Halaman

Rabu, 15 Agustus 2012

BERMADZHAB SALAFI ADALAH BID’AH ?

Oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Dr Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi dalam bukunya “As-Salafiyah Marhalatun Zamaniyyatun Mubarokah Laa Mazhabun Islaamiyun” menulis di halaman 236 dengan judul : “Bermadzhab salafi adalah bid’ah”.

Jawaban
Perkataan ini mengherankan dan mengagetkan sekali, bagaimana mungkin bermadzhab salafi itu bid’ah dan sesat? Bagaimana mungkin dinyatakan bid’ah padahal ia mengikuti madzhab salaf, sementara mengikuti madzhab mereka adalah wajib sebagaimana dijelaskan Al-Kitab dan As-Sunnah dan ia juga haq dan huda ?

Allah berfirman.

“Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah” [At-Taubah : 100]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin”

Dengan demikian bermadzhab salaf itu tidak bid’ah tapi sunnah, dan justru bermadzhab dengan selain salaf adalah bid’ah.

Jika yang dimaksud penulis adalah penamaan dengan nama ini adalah baru sebagaimana terlihat dari perkataannya dan sebelumnya istilah ini tidak popular maka ia adalah bid’ah (atas dasar ini), maka permasalahan nama itu tidak sulit dan kesalahan dalam hal penamaan itu tidaklah sampai pada derajat bid’ah, sekalipun yang dimaksud adalah ada pada sebagian orang-orang yang menamakan dengan nama ini, telah melahirkan kesalahan-kesalahan yang menentang madzhab salaf. Seharusnya penulis menjelaskan hal ini (kesalahannya), tanpa membawa (madzhab) salafiyah, dan penamaan salafiyah. Jika yang dimaksud penulis adalah berpegang teguh dengan madzhab salaf, menolak bid’ah dan khurafat maka ini terpuji dan sangat baik. Sebagaimana penulis menyatakan di halaman 233 ketika ia berkata tentang gerakan Jamalauddin Al-Afghani dan Muhamamd Abduh dan dinamakan dengan gerakan Salafiyah ; dan syiar yang diusung pemimpin gerakan reformasi ini adalah As-Salafiyah. Ia adalah dakwah (ajakan) menolak semua kesalahan-kesalahan ini yang telah mengotori kesucian Islam.

Inilah yang dikatakan penulis tentang gerakan itu dan penamannya dengan salafiyah, namun ia tidak mempermasalahkan nama karena tujuannya bagus. Sekarang kita bertanya pada penulis : “Apakah salafiyah hari ini tidak demikian ?

MEMBOLEHKAN MENYALAHI SALAF DALAM SIFAT-SIFAT ATAS HAKIKATNYA

Di halaman 138, Dr Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi membolehkan untuk menyalahi salaf dalam menetapkan sifat-sifat atas hakikatNya, kemudian ia berkata : “Bahkan sekiranya ada seseorang dari salaf tidak membolehkan bagi dirinya, kecuali menetapkan hal itu sebagaimana Allah telah tetapkan dan menyerahkan ilmu dan perincian mengenai maksud dibelakang makna itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka pendapat seperti itu bukanlah hujjah atas haramnya menyalahi mereka dalam mensikapi sifat-sifat dan hakikatNya dengan pengharaman secara mutlak”.

Jawaban.
Subhanallah mudah-mudahan kita tidak lancang terhadap orang-orang salaf. Bukankah menyalahi mereka yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar serta Khulafaur Rasyidin dan para sahabat yang lainnya Radhiyallahu ‘anhum sebagai fase yang paling utama ? Dan bukankah menyalahi mereka dalam masalah akidah itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan sebagaimana sabdanya.

“Artinya : Hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk, berpeganglah dengan itu dan gigitlah dengan taringmu, hati-hatilah dengan masalah-masalah yang baru karena setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara Muhajarin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah” [At-Taubah : 100]

Allah Subhanahu wa Ta’ala ridha bagi orang yang datang setelah mereka dalam mengikuti Muhajirin dan Anshar dengan kata “ihsan” (baik), dan penulis (Dr Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi) berkata “Tidaklah haram untuk menyalahi mereka (salaf) dalam hal sifat-sifat Allah Azza wa Jalla” . Hanya saja bukankah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghabarkan, bahwa fase mereka sebagai sebaik-baik fase ? Ini artinya bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk selalu mengikuti mereka dan melarang menyalahinya terutama dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama). Oleh karena itu pantaskah kita menyelisihi mereka dalam usrusan akidah ? Bukankah masalah akidah itu taufiqiyyah yang tidak ada tempat untuk berijtihad dan berikhtilaf?

TENTANG SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB

Di halaman 236 dan 237, Dr Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi menyatakan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –yarhamuhullah- sebagai madzhab wahabi dan berkata : “Sesungguhnya kelompok Wahabiyah menolak untuk dinyatakan dengan sebutan ini, karena sebutan ini mengisyaratkan, bahwa sumber madzhab ini dengan segala kelebihan dan kekhususannya bermuara pada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka hal ini memaksa mereka untuk mengganti sebutan Wahabiyah dengan sebutan Salafiyah …” dan seterusnya.

