Al Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al Auza’i berkata: “Wajib
bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun banyak orang menolakmu, dan
hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka
mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy Syari’ah, karya Al Imam Al Ajurri, hal. 63).
Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut:
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al Fatihah: 6-7)
Al Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap
orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam
mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang
lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih
berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah.” (Madaarijus Saalikin, 1/72).
Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan bahwa
para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang mereka itu
adalah Salafush Shalih, merupakan orang-orang yang lebih berhak
menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan
“orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa
dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya
mereka dalam mengikutinya. Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj
yang mereka tempuh dalam memahami dienul Islam ini adalah manhaj yang
benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha
mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang
benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.
2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya
kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami
biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke
dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An
Nisa’: 115)
Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya
yang dimaksud dengan orang-orang mukmin disini adalah para sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat
ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini
dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak
dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban
terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka
pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya,
menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka
benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui
merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Ta'ala.’” (Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan sungguh keduanya
(menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red)
adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah
jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan
orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan
orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya
kebenaran.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).
Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini
adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (As Salaf),
dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti
selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalannya para sahabat.
Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam
memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan… akan
dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan… dan kesudahannya masuk ke
dalam neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali… na’udzu billahi min dzaalik.
3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk
Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun
ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya.
Itulah kesuksesan yang agung.” (At-Taubah: 100).
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengkhususkan ridha
dan jaminan jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar
(As Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga seperti mereka.
Al Hafidh Ibnu Katsir berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala
mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu
dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti
jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan
ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka
dari jannah-jannah (surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan, dan
kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/367). Ini menunjukkan
bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan
jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Artinya : "Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah
beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika
mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan
kamu)." [QS Al Baqoroh: 137]
Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya
barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia
akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian
untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (Shahih,
HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari
sahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455).
Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan
perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan
satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan
mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sunnah Al
Khulafa’ Ar Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar kita senantiasa
berpegang teguh dengannya. Al Imam Asy Syathibi berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam -sebagaimana yang engkau saksikan- telah
mengiringkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan sunnah beliau, dan
bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti sunnah beliau adalah
mengikuti sunnah mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka
sunnahkan benar-benar mengikuti sunnah atau mengikuti apa yang mereka
pahami dari sunnah beliauunabi mereka Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
baik secara global maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain
mereka.”(Al I’tisham, 1/118).
2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Terus
menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas
kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan
mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti
itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).
Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang tafsir hadits di atas): “Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!” (Syaraf Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi, hal. 36).
Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Sinan Al
Muhaddits, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini: “Mereka adalah
Ahlul Hadits.” (Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26, 37). Asy Syaikh Ahmad
bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini merupakan tanda
dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), di
dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil
yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini
tidak akan lengang dari mereka. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla
menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang
memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada
umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini
secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah
disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di
masa kini.” (Tarikh Ahlil Hadits, hal 131).
Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj
salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari
“sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.
3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “….
Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam
neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai
Rasulullah?’. Beliau menjawab: golongan yang aku dan para sahabatku
mengikuti.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul
Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin
Al ‘Ash).
Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits
ini sebagai nash (dalil–red) dalam perselisihan, karena ia dengan tegas
menjelaskan tentang tiga perkara: - Pertama, bahwa umat Islam
sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang
berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk
ke dalam neraka, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam
masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta
Alam. - Kedua, kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan
mereka berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan
penyimpangan. - Ketiga, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah
menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia
hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri (dalam
hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh
Ahlil Hadits hal 78-79). Tentunya, golongan yang ditentukan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj
salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam ini menempuh suatu
jalan yang Rasulullah dan para sahabatnya berada di atasnya.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika:
1. Al Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al Auza’i berkata: “Wajib
bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun banyak orang menolakmu, dan
hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka
mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy Syari’ah, karya Al Imam Al Ajurri, hal. 63).
2. Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit berkata: “Wajib
bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan
hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah
bid’ah.” (Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal. 322, saya nukil dari kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54).
3. Al Imam Abul Mudhaffar As Sam’ani berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al Intishaar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88).
4. Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani berkata: “Barangsiapa menyelisihi sahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” (Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, 2/437-438, saya nukil dari kitab Al Intishaar li Ahlil Hadits, hal. 88)
5. Al-Imam As Syathibi berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan.” (Al Muwafaqaat, 3/284), saya nukil melalui Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57).
6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak tercela bagi
siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar
kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena
manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa, 4/149). Beliau juga berkata: “Bahkan syi’ar Ahlul Bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa, 4/155).
(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari, Lc,
judul asli Mengapa Harus Bermanhaj Salaf, rubrik Manhaji, Majalah Asy
Syariah. Url sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=82)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar