Pengingkaran terhadap hadits
juga menghinggapi para pengikut madzhab yang fanatik atau orang-orang
yang kurang memahami seluk-beluk ilmu hadits. Dan tidak menutup
kemungkinan ada di antara kita – sadar atau tidak- mengingkari
as-Sunnah, ketika menyaksikan seorang muslim konsisten untuk meneladani
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Umat Islam, sejak awal, telah satu kata bahwa hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Sunnah) merupakan bagian tak
terpisahkan dari Islam. Berfungsi sebagai sumber hukum bagi agama yang
hanif ini. Meski demikian, ada sebagian pihak yang mengalihkan
pemahaman mengenai hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, yaitu dengan melakukan pengingkaran terhadap hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melancarkan keraguan
terhadapnya.Gerakan pengingkaran terhadap Sunnah ini kian gencar menebarkan racun subhatnya terhadap Sunnah.
Penyebutan kelompok gerakan ini sangat menarik. Mereka menamakan diri al-Qur`âniyyûn. Nama yang dinisbatkan kepada Al-Qur`ânul-Karim, padahal Al-Qur`ân berlepas diri dari pemikiran anti hadits ini.
Ciri yang menonjol aqidah golongan al-Qur`âniyyûn ini, ialah
mendahulukan ketetapan hukum berdasar nash yang zhahir, disertai
keyakinan bahwa Sunnah tidak memiliki kekuatan hukum sedikit pun.[1]
Sehingga, mereka pun mencampakkan hadits-hadits seraya berkata: “Kami
tidak mengamalkan aqidah dan hukum-hukum kecuali yang terdapat dalam
Al-Qur`ân saja”.PENGINGKARAN TERHADAP HADITS, PROPAGANDA USANG
Ajakan untuk mencampakkan Sunnah, bukanlah produk masa kini. Akan tetapi, telah ditukangi pertama kali oleh kaum musyrikin Quraisy. Mereka menyalakan api fitnah ini. Menyulut keragu-raguan tentang kesucian Sunnah.
Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya, dan Abu Dawud dalam Sunan-nya dengan isnad shahîh dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata :
كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ أُرِيدُ حِفْظَهُ فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ وَقَالُوا أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا فَأَمْسَكْتُ عَنْ الْكِتَابِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ فَقَالَ اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ
“Sebelumnya, aku menulis setiap sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku ingin menghafalnya. Kemudian kaum Quraisy melarangku. Mereka berkata (dengan nada pengingkaran, Pen.): ‘Apakah engkau menulis semua yang engkau dengar darinya, padahal Rasulullah adalah manusia biasa, berbicara dalam keadaan marah dan senang [2]. Aku mengekang diri dan kemudian, aku ceritakan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan jari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk ke mulut seraya bersabda : Tulis saja. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar dari diriku kecuali kebenaran”.
Keberadaan para penentang Sunnah, memang sudah disinyalir oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyinggung orang-orang yang menyebut diri sebagai Qur`aniyyun itu. Berita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan salah satu kebenaran kenabian beliau. Karena, apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritakan telah menjadi fakta yang nyata terjadi di tengah umat speninggal beliau.
Diriwayatkan oleh ad-Daarimi, at-Tirmidzi dan Ahmad, dari al-Miqdaam bin Ma’dikarib al-Kindi Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah mengharamkan banyak hal pada hari terjadinya perang Khaibar. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيُوشِكُ بِالرَّجُلِ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يُحَدَّثُ بِحَدِيثِي فَيَقُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللَّهِ مَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَلَالٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ أَلَا وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ هُوَ مِثْلُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ
“Hampir-hampir ada seorang laki-laki yang bersandar di atas tempat tidurnya yang dihias, disampaikan kepadanya sebuah hadits dariku, lalu dia akan berkata: ‘Di antara kami dan engkau ada Kitab Allah Azza wa Jalla. Apa yang kita jumpai di dalamnya perkara yang halal, maka kita menghalalkannya. Dan apa yang kita jumpai di dalamnya perkara yang haram, maka kita mengharamkannya’. Ingatlah, sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala “. [HR Ibnu Majah, no. 12, dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni].
Perhatikan argumentasi kaum Qur’aniyyun dalam hteks hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas, begitu mirip dengata pernyataan para penganut Ingkar Sunnah di atas.
INNAHUM QAUM YAJHALUN!
Kaum Qur’aniyyun, mereka ialah kaum yang tidak memahami hakikat yang sebenarnya !. Demikianlah keadaan mereka. Ini bukan penilaian tanpa dasar.
Untuk mendukung pembenaran sikap dalam mengingkari Sunnah, mereka berdalih bahwasanya Al-Qur`ân tidak melupakan apapun. Dasar argumentasi mereka, yaitu dengan mengambil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
... “Tiadalah Kami lupakan sesuatu apapun di dalam al-Kitab”... [al-An'aam/6:38].
Dalil di atas memang tidak disangsikan keabsahannya. Namun, mereka menempatkannya dalil tersebut tidak sesuai pada tempatnya. Mereka mengambil dan memahaminya secara sepotong. Padahal pemahaman terhadap suatu ayat Al-Qur’an harus ditbangun dengan semua ayat yang masih dan saling berkait. Tidak dengan cara sepotong-sepotong. Begitu juga, pemhaman terhadap ayat harus ditopang dengan husnun niyyah (kebaikan niat) dan husnul fahmi (pemahaman yang benar).
Para, kaum Qur’aniyyun hendaklah kembali kepada pemahaman yang benar, bahwasanya hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“…dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu …. ” [al-Baqarah/2: 231]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
“Ingatlah, sesungguhnya aku diberi al-Kitab (Al-Qur`ân) dan (diberi) yang semisalnya (yaitu as-Sunnah) bersamanya”. [3]
Apakah dapat dibenarkan oleh logika akal sehat dan kaca mata keimanan, manakala seorang muslim hanya mengamalkan sebagian wahyu Allah semata? Sementara itu, pada kondisi lain, ia enggan atau menolak mengamalkan bagian wahyu yang lain?
Hendaknya kaum Qur`aniyyun menyadari bahwa sebagaimana
Malaikat Jibril turun kepada Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan membawa al Qur`an, ia juga membawa wahyu berupa
Sunnah yang mengandung penjelasan. Terkadang membawa keterangan yang
memuat hukum tersendiri, di luar yang disinggung oleh al Qur`an.
Seandainya benar-benar orang-orang yang mengikuti ajaran al Qur`an,
niscaya mereka akan menjadi orang-orang yang bersegera menerima dan
mengamalkan kandungan asSunnah, lantara al Qur`an memuat
perintah-perintah tentang wajibnya menaati Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan menjalankan perintah-perintahnya. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman :“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka”. [An Nisa/4: 80]
ANTARA PENULISAN AL QUR`AN DAN TADWIIN KODIFIKASI HADITS.
Di antara syubhat yang mereka tebar: “Sesungguhnya as Sunnah tidak tertulis di masa Nabi”.
Statemen mereka ini, tentu sarat kebatilan dan tertolak. Karena ada sebagian sahabat telah menulis hadits. Contohnya sebagaimana tersebut dalam hadits Abdullah bin ‘Amr di atas. Beliau juga memerintahkan untuk menulis hadits bagi Abu Syah. Adapun tentang penulisan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak muncul dari perintah Rasulullah sendiri, karena banyak faktor yang melatarbelakanginya. Seperti, sebagian orang memandang hafalannya lebih kuat dan paten ketimbang tulisan jika menyibukkan diri untuk mempelajari dan mengajarkannya secara tanpa buku, melalui hafalan di luar kepala.
Syubhat lain yang mereka lontarkan : “Sesungguhnya hadits-hadits belum terbukukan di masa-masa awal generasi Sahabat”.
Anggapan demikian ini pun tertolak. Sebab, al Qur`an juga belum
terbukukan di masa-masa awal. Apakah dengan itu, seorang berakal boleh
mengatakan jika para sahabat tidak memperhatikan al Qur`an”?!. Apakah
boleh dikatakan bahwa keaslian al Qur`an diragukan?!
Demi Allah tidak!. Karena kekuatan hafalan mereka waktu itu sangat
memadai. Dengan kualitas hafalan mereka yang bagus, al Qur`an dan as
Sunnah terpelihara hingga tidak hilang dan tetap terjaga. Selain itu,
lantaran banyaknya jumlah orang yang sudah menghafal dari kalangan
sahabat.Para sahabat menaruh perhatian besar pada pemeliharaan as Sunnah. Misalnya seorang sahabat bernama Jaabir bin ‘Abdillah al Anshaari Radhiyallahu ‘anhu rela menempuh perjalanan sebulan untuk mencari sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Unais. Begitu pula Abu Ayyub al Anshaari Radhiyallahu ‘anh, ia pergi menemui ‘Uqbah bin ‘Amir al Juhani Radhiyallahu ‘anhu untuk memperoleh satu hadits saja. Demikianlah, kebiasaan ini terus berlanjut hingga generasi Tabi’in. Mereka mengambil hadits-hadits dari para sahabat, dan demikian seterusnya. Upaya penggalian hadits ini dikenal dengan ar rihlatu fii thalabil hadîts.
Sunnah itu kemudian berpindah secara bersambung dari generasi kepada genarasi berikutnya.Dan akhirnya sampai ke tangan kaum muslimin pada masa sekarang ini, dan seterusnya berkat kemudahan yang diberikan Allah dan kemurahan-Nya kepada umat Islam. Pada setiap kurun, Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih ulama yang mengemban hadits-hadits Rasulullah dan menyampaikannya ke generasi berikutnya. Para ulama ini, juga melakukan penyeleksian hadits-hadits secara ketat. Hadits-hadits pun terjaga dan terbebas dari intervensi luar yang hendak mengotorinya.
CELAAN TERHADAP PARA PENGINGKAR SUNNAH
Penegasan wajibnya taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak bisa dipungkiri. Yakni menjadi sesuatu yang harus dan pasti. Disamping banyak dalil al Qur`an dan Hadits yang menyinggungnya, juga telah terjadi kesepakatan (ijma’) di kalangan ulama dalam masalah ini. Sejak generasi sahabat sampai generasi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sehingga pengingkaran terhadap hadits-hadits nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lain merupakan jinaayah (kejahatan) besar terhadap wahyu dan umat Islam.
Cukuplah bagi mereka ancaman dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya.
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [An-Nuur/24: 63]Maksudnya, hendaknya orang yang menyelisihi syariah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu waspada dan takut. Takut akan ditimba cobaan pada hati mereka berupa kekufuran, nifaq atau bid’ah. Atau akan ditimpa siksa yang pedih di dunia ini dengan mati terbunuh, terkena hukum pidana atau dipenjara.[4]
Adapun dampak buruk yang akan diterimanya di akhirat, tertera jelas dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”. [an-Nisaa/4 :14]
Atas dasar ini, orang yang melakukan penentangan dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, ia terancam dengan dua siksa, dunia dan akhirat. disamping dianggap sesat dengan kesesatan yang nyata. Dan termasuk durhaka kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ialah mengingkari sunnahnya.
“Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. [al Ahzaab/33:36]
Para ulama dahulu dan sekarang telah mengingatkan betapa besar bahaya gerakan yang mengatasnamakan pengagungan al Qur`an ini.
Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata : Kalau ada seseorang yang berkata, ‘kami tidak ingin mengambil kecuali hal-hal yang tedapat dalam al Qur`an saja, maka orang ini telah kafir berdasarkan ijma para ulama umat Islam. Dan ia tidak wajib mengerjakan (shalat) kecuali satu sholat saja setelah matahari tergelincir sampai gelap malam, dan satu sholat saja di waktu fajar “.[5] [lihat Al Ihkâm : 2/208].
Asy Syâthibi rahimahullah berkata : ‘Membatasi diri hanya dengan al Qur`an adalah pandangan orang yang tidak berilmu lagi keluar daroi jalan sunnah. Sebab mereka ini bertumpu pada pernyataan bahwa al Qur`an memuat semua keterangan, sehingga mereka membuang hukum-hukum yang berasal dari Sunnah. Pemikiran itu mengakibatkan mereka terlepas dari ikatan al jama'ah dan menafsirkan al Qur`an tidak sebagaimana tujuan Allah menurunkan al Qur`an” [6]
Imam as Suyuuthi berkata: Barang siapa mengingkari keabsahan hadits-hadits Nabi, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan yang memenuhi syarat-syarat yang telah dimaklumi sebagai hujjah dalam masalah-masalah ushuul, maka ia telah kufur dan keluar dari lingkaran Islam”. [Lihat Miftâhul Jannah 3]
TIDAK HANYA MEREKA SAJA
Pengingkaran terhadap hadits tidak hanya dimiliki golongan yang berlabel Qur`aniyyun, atau Aliran Kitab Suci saja. Hakikat pengingkaran juga dilakukan oleh kaum rasionalis, ketika mereka menganggap suatu hadits tidak rasional. Begitu juga, pemikiran semacam ini menghinggapi kalangan Khawaarij yang mengingkari hadits tentang syafaat bagi pelaku dosa besar. Terkadang juga menghinggapi para pengikut madzhab yang fanatik atau orang-orang yang kurang memahami seluk-beluk ilmu hadits. Dan tidak menutup kemungkinan ada di antara kita – sadar atau tidak- mengingkari as-Sunnah, ketika menyaksikan seorang muslim konsisten untuk meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Untuk melakukan bantahan terhadap kerancuan para pengingkar sunnah. Di antaranya, ada beberapa kitab yang bisa menjadi pegangan. Diantaranya sebagai berikut :
1. Dirasaat Fil Hadiitsin Nabawi karya Muhammad al A’zhami
2. Al Anwaar al Kaasyifah karya al Mu’allimi al Yamaani
3. Hujjiyyatus Sunnah karya ‘Abdul Ghani ‘Abdul Khaaliq
4. Difaa’ ‘Anis Sunnah karya Muhammad Abu Syahbah
5. As Sunnah al Muftara ‘Alaiha karya al Bahnasawi,
6. Mauqiful Jamaa’atil Islaamiyyati Minal Hadiitsin Nabawi karya Muhammad bin Ismaa’iil as Salafi
7. Zawaabigh Fi Wajhis Sunnati Qadiiman Wa Hadiitsan karya Shalaah Maqbuul [7].
Semoga Allah Ta’ala melindungi kita sekalian dan kaum muslimin pada umumnya dari segala fitnah, syubhat dan kekeliruan. Hasbunallah Wa Ni’mal Wakiil
Marâji’ :
- Huqûqun Nabiyyi ‘Alâ Ummatihi Fi Dhauil Kitâbi Was Sunnah Dr. Muhammad bin Khalîfah at Tamîmi Adhwâus Salaf I 1418 1997.
- al Muwafaqât Abu Ishâq asy Syâthibi tahqîq Masyhûr bin Hasan Alu Salmân Dâr Ibnil Qayyim II 1427 2006.
- Tafsîrul-Qur`ânil-’Azhîm, al-Hâfizh Abul-Fidâ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi.
- Majallah at Tauhîd Makalah Dhalaalaatul Qur`aaniyyin Wa Fataawal Mu’aashiriin Jamaal Sa’d Haatim Edisi 428 Th 36 Sya’baan 1428 H
Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dan kaum muslimin dari segala fitnah, syubhat dan kekeliruan. Hasbunallah wa ni’mal wakiil. (oleh: Ustadz Ashim bin Musthafa)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Di beberapa situs, Kelompok Ingkarus Sunnah banyak mempunyai dalih –yang dibuat-buat dan dipaksakan – yang mereka lontarkan untuk menumbangkan as Sunnah. Seperti, bahwa mengagungkan hadits-hadits Rasulullah merupakan tindakan yang menyerupai kultus individu kaum Nashrani yang berlebihan dalam menghormati (Nabi) Isa alaihis salaam?!.
Atau mereka mengatakan : “hadits-hadits adalah biografi dan sejarah seorang manusia yang dipilih Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai rasul terakhir?!.
Ungkapan seperti ini hanyalah alasan yang diada-adakan, mengandung unsur kebodohan, kerancuan berpikir dan penyelewengan dalil.Nas`alullahal ‘aafiyah.
[2]. Perhatikan kemiripannya dengan perkataan Qur’aniyyun di Indonesia dalam situsnya. Mereka menulis : Hadits dan sunnah adalah biografi Muhammad Rasul Allah. Sekedar cerita kehidupan seorang anak manusia yang dipilih Allah menjadi rasul dan nabi yang terakhir dari-Nya’.
Dalam pernyataan mereka ada kemiripan dengan ucapan kaum Musyrikin Quraisy. Maa asybahal yauma bil baarihah!
[3]. Penggalan hadits riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan al-Hakim dari al-Miqdam bin Ma’di Karib. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni.
[4]. Tafsiir Ibni Katsîr (6/101)
[5]. Qs. Al Israa/17 : 77
[6]. Al Muwafaqaat: 4/325-326. Silahkan lihat pemaparan Imam asy Syaathibi rahimahullah tentang kedudukan as Sunnah hal. 314-339
[7]. Lihat catatan kaki pentahqîq al Muwafaqaat (4/326
Tidak ada komentar:
Posting Komentar