesan Rasulullah kepada Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
”Wahai Ibnu ’Umar, agamamu ! agamamu ! Ia adalah darah dan dagingmu. Maka PERHATIKANLAH DARI SIAPA KAMU MENGAMBILNYA. Ambillah dari orang-orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah)” [Al-Kifaayah fii ’Ilmir-Riwayah oleh Al-Khathib hal. 81, Bab Maa Jaa-a fil-Akhdzi ’an Ahlil-Bida’ wal-Ahwaa’ wa Ihtijaaj bi-Riwayaatihim, Maktabah Sahab].
Ilmu agama ini juga tidak boleh diambil dari ahli bid’ah dan/atau ashaaghir sebagaimana pesan Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu :
”Senantiasa umat manusia dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para akaaabir (yaitu ahli ilmu/ulama) mereka,. Jika mereka mengambil ilmu dari ashaaghir (orang-orang bodoh dan pelaku bid’ah) dan orang-orang jelek di antara mereka, niscara mereka akan binasa” [Jaami’ Baayanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr Al-Andalusy hal. 112; Maktabah Al-Misykah].
Syaikh Bakar Abu Zaid –seorang ulama Saudi, anggota Komisi Fatwa Saudi Arabia- berkata : “Waspadalah terhadap Abu Jahal (bapak kebodohan), yaitu ahli bid’ah, yang tertimpa penyimpangan aqidah, diselimuti oleh awan khurafat; dia menjadikan hawa nafsu sebagai hakim (penentu keputusan) dengan menyebutnya dengan kata “akal”; dia menyimpang dari nash (wahyu), padahal bukankah akal itu hanya ada dalam nash? Dia memegangi yang dha’if (lemah) dan menjauhi yang shahih. Mereka juga dinamakan ahlusy syubuhat (orang-orang yang memiliki dan menebar kerancauan pemikiran) dan ahlul ahwa’ (orang-orang yang mengikuti kemauan hawa nafsu). Oleh karena itulah Ibnul Mubarak menamakan ahli bid’ah dengan ash shaghir (anak-anak kecil) [Hilyah Thalibil ‘Ilmi, hlm. 39, karya Syaikh Bakar Abu Zaid.]
Kita tidak mengatakan bahwa seorang ulama, ustadz, atau pengajar itu harus ma’shum terbebas dari segala macam kesalahan sehingga dapat diambil ilmunya. BENARNYA PRINSIP-PRINSIP AQIDAH DAN MANHAJ ADALAH SATU HAL YANG TIDAK BISA DITAWAR-TAWAR LAGI. Wallahu a’lam