Para ahli bid’ah mengingkari hadits-hadits tentang tersihirnya Nabi. Mereka berdalil dengan ayat berikut:
“Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir.” (QS. Al-Isra’: 47)
Mereka beranggapan bahwa Allah telah membantah prasangka orang kafir bahwa Nabi terkena sihir. Seandainya Nabi dapat disihir, secara tidak langsung hal itu membenarkan perkataan orang kafir sebagaimana diterangkan dalam Firman Allah: “Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir.” Selain itu, peristiwa penyihiran yang menimpa Nabi akan mengguncang makna kenabiannya dan menimbulkan keraguan. Ketika mengusung pendapat bahwa Nabi berimajinasi melihat Jibril, tapi bukan Jibril atau dia merasa diwahyukan sesuatu tapi tidak ada wahyu itu. Tidak pantas Nabi Muhammad terkena sihir.
Para ahli bid’ah mengingkari hadits-hadits berikut ini.
a. Aisyah radliyallahu ‘anha berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terkena sihir sehingga beliau menyangka bahwa beliau mendatangi istrinya padahal tidak mendatanginya. Lalu beliau berkata: ‘Wahai Aisyah tahukah kamu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabulkan permohonanku? Dua lelaki telah datang kepadaku. Kemudian salah satunya duduk di sebelah kepalaku dan yg lain di sebelah kakiku. Yang di sisi kepalaku berkata kepada yang satunya: ‘Kenapa beliau?’ Dijawab: ‘Terkena sihir.’ Yang satu bertanya: ‘Siapa yang menyihirnya?’ Dijawab: ‘Labid bin Al-A’sham lelaki dari Banu Zuraiq sekutu Yahudi ia seorang munafiq.’ Bertanya: ‘Dengan apa?’ Dijawab: ‘Dengan sisir rontokan rambut.’ Bertanya: ‘Di mana?’ Dijawab: ‘Pada mayang korma jantan di bawah batu yg ada di bawah sumur Dzarwan’.” Aisyah radhiallahu ‘anha lalu berkata: “Nabi lalu mendatangi sumur tersebut hingga beliau mengeluarkannya. Beliau lalu berkata: ‘Inilah sumur yang aku diperlihatkan seakan-akan airnya adalah air daun pacar dan pohon kurmanya seperti kepala-kepala setan’. Lalu dikeluarkan. Aku bertanya: ‘Mengapa engkau tidak mengeluarkannya ?’ Beliau menjawab: ‘Demi Allah, sungguh Allah telah menyembuhkanku dan aku membenci tersebarnya kejahatan di kalangan manusia’.” (Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya kitab At-Thib bab Hal Yustakhrajus Sihr jilid 10 no. 5765 bersama Al-Fath. Juga dalam Shahih-nya kitab Al-Adab bab Innallaha Ya`muru Bil ‘Adl jilid 10 no. 6063. Juga diriwayatkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i sebagaimana yang terdapat dalam Musnad Asy-Syafi’i Al-Asfahani dalam Dala`ilun Nubuwwah dan Al-Lalika`i dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah. Namun ada tambahan bahwa Aisyah berkata: “Dan turunlah : Qul a’uudzubirabbil falaq, min syarri maa kholaq. Hingga selesai bacaan surah tersebut.”)
b. Imam Muslim telah meriwayatkan hadits yang sama, namun di dalamnya terdapat pertanyaan Aisyah kepada Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam terapi sihir, yang ditemukannya di dasar sumur, apakah dibakar? Sebagaimana ucapannya, Aisyah berkata: “Ya Rasulullah, apakah engkau akan membakarnya?” Rasul menjawab: “Tidak, adapun aku semoga diampuni Allah Subhanahu wa Ta’ala aku takut dia akan memberi pengaruh jahat kepada umatku yang lain, maka aku perintah untuk menguburnya.” (Shahih Muslim dengan Syarah Imam Nawawi 14/174-178)
c. Ketika Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam kembali dari peperangan Hudaibiyah pada bulan Dzulhijah dan akan memasuki Muharam dari tahun ketujuh, lalu datanglah beberapa pemimpin Yahudi kepada Labid bin A’sham yang berasal dari Bani Raziq. Dia seorang tukang sihir. Para pemimpin Yahudi berkata kepada A’sham: “Wahai Abu A’sham, anda adalah tukang sihir kami. Kami telah menyihir Muhammad, namu gagal. Karena itu, wahai Abu A’sham kami memohon padamu untuk menyihir Muhammad, agar dia merasa kesakitan dan membutuhkan pengobatan.” Para pemimpin Yahudi ini memberikan 3 dinar kepada Labid. (Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari 10/226)
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam lalu mengutus seorang kurir surat, untuk mengantarkan surat kepada Labid. Dalam surat itu, tertuang pertanyaan tentang tujuan Labid berbuat ini? Labid menjawab: “Karena cinta kepada dinar”. Itulah salah satu watak Yahudi dari masa ke masa. (Fathul Bari syarah Shahih Bukhari 10/231)
Labid mengutus anak kecil Yahudi kepada Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam untuk melayani beliau. Setelah mengambil sisir rambut Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam, anak itu memberikannya kepada Labid. Mulailah Labid menjalankan misinya untuk menyihir Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam. (Fathul Bari 10/225-227 dan Tafsir Al-Muawwidzatain oleh Ibnul Qayyim hal. 29)
Riwayat Ibnu Abbas yang bersumber dari Ibnu Sa’ad bahwa Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam mengutus Ali dan Umar radliyallahu’anhum untuk mendatangi sebuah sumur. Dalam riwayat lain yang bersumber dari Ibnu Hakam disebutkan bahwa Jabir bin Ayyas melihat dengan jelas perintah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabat untuk mengeluarkan sihir, sesudah ditunjukkan tempatnya di sebuah sumur. (Fathul Bari syarah Shahih Bukhari 10/230)
Ahlus Sunnah mengimani keberadaan sihir. Sihir tidak akan dapat memberikan manfaat maupun mudharat kecuali jika Allah menghendaki.
Allah berfirman: “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 102)
Syaikhul Islam Abu Utsman Ismail Ashabuni berkata: “Mereka (Ashabul Hadits) juga berkeyakinan bahwa di dunia ini memang ada sihir dan tukang sihir, akan tetapi tukang sihir tersebut tidak dapat mencelakakan seseorang kecuali dengan izin Allah 'Azza wa Jalla, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
وَمَا هُم بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ
"Dan mereka (tukang sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah." (QS. Al-Baqarah:102)
Siapa yang menjadi penyihir atau menggunakan jasa sihir, sementara ia berkeyakinan bahwa sihir bisa memberi manfaat atau memberi mudharat tanpa izin Allah, maka ia telah kafir kepada Allah Ta'ala.” (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits oleh Syaikhul Islam Ashabuni)
Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan: “Al-Maziri berkata: Sebagian ahli bid’ah mengingkari sihir yang menimpa Rasulullah ini. Mereka menyangka bahwa hal ini akan menjatuhkan kedudukan nubuwwah dan akan memberi keraguan. Mereka berkata: Siapa saja yang berkata demikian maka itu adalah pengakuan batil.” (Fathul Bari 10/226)