Jawaban
Kita jawab ; “Sesungguhnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak memiliki madzhab tertentu sehingga disebut Wahhabiyah, karena dalam manhaj aqidahnya adalah merujuk kepada Salaf. Sedangkan dalam masalah furu merujuk kepada madzhab Imam Ahmad bin Hambal yang dijadikan pegangan oleh ulama Nejed sebelumnya dan pada masa hidupnya serta setelah wafatnya Syaikh. Sementara pengikutnya menyeru kepada madzhab Salaf dan berjalan di atas manhajnya, dan saya meminta keterangan, bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hadir membawa madzhab baru yang dinisbatkan kepadanya, dan jika penulis tidak membawakannya –dan tidak akan mendapatkannya- maka ia telah berdusta atas nama Syaikh dan pengikutnya dan Allah akan membalas kepada semua pendusta.


[Disalin dari buku Salafi Digugat Salafi Menjawab, DR Shalih bin Fauzan Al-Fauzan dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah M. Tasdiq, Lc, Rudy Hartono Lc, Penerbit Pustaka As-Sunnah]
http://almanhaj.or.id/content/1940/slash/0

3 komentar:

  1. bagaimana dengan bermadzhab salah satu dari Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Syafi'i, Imam Hanafi?

    bukankah keilmuan mereka juga mengikuti para sahabat?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh, tentu ada rambu2nya.

      Rambu pertama:
      Harus diyakini bahwa madzhab tersebut bukan dijadikan sarana kawan dan musuh sehingga bisa memecah belah persatuan kaum muslimin. Jadi tidak boleh seseorang berprinsip jika orang lain tidak mengikuti madzhab ini, maka ia musuh kami dan jika semadzhab, maka ia adalah kawan kami.
      Sifat dari pengikut hawa nafsu (ahlu bid’ah) berprinsip bahwa satu person dijadikan sebagai tolak ukur teman dan lawan. Sedangkan Ahlus Sunnah berprinsip bahwa yang dijadikan standar wala’ dan baro’ (kawan dan lawan) hanya dengan mengikuti Al Quran dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ijma’ (konsensus) para ulama kaum muslimin.

      Rambu kedua:
      Tidak boleh seseorang meyakini bahwa setiap muslim wajib mengikuti imam tertentu dan tidak boleh mengikuti imam lainnya. Jika ada yang meyakini demikian, dialah orang yang jahil. Namun orang awam boleh baginya mengikuti orang tertentu, akan tetapi tidak ditentukan bahwa yang diikuti mesti Muhammad, ‘Amr atau yang lainnya.

      Rambu ketiga:
      Imam yang diikuti madzhabnya tersebut harus diyakini bahwa ia hanya diaati karena ia menyampaikan maksud dari agama dan syari’at Allah. Sedangkan yang mutlak ditaati adalah Allah dan Rasul-Nya. Maka tidak boleh seseorang mengambil pendapat imam tersebut karena itu adalah pendapat imamnya. Akan tetapi yang harus jadi prinsipnya adalah dia mengambil pendapat imam tersebut karena itu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

      Rambut keempat:
      Menjaga diri agar tidak terjatuh pada hal-hal yang terlarang sebagaimana yang dialami para pengikut madzhab di antaranya:
      1. Fanatik buta dan memecah persatuan kaum muslimin.
      2. Berpaling dari Al Qur’an dan As Sunnah karena yang diagungkan adalah perkataan imam madzhab.
      3. Membela madzhab secara overdosis bahkan sampai menggunakan hadits-hadits dhoif agar orang lain mengikuti madzhabnya.
      4. Mendudukkan imam madzhab sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[ Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 501-503]
      Ibnu Taimiyah mengatakan,
      أَمَّا وُجُوبُ اتِّبَاعِ الْقَائِلِ فِي كُلِّ مَا يَقُولُهُ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ دَلِيلٍ يَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ مَا يَقُولُ فَلَيْسَ بِصَحِيحِ ؛ بَلْ هَذِهِ الْمَرْتَبَةُ هِيَ ” مَرْتَبَةُ الرَّسُولِ ” الَّتِي لَا تَصْلُحُ إلَّا لَهُ
      “Adapun menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang dalam setiap perkataannya tanpa menyebutkan dalil mengenai benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak tepat. Menyikapi seseorang seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul semata yang selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.”[ Majmu’ Al Fatawa, 35/121, Darul Wafa’]
      Dasar dari perkataan di atas adalah firman Allah Ta’ala,
      فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
      “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An Nisa’: 65)

      Hapus
    2. kita bermanhaj salaf kita mengikuti muhajirin dan ansor......lalu apakah amal kita sudah mengikuti mereka.....?????apakah kita ini bener bener salaf...para salaf pernah berperang sedang kita kok malah enak enak main internet......lalu apa salafi kaya gini????

      Hapus