Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya):
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah : 3)
Ibnu Katsir rahimahullah dalam mengomentari ayat ini mengatakan, bahwa ini (Islam) adalah nikmat terbesar Allah Subhanahu wa Ta'ala atas umat ini, yang mana Allah telah menyempurnakan agama ini bagi mereka. Maka mereka tidak lagi membutuhkan kepada agama selain Islam dan kepada Nabi selain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, Allah telah menjadikan Muhammad Subhanahu wa Ta'ala sebagai penutup para Nabi dan mengutus Beliau kepada manusia dan jin. Maka tidak ada lagi penghalalan kecuali apa-apa yang telah Beliau halalkan dan tidak ada lagi pengharaman kecuali atas apa-apa yang telah Beliau haramkan dan tidak ada yang merupakan bagian dari agama kecuali dengan apa-apa yang telah Beliau syari'atkan. Semua yang Beliau sampaikan adalah benar dan tidak ada kedustaan di dalamnya sedikit pun.
Dengan ayat ini pula Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyempurnakan iman orang mukmin sehingga mereka tidak lagi membutuhkan penambahan ataupun pengurangan terhadap syari'at agama ini selamanya. Kalau hal ini benar-benar dipegang oleh seorang Muslim, niscaya tidak akan muncul berbagai bid'ah (sesuatu yang diada-adakan yang tidak ada asalnya dari al-Qur'an dan as-Sunnah) dan perpecahan dalam agama ini yang mengakibatkan kita memahami Islam tidak seperti yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Selanjutnya akan muncul pertanyaan, bagaimana manhaj (metode) dalam mempelajari, memahami dan mengamalkan Islam secara benar? Jawabannya adalah jika manhaj (metode) yang kita tempuh sesuai dengan hal-hal yang akan diterangkan berikut ini:
-
Kitabullah/al-Qur'anul-Karim
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya):
“Dan al-Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkahi, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. al-An'am : 155)
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya):
“Sesungguhnya aku tinggalkan bagimu dua perkara, salah satunya ialah Kitabullah (al-Qur'an) yang merupakan tali Allah. Barangsiapa mengikutinya maka ia berada di atas hidayah dan barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia dalam kesesatan.” (HR. Muslim)
-
as-Sunnah yang Shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam memahami dan mengamalkan kandungan al-Qur'an kita memerlukan as-Sunnah yang berisi penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang masih bersifat global. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya):
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu adz-Dzikr (al-Qur'an), agar kamu (Muhammad) menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkannya.” (QS. an-Nahl : 44)
Pada hakikatnya segala sesuatu yang diucapkan oleh Rasulullah juga merupakan wahyu dari Allah sehingga wajib bagi kita untuk mentaati segala perintah beliau dan menjauhi segala larangannya. Mentaati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berarti mentaati Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya):
“Barangsiapa yang mentaati Rasul maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak akan mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. an-Nisa' : 80)
Firman-Nya yang lain (yang artinya):
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr : 7)
-
Atsar (Jejak) Para Sahabat
Para sahabat adalah orang-orang yang mendapat didikan langsung dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka yang lebih tahu tentang sebab-sebab turunnya ayat, kepada siapa ayat itu ditujukan dan bagaimana tafsiran dari ayat tersebut. Tidak heran bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menobatkan mereka sebagai generasi terbaik sebagaimana sabda beliau:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabatku)…” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga telah memberikan keridhaan-Nya kepada mereka, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):
“Orang-orang yang dahulu lagi pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha pada mereka dan mereka pun ridha pada Allah, dan Allah janjikan bagi mereka Surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah: 100)
Jika Subhanahu wa Ta'ala Allah sudah ridha pada mereka, pasti mereka adalah orang-orang yang benar dan selamat. Maka jika kita ingin selamat, kita juga harus mengikuti mereka dalam setiap sisi kehidupan kita, baik dalam hal akidah, akhlak, ibadah maupun muamalah. Sebagaimana keselamatan ini juga dijamin oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya (yang artinya):
“Umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di Neraka kecuali satu. Mereka (para sahabat) bertanya: 'Siapa satu golongan yang selamat itu wahai Rasulullah?' Jawab beliau: 'Siapa saja yang seperti keadaanku dan para sahabatku pada hari ini.'” (Jami'ul-Ushul fi Ahadits ar-Rasul. Diriwayatkan Imam Ahmad, at-Tirmidzi dan lainnya, al-Hafizh menggolongkannya hadits hasan)
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga memerintahkan (yang artinya):
“Dan barangsiapa yang hidup diantara kalian sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur-Rasyidin setelahku. Peganglah erat-erat dan gigitlah ia dengan gigi-gigi gerahammu.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
-
Atsar (Jejak) Para Tabi'in dan Tabi'ut-Tabi'in
Tabi'in adalah murid para Sahabat, sedangkan tabiu't-tabi'in adalah murid para tabi'in. Mereka ini bersama Sahabat dikatakan sebagai tiga generasi terbaik. Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya):
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabatku), kemudian yang datang setelah mereka (tabi'in), kemudian yang datang setelah mereka (tabi'ut-tabi'in).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Jawabannya adalah: “Karena masing-masing golongan memahami al-Qur'an dan as-Sunnah dengan hawa nafsu atau logika atau perasaannya sendiri-sendiri. Dan solusi dari semua ini adalah mengembalikan lagi pemahaman Islam kita pada apa-apa yang pernah dipahami oleh Salafush-Shalih, yaitu tiga generasi pertama dari umat ini sebagaimana yang tersebut pada hadits di atas (yaitu Sahabat, Tabi'in dan Tabiut-Tabi'in).”
Semoga Allah senantiasa memudahkan langkah kita untuk selalu berjalan diatas jalan mereka. Amin. (Soraya).
http://www.ahlussunnah.info/artikel-ke-26-cara-memahami-islam-dengan-benar
Imam Suyuthi menukil perkataan Ibnu Taimiyyah: “Barangsiapa yg berpaling dari madzhab sahabat dan tabi'in dan tafsir mereka kepada yg menyelisihinya, maka dia telah salah bahkan sebagai ahli bid'ah.” (Al-Itqan fi 'Ulumil Qur'an juz II halm. 178 bagian Ilmu Qur'an yg ke-78)
BalasHapusSyaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (ulama madzhab Hanbali/guru Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi, Ibnu Abdul Hadi) berkata: “Apabila para sahabat, tabi’in dan para imam memiliki penafsiran ayat, kemudian datang suatu kaum yang menafsirkan ayat tersebut dengan penafsiran baru untuk menguatkan pemikiran yang dianutnya, dan pemikiran tersebut bukanlah termasuk madzhab sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka sesungguhnya mereka telah menyerupai kaum Mu’tazilah dan selainnya dari kalangan ahli bid’ah dalam masalah seperti ini. Singkat kata, siapa saja yang menyimpang dari madzhab dan penafsiran para sahabat dan tabiin, maka dia salah bahkan terjatuh kebid’ahan.” (Majmu’ Fatawa 13/361, Muqoddimah Tafsir hal.124-125 Syarh Ibnu ‘Utsaimin)
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah (ulama madzhab Hanbali/guru Ibnu Rajab) berkata: “Jeleknya pemahaman adalah sumber segala kebid’ahan dan kesesatan yang tumbuh dalam Islam, bahkan sumber segala kesalahan, apalagi bila dibarengi dengan jeleknya maksud tujuan. Tidaklah kesesatan kaum Qodariyah, Murji’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyyah dan seluruh ahli bid’ah kecuali karena jeleknya pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga agama yang banyak dianut mayoritas manusia adalah hasil pemahaman ini. Adapun pemahaman sahabat dan orang yang mengikuti mereka ditinggalkan dan tidak dianggap sedikitpun.” (Kitab Ar-Ruuh hal.113-114)
Imam Asy-Syathibi (ulama madzhab Maliki) berkata: “Betapa sering engkau dapati ahli bid’ah dan penyesat umat mengemukakan dalil dari Al-Qur’an dan hadits dengan memaksakannya agar sesuai dengan pemikiran mereka dan menipu orang-orang awam dengannya. Lucunya mereka menganggap bahwa diri mereka di atas kebenaran. Oleh karenanya, maka semestinya bagi setiap orang yang berdalil dengan dalil syar’i agar memahaminya seperti pemahaman para pendahulu (salaf) dan praktek amaliyah mereka, karena itulah jalan yang benar dan lurus”. (Al-Muwafaqot Fi Ushul Syari’ah 3/52)