Ibnu Hajar Al-Asqalani mengisahkan: “Terdapat sebuah boneka dari lilin untuk disantet kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini seperti terkandung dalam riwayat Umrah dari Aisyah. Ini adalah salah satu cara kerja ahli nujum.” (Fathul Bari 10/230)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dan sekelompok manusia telah mengingkari hal ini (disihirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam-red). Mereka mengatakan: “Ini tidak boleh menimpa diri Rasul,” bahkan mereka menganggap ini sebagai suatu kekurangan dan aib. Dan perkaranya tidak seperti yang mereka duga, akan tetapi sihir tersebut adalah dari jenis perkara (penyakit) yang berpengaruh terhadap diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, hal ini termasuk dari jenis-jenis penyakit yang menimpanya sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam juga tertimpa racun, di mana tidak ada perbedaan antara pengaruh sihir dengan racun.” (Zaadul Ma’ad 4/ 124)
Ibnul Qayyim rahimahullah juga menyebutkan dari Qadhi Iyadh rahimahullah, bahwasanya beliau berkata: “Kejadian disihirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menodai kenabian beliau. Adapun keberadaan atau kejadian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dikhayalkan melakukan sesuatu padahal beliau tidak melakukannya, hal ini tidaklah mengurangi sifat shiddiq (jujur) yang ada pada diri beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dikarenakan adanya dalil bahkan ijma’ (kesepakatan umat Islam) atas kemaksuman (terpelihara dari dosa dan kesalahan) beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dari hal tersebut, akan tetapi hal ini suatu perkara duniawi yang mungkin bisa menimpanya. Yang beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak diutus karena sebab tersebut dan tidak diberi keutamaan, karenanya pula beliau dalam hal ini seperti manusia yang lainnya, maka tidak mustahil untuk dikhayalkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dari perkara-perkara yang tidak ada hakekatnya baginya, kemudian hilang dari beliau dan kembali seperti keadaan semula.” (Zaadul Ma’ad 4/ 124)
Qadhi Iyadh berkata: “Tampaklah sesungguhnya sihir. Dia mampu menguasai jasad dan memperlihatkan pengaruhnya. Namun bukan pada keistimewaan dan keyakinannya. Sihir yang menimpanya bagai penyakit yang dengan kehendak Allah lalu disembuhkan. Ini bukanlah perkara yang mengandung nilai kekurangan, bukan juga perkara aneh bagi Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam, seperti sakit wajar bagi seorang Nabi, rasa pusing Rasulullah, kakinya robek atau tubuhnya terluka. Ini adalah ujian yang diberikan Allah agar makin meningkatkan derajat dan menambahkan kemuliaannya. Ujian terhebat yang pernah menimpa manusia adalah ujian bagi para Nabi. Mereka diuji oleh umatnya dengan berbagai percobaan pembunuhan, pemukulan, makian dan penyanderaan. Karena itu, bukanlah sesuatu yang dibuat-buat jika Nabi diserang oleh musuhnya dengan sihir. Seperti halnya orang yang menguji Rasul dengan melemparinya hingga tulangnya patah. Diuji dengan penyakit yang muncul di punggung plasentanya hingga tak berdaya, dan lainnya. Ini bukanlah kekurangan, atau aib memalukan terhadap para Nabi. Hal ini bahkan menambah kesempurnaan dan ketinggian derajat mereka.” (Fathul Bari 10/227 dan Tafsir Al-Muawwidzatain oleh Ibnul Qayyim hal. 29, 30)
Al Qurthubi rahimahullahu mengatakan: “Ahlus Sunnah telah berpendapat bahwa sihir itu telah pasti ada dan memiliki hakikat. Sedangkan penganut Mu'tazilah secara umum dan Abu Ishaq al-Istirabadi, salah seorang penganut madzhab Syafi'i berpendapat, bahwa sihir itu tidak memiliki hakikat, tetapi sihir hanya merupakan tindakan pengelabuhan, pemunculan bayangan dan penipuan terhadap sesuatu, tidak seperti yang (tampak) sebenarnya. Sihir ini tidak ada bedanya dengan hipnotis dan sulap. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala: "Terbayang oleh Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka". (QS. Thaha : 66)
Dan Allah tidak mengunakan kata tas'aa untuk pengertian yang sebenarnya, tetapi Dia mengatakan: Terbayangkan oleh Musa. Selain itu, Dia juga berfirman: "Mereka menyihir mata umat manusia". (QS. Al-A'raf : 116) Yang demikian itu tidak mengandung hujjah sama sekali, karena tidak memungkiri pengelabuan dan juga selainnya,yang merupakan bagian dari sihir. Tetapi, telah ditetapkan di balik itu berbagai hal yang diterima oleh akal dan pendengaran. Diantara hal itu adalah apa yang disebutkan dalam ayat diatas yang menyebutkan sihir dan mempelajarinya. Seandainya sihir itu tidak memiliki hakikat, maka tidak mungkin untuk dipelajari dan juga Allah Ta'ala tidak akan memberitahukan bahwa mereka mengajarkan sihir itu kepada umat manusia. Yang mana hal itu menunjukan bahwa sihir itu memang mempunyai hakikat. Begitupun firman Allah Ta'ala yang menceritakan tentang kisah para tukang sihir Fir'aun: “Mereka mendatangkan sihir yang besar.” (Al- A'raf : 116) dan Surat Al-Falaq, di mana para ahli tafsir telah bersepakat bahwa sebab turunnya ayat ini adalah berkenaan dengan sihir Labid bin al-A'sham, hal tersebut juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori dan Imam Muslim serta perawi lainnya, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah disihir oleh seorang Yahudi dari suku Bani Zuraiq, yang bernama Labid Al A'sham.” Di dalam hadits tersebut disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pada saat mengobati sihir berkata: “Sesungguhnya Allah telah menyembuhkanku.” Kata Asy-syifa adalah terjadi dengan menghilangkan sebab dan menghilangkan penyakit, sehingga hal itu menunjukan bahwa sihir itu memang ada dan hakiki. Keberadaan dan kejadian sihir itu dipastikan ada melalui pemberitahuan Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Ulama telah mengeluarkan Ijma' (kesepakatan) mengenai hal tersebut. Dengan adanya kesepakatan mereka ini, maka tidak perlu dipedulikan lagi kebodohan kaum Mu'tazilah dan penentangan mereka terhadap pemegang kebenaran. Pada zaman-zaman dulu, sihir ini telah tersebar luas dan banyak di perbincangkan oleh umat manusia, dan tidak tampak adanya penolakan (tentang adanya sihir) dari para Sahabat dan Tabi'in.” (Tafsir al-Qurtubi II / 46)
Al Khaththabi berkata: "Sejumlah pakar ilmu pengetahuan alam mengingkari adanya sihir dan menolak hakikatnya. Sementara itu, sejumlah ahli kalam (filosof) menolak hadits ini. Mereka berkata, sekiranya sihir dapat mempengaruhi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, maka sihir dikhawatirkan juga mempengaruhi wahyu, syariat yang diturunkan kepada beliau. Itu artinya penyesatan umat!... Telah dinukil secara shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam beberapa hadits. Orang-orang yang mengingkarinya, sama artinya mengingkari sesuatu yang terlihat nyata dan pasti adanya. Para ahli fiqh juga telah menyebutkan beberapa hukuman terhadap tukang sihir. Sesuatu yang tak hakiki atau tak riil tentu tak mencari kepopuleran dan kemasyhuran seperti ini. Menafikan adanya sihir merupakan kejahilan. Membantah orang yang menafikannya merupakan perbuatan sia-sia dan tak ada gunanya." (Al Baghawi menukilnya dalam kitab Syarah Sunnah, XII/187-188 dan membenarkannya)
Al-Maziri rahimallahu mengatakan: “Hadits tersebut telah ditolak oleh para pelaku bid'ah, dengan alasan karena hal itu telah menjatuhkan posisi kenabian dan menimbulkan keraguan terhadapnya. Masih menurut para pelaku bid'ah, membenarkan hadits tersebut secara otomatis menghilangkan kepercayaan terhadap syari'at. Mereka berkata, Bisa jadi pada saat itu muncul bayangan bahwa Jibril Alaihissalam mendatangi beliau, padahal Jibril tidak datang, dan seakan-akan Jibril menyampaikan wahyu kepada beliau padahal tidak demikian. Apa yang mereka katakan itu sudah pasti tidak benar sama seakali, karena dalil risalah, yaitu mukjizat, menunjukan kebenaran apa yang beliau sampaikan dari Allah Ta'ala dan Kema'suman beliau dalam hal itu, dan membolehkan apa yang menjadi kebalikannya merupakan suatu hal yang bathil.” (Zaadul Muslim IV/221)
Al-Maziri berkata: “Sihir merupakan suatu hal yang tetap dan mempunyai hakikat seperti berbagai wujud lainnya, dan dia mempunyai pengaruh terhadap diri orang yang disihir. Pendapat ini bertentangan dengan orang yang mengklaim bahwa sihir itu tidak mempunyai hakikat, dan hal-hal yang sesuai dengan sihir itu tidak mempunyai hakikat, dan hal-hal yang sesuai dengan sihir itu tidak lain hanyalah hayalan semata, yang tidak mempunyai hakikat sama sekali. Apa yang mereka klaim itu justru bathil dan tidak benar, karena Allah Ta'ala telah menyebutkan di dalam kitab-Nya, Al-Quran, bahwa sihir itu dapat dipelajari dan bahkan dapat menyebabkan seseorang menjadi kafir, serta bisa juga memisahkan pasangan suami isteri. Juga dalam hadits yang menceritakan tentang penyihiran terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, disebutkan bahwasannya sihir itu berupa sesuatu yang ditimbun. Semuanya itu merupakan suatu hal yang tidak mungkin berlaku pada sesuatu yang tidak mempunyai hakikat, dan bagaimana mungkin sesuatu yang tidak mempunyai hakikat itu di pelajari?” (Zaadul Muslim IV/225)
Dalam Tafsir Ibnu Katsir: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah disihir oleh Lubaid bin Al A’shom Al Yahudi hingga beliau jatuh sakit. Kemudian karenanya Allah ta’ala menurunkan surat Al Falaq dan surat An Naas (Al Mu’awidzatain) sebagai obat bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Tafsir Ibnu Katsir, Asy-Syamilah)
Imam Al-Baghawi berkata: “Setelah terjalin persetujuan dalam akad, Labid lalu menjalankan aksinya. Turunlah 2 surat untuk meminta perlindungan, yang jumlah total seluruhnya mencapai 11 ayat. Dengan rincian, Surat Al-Falaq 5 ayat dan Surat An-Naas 6 ayat. Ketika Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam membaca kedua surat tersebut, terlepaslah semua ikatan sihir yang melingkupi Rasul Shollallahu ‘alaihi wasallam. Bangkitlah Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam dan dia merasakan kebugarannya seperti sedia kala, pikirannya menjadi terang benderang.” (Tafsir Al-Muawwidzatain oleh Ibnul Qayyim hal. 29 cet. Safliah)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi mengatakan: “Sihir adalah ikatan-ikatan, jampi-jampi, perkataan yang dilontarkan secara lisan maupun tulisan, atau melakukan sesuatu yang mempengaruhi badan, hati atau akal orang yang terkena sihir tanpa berinteraksi langsung dengannya. Sihir ini mempunyai hakikat, diantaranya ada yang bisa mematikan, membuat sakit, membuat seorang suami tidak dapat mencampuri istrinya atau memisahkan pasangan suami istri, atau membuat salah satu pihak membenci lainnya atau membuat kedua belah pihak saling mencintainya.” (Al-Mughni, 10/104)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi melanjutkan: “Sihir itu memiliki hakikat, ada diantaranya yang mematikan, ada juga yang menghalangi pasangan suami isteri, di mana suami tidak dapat mencampuri isterinya dan ada juga sihir yang memisahkan antara suami dan isteri. Sudah merupakan suatu hal yang populer di kalangan masyarakat umum, di mana ada pasangan suami isteri yang telah melakukan akad nikah, tetapi sang suami tidak kuasa mencampuri isterinya, dan jika akad pernikahannya telah putus, mantan suami itu baru bisa melakukan hubungan badan, yakni setelah dia tidak mungkin mencampurinya. Berita ini mencapai derajat mutawatir yang tidak mungkin diingkari.” (Al-Mughni 10/106)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (Ulama Arab Saudi) berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: “Dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul” (QS. Al Falaq: 4) menunjukkan bahwa, pengaruh sihir itu benar-benar nyata. Beberapa kelompok ahlu kalam (filosof dan kalangan Mu'tazilah) mengingkari adanya pengaruh sihir ini. Mereka mengatakan, sebenarnya pengaruh sihir itu tak ada. Baik berupa penyakit, pembunuhan, kerasukan, keterpikatan dan pengaruh-pengaruh lain. Semua itu hanyalah imajinasi orang-orang nan melihatnya, dan bukan sesuatu yang sebenarnya.” (Tafsir Surat Al Falaq dan Surat An Naas, Muhammad bin Abdul Wahhab, hlm. 3-4)
Syaikh Shalih bin Fauzan (Ulama Arab Saudi) mengatakan: “Dinamakan sihir karena terjadi dengan perkara yang sangat tersembunyi yang tidak akan bisa dilihat oleh mata. Yaitu berbentuk jimat-jimat, jampi-jampi, pembicaraan-pembicaraan, atau melalui asap-asap. Sihir memiliki hakikat dan diantaranya berpengaruh terhadap hati dan badan sehingga bisa menyebabkan sakit, terbunuh, dan memisahkan antara suami istri.” (At-Tauhid, hal. 21)
Abul Hasan Al Asy'ari mengatakan: “Kami meyakini sihir dan tukang sihir benar-benar ada di dunia ini. Dan kekuatan sihir merupakan kenyataan.” (Al Ibanah 'an Ushulid Diyaanah, Abul Hasan Al Asy'ari, hal. 54)
Al Maziri berkata: “Mayoritas Ahlu Sunnah dan jumhur ulama menegaskan, sihir memang benar nyata. Sihir memiliki hakikat, sebagaimana perkara-perkara lainnya. Berbeda dengan orang-orang yang mengingkari hakikatnya dan menganggapnya sebagai halusinasi batil yang tak riil. Allah telah menyebutkan sihir di dalam Al Qur`an, dan menggolongkannya sebagai ilmu yang dipelajari. Allah juga menyebutkan, sihir merupakan perkara yang membuat kafir dan pengaruhnya dapat memisahkan suami isteri. Semua itu tidaklah mungkin bila tak nyata. Hadits dalam bab ini juga menegaskan bahwa, sihir itu memang benar ada. Ilmu sihir termasuk ilmu yang terkubur, dan kemudian muncul kembali. Semua itu menyanggah perkataan orang-orang yang mengingkarinya. Dan menganggapnya tak nyata, adalah suatu perkara yang mustahil.” (Dinukil oleh Imam An Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim IV/174, dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, X/222-223. Dan keduanya membenarkan ucapan tersebut.)
Ibnul Qayyim Al Jauziyah berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: “Dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul” (QS. Al Falaq: 4). Dan hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha di atas menetapkan adanya pengaruh dan hakikat sihir. Sebagian ahli kalam dari kalangan Mu'tazilah dan lainnya ada yang mengingkarinya. Mereka mengatakan, sebenarnya pengaruh sihir itu tak ada. Baik berupa penyakit, pembunuhan, kerasukan, keterpikatan atau pengaruh-pengaruh lain. Menurut mereka, semua itu hanyalah halusinasi orang-orang yang melihatnya dan bukan sesuatu yang nyata.” (Badaa-i'ul Fawaa-id II/227-228)
Ibnu Abil Izzi Al Hanafi (murid Ibnu Katsir) berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hakikat sihir dan jenis-jenisnya, tetapi mayoritas ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah berpendapat sihir dapat memberikan pengaruh langsung terhadap kematian orang yang disihir atau membuatnya jatuh sakit, tanpa terlihat tanda-tanda lahiriyah yang menyebabkannya. Sebagian lainnya -yakni dari kalangan ahli filsafat dan kelompok Mu'tazilah- mereka mengklaim jika sihir hanyalah khayal (ilusi) belaka.” (Syarah Aqidah Thahawiyah, Ibnu Abil Izzi, hlm. 505)
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Yang benar adalah bahwa sihir itu mempunyai hakikat. Hal yang sama juga dipastikan oleh jumhur ulama secara keseluruhan. Hal tersebut didasarkan pada Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih lagi masyhur.” (Dinukil dari kitab Fathul Baari X/222)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah mengatakan: “Sihir adalah jampi-jampi, mantra-mantra dan ikatan-ikatan yang memberikan pengaruh pada hati dan badan, sehingga ia bisa menimbulkan sakit, membunuh, atau memisahkan pasangan suami isteri. Allah Ta'ala berfirman: “Maka, mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya.” (QS. Al-Baqarah: 102) Dia juga berfirman: “Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.” (QS. Al-Falaq : 4) Yakni, wanita-wanita tukang sihir yang membuat buhul-buhul dalam sihir mereka dan meniup ke dalam buhul-buhul itu. Seandainya sihir itu tidak mempunyai hakikat, niscaya Allah tidak akan memerintahkan umat manusia untuk meminta perlindungan darinya.” (Al-Kafi 3/164)
Hafidz bin Ahmad Al-Hakami rahimahullah mengatakan: “Sihir adalah sesuatu yang benar-benar ada dan pengaruhnya tidak terlepas dari takdir Allah sebagaimana Allah berfirman: “Mereka belajar dari keduanya perkara yang akan memecah belah hubungan suami istri dan mereka tidak akan bisa berbuat mudharat kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah.” Dan pengaruhnya ada sebagaimana dalam hadits-hadits yang shahih.” (I’lam As Sunnah Al-Mansyurah hal. 153)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar