Halaman

Selasa, 28 Agustus 2012

Mengimani bahwasanya Wajah Allah akan Terlihat di Surga Kelak

Beberapa hari yang lalu aku mendengarkan sebuah kajian di salah satu radio. Ketika itu ada seorang penanya bertanya kepada Ustadz via telpon
Penanya : "Ustadz, saya mau tanya apakah kita bisa melihat wajah Allah?"

Ustadz : "Mana mungkin kita bisa melihat wajah Allah. Nabi Musa saja tidak mampu melihatnya. Apalagi kita"
Penanya : "Tapi kan ada hadits yang melihat wajah Allah di akhirat, Ustadz?"
Ustadz : "Hadits yang mana? Semua hadits tentang melihat wajah Allah itu dhaif. Jangan ngawur"

Setelah selesai menjawab pertanyaan pertama, masuk lagi sebuah telepon.
Penanya : "Assalamu alaikum Ustadz, ana mau tanya"
Ustadz : "Wa alaikumusalam. Tafadhal"
Penanya : "Dewasa ini ada berita santer terdengar kalau kajian ini tidak benar. Benarkah seperti itu Ustadz? Mohon penjelasannya"
Ustadz : "Astaghfirullah, siapa yang bilang seperti itu? Bawa orangnya ke mari! Buktikan perkataannya. Bukankah Allah berfirman, '.....janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.' (QS Ar Ruum: 31-32). Nah, kalau ada orang yang berdakwah, menyeru kepada agama Allah dikatakan kajian gak benar. Apalagi yang bisa dituduhkan kepada orang yang berkata seperti itu kalau bukan orang yang suka memecah belah agama Allah seperti musyrikin itu!"

Inilah sepintas fenomena yang kerap terjadi.. Pernahkah terpikir oleh kalian bahwa masalah seperti ini (melihat wajah Allah-red) adalah masalah sepele?

Hendaknya kita mengingat sebuah nasehat nan indah "seseorang dihukumi masuk Islam karena keyakinannya dan dihukumi keluar dari Islam karena keyakinannya pula" Oleh karena itu janganlah kalian menganggap permasalahan ini adalah permasalahan sepele karena ini menyangkut keyakinan. Sedikit bercerita....

Pada masa terdahulu sebelum terjadi bid’ah (perkara baru yang tidak diajarkan Rasulullah shalallahu alaihi wasalam). Umat Islam tidak dikenal kecuali dengan nama Islam dan kaum muslimin, kemudian setelah terjadinya perpecahan dan munculnya golongan-golongan sesat yang mana setiap golongan menyerukan dan mempropagandakan bid’ah dan kesesatannya dengan menampilkan bid’ah dan kesesatan mereka di atas nama Islam, maka tentunya hal tersebut akan melahirkan kebingungan. Akan tetapi Allah Azza wa Jala Maha Bijaksana dan Maha Menjaga agama-Nya. Dialah Allah Subhanahu wata ‘ala yang berfirman:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” (QS. Al Hijr ayat 9).

Jauh-jauh hari, Rasulullah pernah bersabda bahwa umat ini akan terpecah belah,

“Terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu”.

Takhrij: HR. Muslim dari hadits Tsauban dan semakna dengannya diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim dari hadits Mughiroh bin Syu’bah dan Mu’awiyah dan diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah. Dan hadits ini merupakan hadits mutawatir sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho` Ash-Shirath Al-Mustaqim 1/69, Imam As-Suyuthy dalam Al-Azhar Al-Mutanatsirah hal. 216 dan dalam Tadrib Ar-Rawi, Al Kattany dalam Nazhom Al-Mutanatsirah hal.93 dan Az-Zabidy dalam Laqthul `Ala`i hal.68-71. Lihat : Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf.

Para Imam Ashabul Hadits berkata bahwasanya kelompok yang tampak berada di atas kebenaran adalah al jamaah. Pernyataan ini disandarkan pada sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam,

“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah”.

Takhrij: HR. Ahmad, Tirmidzi dan yang lain. Al Hafidz menggolongkannya hadits hasan. Syaikh Al-Albani -rahimahumullahu- menshahihkannya dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil -rahimahumullahu- menshahihkannya dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain.

Dalam satu riwayat lain diterangkan bahwasanya Al-Jama'ah adalah, 

"Apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya sekarang ini”.

Takhrij: HR Ahmad. Hadits shahih, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain rahimahumullah.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As-sunnah jilid 3 hal. 345: “Maka apabila sifat golongan yang selamat (Al-Firqoh An-Najiyah) mengikuti para shahabat di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan itu adalah syi'ar (ciri, simbol) Ahlus Sunnah maka Al-Firqoh An-Najiyah mereka adalah Ahlus Sunnah”

Berkata Syaikh Hafizh Al-Hakamy: “Telah dikabarkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam -yang selalu benar dan dibenarkan- bahwa Al-Firqoh An-Najiyah mereka adalah siapa yang di atas seperti apa yang beliau dan para shahabatnya berada di atasnya, dan sifat ini hanyalah cocok bagi orang-orang yang membawa dan menjaga sifat itu, tunduk kepadanya lagi berpegang teguh dengannya. mereka yang saya maksud ini adalah para imam hadits dan para tokoh (pengikut) Sunnah”. Lihat Ma'arijul Qobul jilid 1 hal.19.

Maka nampaklah dari keterangan di atas asal penamaan Al-Firqoh An-Najiyah dari hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa alihi wa sallam yaitu apa Rasulullah dan para sahabatnya berdiri diatasnya pada saat itu.

Pernahkah terpikir oleh kalian "Jika seperti itu perkaranya maka kita harus menyamakan keyakinan kita dengan keyakinan al firqah an najiyah ini?" Ya tentu jika engkau ingin selamat. Termasuk keyakinan kita dalam perkara melihat wajah Allah juga harus sama dengan keyakinan Rasulullah dan para sahabatnya. Oleh karena itu marilah kita telaah perkara ini bersama-sama.

Ketahuilah! Pada masa dahulu muncullah firqah-firqah baru (firqah bidah) yang mana mereka menyempal dari pemahaman Islamnya Rasulullah dan para sahabatnya. Padahal andaikata kita renungi dengan seksama, yang paling tahu ajaran Islam itu adalah para sahabat Rasulullah DAN BUKAN ORANG-ORANG YANG SELAIN MEREKA seperti orang yang akan disebutkan setelah ini. Awal cerita, sepeninggal Rasulullah shalallahu alaihi wassalam (kira-kira antara tahun 40-100H) hiduplah seorang fuqaha Islam/tabi'in bernama Al Imam Al Hasan Al Bashri. Dia memiliki murid bernama Washil bin Atha.

Suatu hari Washil bin Atha pernah dipergoki sedang mengajarkan pemahaman baru (menyimpang) di majelis ilmu Al Imam. Dia berpendapat: orang fasiq berada diantara muslim dan bukan muslim, menganggap mustahil melihat wajah Allah dengan penglihatan, mengingkari takdir sebagaimana golongan sesat lainnya yaitu QADARIYAH, dan banyak kesesatan lainnya yang tentunya meletihkan untuk dibahas disini. Kemudian pendapat tersebut diketahui oleh Al Imam Al Hasan Al Bashri. Tidak lama setelah itu, dia diusir oleh Al Imam Al Hasan Al Bashri.

Setelah diusir, Washil bin Atha menyendiri kemudian bertemu dengan Amr bin ‘Ubaid. Dia bergabung bersamanya, berdakwah dari desa ke desa dari kota ke kota dalam keadaan "DIA MEMILIKI PEMAHAMAN BIDAH (MENYIMPANG)". Bertahun-tahun mereka berdakwah, akhirnya menjadi besarlah komunitas mereka. Kesesatan merekapun dari tahun ke tahun terus bertambah. Para ulama saat itu menjuluki mereka dengan firqah MUTAZILAH. Mulai saat itulah kisah ini terukir di kitab para ulama diantaranya dalam kitab Aqidatusalaf wa Ashabul Hadits karya Imam Ismail Ashabuni 373H lihat catatan kaki oleh Abul Yamin Al Manshuri 12/94)

Mutazilah ini mengkeramatkan akal sehingga akal adalah sumber kebenaran yang lebih tinggi kedudukannya dari Al-Qur'an dan Al-Hadits. Sehingga dari pengkeramatan akal ini timbullah pemahaman yang rancu atas Qur’an dan Hadits. Kaum mu’tazilah mengingkari hadits-hadits tentang Ru’yah yang menyatakan akan dapat dilihatnya Allah pada hari Kiamat. Mereka berdalil dengan ayat-ayat yang terkesan menafikan secara mutlak akan dilihatnya Allah pada hari kiamat. Seperti firman Allah:

Dan tatkala Musa datang untuk (bermunajat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Allah telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Rabb-ku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Allah menjawab: "Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku. Tapi lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap ada di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Rabb-nya menampakkan diri pada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang yang pertama-tama beriman". (al-A’raaf: 143)

Adapun keyakinan yang shahih yang datang dari para sahabat adalah:

Adapun bagi Al firqah an najiyah -pengikut para Shahabat dan Tabi’in dan Atba’ut Tabi’in-, mereka adalah orang-orang yang sangat meyakini akan adanya pertemuan dengan Allah dan berharap untuk diberikan kesempatan melihat Wajah- Nya.

Bahkan sesungguhnya seluruh manusia kelak akan sangat mengharapkan untuk mendapatkan kesempatan memandang Wajah Allah, karena hal itu merupakan satu kenikmatan. Namun orang-orang kafir akan terhalang untuk memandang Wajah Allah, karena kekufuran mereka ketika masih hidup di dunia. Allah Subhanahu wata'ala berfirman:

كَلاَّ إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ. المطففين: 15
"Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari Rabb mereka." (al-Muthaffifin: 15)

Dalil-dalil tentang akan dilihatnya Wajah Allah

Dalil-dalil yang menunjukkan akan dilihatnya Wajah Allah oleh kaum mukminin di akhirat selain ayat-ayat di atas sangat banyak. Di antaranya:

1. Firman Allah Subhanahu wata'ala:

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلاَ يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلاَ ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ. ]يونس: 26[
"Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya." (Yunus: 26)

Yang dimaksud dengan “tambahan” pada ayat di atas adalah memandang Wajah Allah sebagaimana disebutkan dalam satu riwayat dari Shuhaib Radhiallahu'anhu ketika menafsirkan ayat di atas Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

ثُمَّ إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُوْلُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيْدُوْنَ شَيْئًا أَزِيْدُكُمْ فَيَقُوْلُوْنَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوْهَنَا أَلَم تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنْجِيْنَا مِنَ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفَ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوْا شَيْئًا أَحَبَّ إلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ. (رواه مسلم)
"Kemudian ketika penghuni surga telah masuk surga, Allah tabaraka wa ta’ala berfirman: “Apakah kalian menginginkan sesuatu tambahan?” Mereka menjawab: “Bukankan engkau telah memutihkan wajah-wajah kami, bukankah engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan Kau selamatkan kami dari api neraka?” Kemudian Allah menyingkapkan hijabnya, maka tidak ada pemberian yang lebih mereka sukai daripada memandang Wajah Allah Azza wa Jalla." (HR. Muslim)

2. Dalam riwayat lainnya dari Abu Hurairah Radhiallahu'anhu disebutkan:

أَنَّ نَاسًا قَالُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ قَالُوا لاَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هَلْ تُضَارُّونَ فِي الشَّمْسِ لَيْسَ دُونَهَا سَحَابٌ قَالُوا لاَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِنَّكُمْ تَرَوْنَهُ كَذَلِكَ. (متفق عليه)
Sesungguhnya manusia telah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah! Adakah kami dapat melihat Rabb kami pada Hari Kiamat?” Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam menjawab: “Adakah yang memudharatkan kalian jika kalian melihat bulan pada malam purnama”? Mereka menjawab: “Tidak, wahai Rasulullah!” Beliau bertanya lagi kepada mereka: “Adakah yang memudharatkan kalian jika kalian melihat matahari yang tidak dilindungi awan?” Mereka menjawab: “Tidak wahai Rasulullah!” Kemudian beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: “Begitu juga kalian akan melihat-Nya…” (HR. Bukhari Muslim)

3. Dalam riwayat lainnya dari shahabat Jarir bin Abdullah Radhiallahu'anhu:

كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ نَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ فَقَالَ أَمَا إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لاَ تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا يَعْنِي الْعَصْرَ وَالْفَجْرَ ثُمَّ قَرَأَ جَرِيرٌ (وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا). (متفق عليه)
Ketika kami sedang duduk di samping Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, tiba-tiba beliau memandang bulan purnama, seraya bersabda: Sesungguhnya kalian akan dapat melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini, dan kalian tidak berdesak-desakkan ketika melihat-Nya. Maka jika kalian mampu, janganlah kalian lalai untuk melakukan shalat sebelum terbit Matahari dan sebelum terbenam Matahari, yaitu shalat Asar dan Subuh”. Kemudian Jarir membaca firman Allah

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوْبِهَا
“Dan bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu sebelum terbit dan terbenam matahari”. (HR. Bukhari Muslim)

Yang diserupakan dalam hadits diatas adalah cara mereka yang mudah dan tidak berdesak-desakkan, bukan menyerupakan Allah dengan bulan. Berkata Imam Abu Utsman ash-Shabuni:

وَالتَّشْبِيْهُ فِي هَذَا الْخَبَرِ وَقَعَ لِلرُّؤْيَةِ بِالرُّؤْيَةِ لاَ لِلْمَرْئِي بِالْمَرْئِي.
Yang diserupakan dalam hadits ini adalah “cara melihat” dengan “cara melihat”, bukan “yang dilihat” dengan yang dilihat. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 76)

Ibnu Abil ‘Izzi berkata dalam Syarh Aqidatu ath-Thahawiyah bahwa hadits-hadits tentang dilihatnya Allah pada hari kiamat telah diriwayatkan dari sekitar 30 orang shahabat. Barangsiapa yang meneliti seluruhnya, maka dia akan yakin bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam benar-benar telah mengatakannya. (Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi, hal. 189)
Wallahu a'lam..

Ini adalah dalil yang shahih untuk membantah orang-orang yang menolak kebenaran dengan akal mereka. Seperti perkataan Ustadz "Mana mungkin kita bisa melihat wajah Allah. Nabi Musa saja tidak mampu melihatnya. Apalagi kita"...........
Terlebih lagi kita saksikan sebuah kemunkaran yang datang dari perkataan Ustadz "Hadits yang mana? Semua hadits tentang melihat wajah Allah itu dhaif".

Aku katakan : Dari mana ustadz berguru sehingga bisa mendhaifkan hadits-hadits Ahlul Hadits. Bahkan hadits-hadits yang tertuduh dhaif tersebut adalah hadits mutawatir (datang dari banyak jalan dan shahih)? Aku mengira dia suka membaca kitab ulama-ulama yang -wallahu a'lam- menyimpang dari koridor syar'i ahlus sunnah wal jamaah.

Dan yang paling disayangkan adalah perkataan ustadz "Nah, kalau ada orang yang berdakwah, menyeru kepada agama Allah dikatakan kajian gak benar. Apalagi yang bisa dituduhkan kepada orang yang berkata seperti itu kalau bukan orang yang suka memecah belah agama Allah?"

Aku katakan : Seharusnya si ustadz berkaca bahwasanya yang telah memecah agama Islam ini adalah dia. Bagaimana mungkin saya tidak mengatakan demikian. Apabila telah datang suatu kebenaran (hadits shahih) kemudian ia tolak dengan akal kemudian kemudian dia bantah yang haq (Entah Islam model apa yang diserukan oleh ustadz).

Akhir kata saya ingatkan kepada antum semua bahwasanya banyak diantara umat yang terkecoh. Hal ini disebabkan karena kurang ilmu. Yang akhirnya membuat mereka terperosok ke dalam kubangan dakwah dai-dai jahat. Yang bingung semakin bingung, yang bodoh semakin bodoh, yang sesat semakin sesat, yang keminter semakin keminter akhirnya perpecahan dimana-mana. Hendaknya setiap muslim pandai-pandai memilah kepada siapa mereka mencari ilmu sebagaimana nasehat para salaf (pendahulu) kita

Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda:

“Yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah imam-imam yang menyesat-kan.” (HR. Abu Dawud, 4/4252 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, jilid 4 no. 1586)

Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berkata: “Kalian akan mendapati segolongan kaum yang menyangka bahwa mereka menyeru kepada Kitabullah, namun hakekatnya mereka telah melemparkannya ke belakang punggung-punggung mereka.” (Al-Ibanah, 1/322)

Oleh karena itu seorang tabi’in bernama Muhammad bin Sirin (murid Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam generasi ke-2) menasihatkan kepada kita: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya). Dan inilah yang wajib kita pegang di masa-masa fitnah seperti ini.

http://al-jasary.blogspot.com/2010/10/allah-memiliki-wajah-dan-suatu-saat.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar