Halaman

Jumat, 10 Agustus 2012

KAIDAH-KAIDAH TAFSIR

Bismillah,
Ada beberapa kaidah penting yang berhubungan dengan tafsir para shahabat yang mesti kita ketahui, diantaranya adalah :


Kaidah pertama : Perselisihan shahabat dalam tafsir kebanyakan adalah perselisihan yang bersifat pariatif.
Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Perselisihan diantara salaf dalam tafsir adalah sedikit, dan perselisihan mereka di dalam hukum lebih banyak dari perselisihan mereka di dalam tafsir, dan mayoritas perselisihan yang shahih dari mereka adalah dari jenis perselisihan tanawwu’ (variatif) bukan perselisihan tadlod (kontradiktif). Dan ia ada dua:

Pertama : Setiap mereka mengungkapkan dengan ungkapan yang berbeda dengan ungkapan temannya yang menunjukkan kepada makna yang berbeda dengan makna temannya namun maksudnya adalah satu.
Contohnya adalah perbedaan ungkapan mereka dalam menafsirkan “Shirotul mustaqim” sebagian mereka menafsirkan bahwa ia adalah Al Qur’an dan sebagian mereka menafsirkan bahwa ia adalah islam. Dua penafsiran ini tidak bertentangan karena agama islam adalah mengikuti Al Qur’an. Demikian pula orang yang menafsirkan bahwa ia adalah sunnah dan jama’ah, atau jalan ubudiyah, atau ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya, mereka semua mengisyaratkan kepada satu dzat akan tetapi setiap mereka memberikan sifat yang berbeda dengan sifat yang yang diberikan oleh orang lain.

Kedua : Setiap mereka menyebutkan sebagian jenis dari nama yang umum dalam rangka memberikan contoh/permisalan bukan dalam rangka memberikan definisi atau batasan dalam keumuman dan kekhususannya.
Contohnya adalah penafsiran mereka mengenai firman Allah Ta’ala :
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan idzin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS. Fathir 32).

Dan telah diketahui bahwa orang yang menzalimi dirinya mencakup orang yang menyia-nyiakan kewajiban dan melanggar keharaman. Dan yang pertengahan mencakup melakukan kewajiban dan meninggalkan keharaman dan As Sabiq (orang yang mendahului) mencakup orang yang mendekatkan diri dengan hasanat selain kewajiban yang ia lakukan.

Kemudian setiap mereka menyebutkan ini pada salah satu macam dari macam-macam ketaatan, seperti perkataan seseorang: “As Sabiq adalah yang sholat di awal waktu, dan yang pertengahan adalah orang yang sholat di dalam waktunya, dan zalim adalah orang yang mengakhirkan sholat ashar sampai matahari menguning.”


Kaidah Kedua : Pendapat seorang shahabat yang tidak diketahui adanya penyelisihan dari shahabat lain adalah hujjah.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Apabila pendapat seorang shahabat tidak diselisihi oleh shahabat lain maka (tidak lepas dari dua keadaan) (1) pendapat tersebut terkenal di kalangan shahabat atau (2) tidak terkenal. Apabila terkenal maka myoritas fuqoha menyatakan bahwa ia adalah ijma’ dan hujjah dan sebagian fuqoha berpendapat bahwa ia adalah hujjah namun bukan ijma’.

Dan apabila tidak terkenal atau tidak diketahui apakah ia terkenal atau tidak, maka para ulama berbeda pendapat apakah ia hujjah atau bukan; pendapat mayoritas ulama bahwa ia adalah hujjah, ini adalah pendapat mayoritas hanafiyah sebagaimana yang dinyatakan oleh Muhammad bin Al Hasan dan ia juga menyebutkan nash dari perkataan Abu Hanifah, dan ini juga pendapat Malik dan pengikutnya, dan ini juga pendapat Ishaq bin Rohawaih dan Abu Ubaid dan ini juga yang dinyatakan oleh Imam Ahmad dalam beberapa tempat dan dipilih oleh mayoritas pengikutnya, dan ini juga yang dinyatakan oleh imam Asy Syafi’i dalam qoul (pendapat) dahulu dan barunya… imam Syafi’i dalam pendapat barunya menyatakan dengan tegas dari riwayat Rabie’ dari beliau bahwa pendapat shahabat adalah hujjah yang harus dipegang.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Pendapat shahabat apabila berselisih kami pegang yang sesuai dengan Al Qur’an dan sunnah atau ijma’ karena sesuai dengan qiyas, dan apabila pendapat shahabat itu tidak diketahui adanya penyelisihan maka aku tetap mengikuti pendapatnya apabila aku tidak menemukan Al Qur’an tidak juga dalam As Sunnah atau ijma’ tidak juga yang semakna dengannya yang bisa dijadikan hukum atau ditemukan qiyas bersama pendapat tersebut.”


Kaidah ketiga : Penafsiran shahabat yang tidak dikenal suka mengambil dari Ahli kitab yang bukan dalam tempat ijtihad tidak pula penukilan dari bahasa arab hukumnya adalah marfu’.
Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman hafidzahullah berkata: “Sesungguhnya perkataan shahabat yang tidak dikenal suka mengambil dari Ahli Kitab dan bukan berasal dari ro’yu, seperti pengabaran tentang sesuatu yang ghaib maka ia dihukumi marfu’ sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, walaupun shahabat itu tidak menyatakan penisbatannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti perkataan shahabat mengenai tanda-tanda hari kiamat, adzab qubur, tentang surga dan Neraka, dan sebab turunnya ayat dari shahabat yang tidak suka mengambil dari Ahli kitab seperti Ibnu Mas’ud, Umar dan lainnya jika mereka mengatakan seuatu perkataan yang tidak mungkin diketahui dari ijtihad atau akal, maka perkataan seperti ini adalah hujjah yang dihukumi marfu’.

Bahkan Al Hakim dalam kitabnya “Ulumul hadits” memasukkan penafsiran shahabat dalam hukum marfu’ namun pendapat ini tidak benar, Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah memberikan koreksi terhadap pendapat tersebut dalam kitab “An Nukat ‘ala ibnu Sholah” (2/20) beliau berkata: “Yang benar bahwa batasan penafsiran shahabat jika termasuk perkara yang bukan lapangan ijtihad tidak pula dinukil dari lisan arab maka hukumnya adalah marfu’ dan jika tidak demikian maka tidak, seperti pengabaran tentang kabar umat terdahulu…”.

Beliau berkata lagi: “Adapun apabila penafsiran itu berhubungan dengan hukum syari’at, boleh jadi tafsir itu diambil dari Nabi shallallahu ‘alahi wasallam dan bisa juga dari kaidah-kaidah sehingga tidak bisa dipastikan kemarfu’annya, demikian juga penafsiran tentang kosa kata, maka ini adalah penukilan tentang lisan arab secara khusus sehingga tidak dipastikan kemarfu’annya, dan pendapat yang kami perinci ini yang dijadikan sandaran banyak ulama-ulama besar.”

Kaidah keempat : Apabila para shahabat berbeda pendapat menjadi dua pendapat misalnya maka tidak boleh kita mengadakan pendapat yang ketiga.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika menyebutkan kesalahan-kesalahan dalam menafsirkan Al Qur’an beliau berkata: “Yang paling besar kesalahannya dari mereka semua adalah orang yang maksud tujuannya adalah bukan untuk mengetahui apa yang Allah inginkan, akan tetapi tujuannya adalah menta’wil ayat untuk membantah lawannya yang berhujah dengan ayat tersebut, dan mereka jatuh ke dalam berbagai macam tahrif (merubah-rubah Al Qur’an) sehingga diantara mereka ada yang membolehkan menafsirkan ayat dengan penafsiran yang berlawanan dengan tafsir salaf, mereka berkata,”Apabila manusia (shahabat) berselisih dalam menafsirkan ayat menjadi dua pendapat maka boleh bagi orang setelahnya untuk mengadakan pendapat yang ketiga, berbeda bila mereka berselisih dalam sebuah hukum menjadi dua pendapat.
Ini adalah sebuah kesalahan, karena mereka (para shahabat) apabila bersepakat bahwa makna sebuah ayat adalah ini atau ini, maka pendapat yang mengatakan bahwa maksud ayat itu selain dua tadi berarti ia telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan) mereka. Inilah tata cara orang yang maksudnya hanya untuk membantah bukan dalam rangka mengetahui apa yang diinginkan oleh ayat tersebut, jika tidak demikian maka bagaimana umat (para salaf) akan sesat dalam memahami Al Qur’an dan penafsiran mereka semua tidak benar, lalu orang-orang yang terakhir mengetahui makna yang diinginkan ?!

Abul Mudzofar As Sam’ani berkata: “Yang shahih adalah haram mengadakan pendapat yang ketiga, karena ijma’ mereka diatas dua pendapat adalah ijma untuk mengharamkan pendapat selainnya, dan kita tidak boleh menyelisihi ijma’ diatas satu pendapat karena ia mengandung pengharaman pendapat selainnya, demikian juga ijma’ mereka di atas dua pendapat juga mengandung pengharaman pendapat selainnnya.

Tanya : Ustadz, apakah penafsiran yg dihukumi marfu bisa dijadikan sandaran atau hujjah?

Jawab : Jelas hujjah akh

Tanya : Ustad israiliyat apakah masuk ke dalam kaidah ketiga?
Jawab : Kalau israiliyat itu tdk boleh dibenarkan dan tidak boleh didustakan

Tanya : maksudnya bagimana Ustadz? Tdk boleh dibenarkan berarti salah, tidak boleh didustakan berarti benar?

Jawab : Maksudnya dibiarkan saja

Tanya : Ustadz, ana masih tergelitik dengan israiliyat tadi, kan adanya cuma benar atau salah, lalu kalau dibiarkan saja fawaid nya apa tadz?

Jawab : Karena israiliyat itu masih meragukan, apakah termasuk yang dirubah rubah atau tidak. Kecuali dibenarkan oleh al qur’an

Tanya : Mengadakan pendapat yang ketiga termasuk dalam dua macam ro’yu gak ustadz, ro’yu terpuji dan ro’yu tercela ?

Jawab : Itu ra’yu tercela

Tanya : Ustadz, ada seorang ustadz yg menafsirkan ayat2 al Quran hanya dengan pengetauannya saja. Gak pake kitab rujukan, gimana itu? Termasuk ra’yu?

Jawab : Pengetahuannya bagaimana? Kalau menafsirkan sendiri tanpa rujuk pendapat ulama, tidak boleh

Tambahan Penanya : Ya hanya dari segi bahasa, terus ditafsirkan sendiri makna dan maksud. Sesekali aja mengutip hadis

Kaidah Kelima : Penafsiran shahabat apabila bertentangan dengan penafsiran Rosulullah maka dikompromikan terlebih dahulu, bila tidak bisa maka penafsiran Rosulullah lebih didahulukan.

Syaikh Muhamad bin Jamil Zainu berkata: “Apabila tafsir hadits bertentangan dengan penafsiran shahabat atau tabi’in, maka kita harus mengkompromikan dua penafsiran tadi, dan jika tidak memungkinkan maka yang wajib adalah mendahulukan penafsiran Rosul shallallahu ‘alaihi wasallam karena beliau lebih mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah Ta’ala. Contohnya adalah tafsir firman Allah Ta’ala :“Pada hari disingkapkannya betis.” (Al Qolam : 42).

Imam Bukhari menafsirkan ayat itu dengan hadits :
 يَكْشِفُ رَبُّنَا عَنْ سَاقِهِ فَيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ
 “Rabb kita menyingkapkan betisnya, maka sujudlah kepada-Nya semua mukmin dan mukminah.” (HR Bukhari).

Namun dalam sebuah riwayat, Ibnu Abbas menafsirkan bahwa maknanya adalah hari yang amat susah, jika riwayat ini shahih tidaklah bertentangan dengan hadits itu, maka maknanya adalah bahwa pada hari kiamat Allah menyingkapkan betisnya dan hari itu adalah hari yang amat susah, atau mungkin kita katakan bahwa ibnu Abbas belum sampai kepadanya hadits Abu Sa’id Al Khudri tadi.”

Kaidah Keenam : Memeriksa keabsahan riwayat tafsir shahabat. Contohnya adalah tafsir firman Allah Ta’ala :
“Tidak juga orang yang junub kecuali yang menyeberang jalan.” (An Nisaa : 43). Ibnu Abbas dalam sebuah riwayat menafsirkan maknanya adalah Kecuali engkau melewat di masjid, namun riwayat ini dla’if karena di dalamnya ada perawi yang bernama Abu Ja’far Ar Razi, ia lemah. Demikian pula ibnu mas’ud menafsirkannya dengan penafsiran ibnu Abbas tadi akan tetapi sanadnya juga lemah karena ia diriwayatkan dari jalan Abi Ubaidah dari Ibnu Mas’ud, sedangkan Abu Ubaidah tidak mendengar dari ibnu Mas’ud sehingga sanadnya terputus.

Dan tentunya kritik sanad haruslah sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiyah dalam ilmu hadits dan tidak boleh dimasuki oleh hawa nafsu, karena banyak tafsir shahabat yang dianggap lemah karena tidak sesuai dengan hawa nafsu.

Kaidah Ketujuh : Tidak boleh mengadakan penafsiran yang tidak pernah difahami oleh salafusshalih.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata di dalam Mukhtashar Ash Showa’iq Al Mursalah 2/128 : “Sesungguhnya mengadakan sebuah pendapat dalam menafsirkan kitabullah yang bertentangan dengan penafsiran salaf dan para imam berkonskwensi dua perkara : Boleh jadi pendapat tersebut salah atau penafsiran salaf dan para imam yang salah !! tentu orang yang berakal tidak akan merasa ragu bahwa pendapat tersebut lebih layak salah dari penafsiran salaf dan para imam.”

Al Hafidz ibnu Abdil Hadi dala kitab Ash Shorim Al Munakki hal 427 berkata: “Tidak boleh mengadakan penafsiran ayat atau hadits yang tidak ada di zaman salaf yang tidak mereka ketahui tidak juga mereka jelaskan kepada umat, karena sikap seperti itu mengandung kesan bahwa mereka tidak mengetahui kebenaran dan telah tersesat jalan lalu datang orang terakhir mengetahui kebenaran tersebut.
Diantara contoh penafsiran yang tidak pernah difahami oleh salafushalih adalah penafsiran mengenai firman Allah Ta’ala :
“Kamu adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan kepada manusia.” (Ali Imran : 110).

Kata “ukhrijat” (dikeluarkan) ditafsirkan dengan makna sebuah tata cara dakwah ke masjid-masjid selama tiga hari atau tujuh hari atau empat puluh hari dan seterusnya, dan penafsiran seperti ini tidak pernah dikenal oleh para ulama terdahulu, tidak juga di dapati di dalam kitab-kitab tafsir, kalaulah itu baik tentu merekalah yang pertama kali mengamalkannya.
Wallahu a'lam.

Sumber : http://gensalaf.wordpress.com/2010/10/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar