عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ، أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى
الْيَمَنِ، فَقَالَ: " كَيْفَ تَقْضِي ؟ " فَقَالَ: أَقْضِي بِمَا فِي
كِتَابِ اللَّهِ. قَالَ: " فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟ "
قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِنْ لَمْ
يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
أَجْتَهِدُ رَأْيِي، قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari
Al-Haarits bin ‘Amru, dari beberapa orang dari kalangan shahabat Mu’aadz :
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus
Mu’aadz ke Yaman, lalu bersabda : “Bagaimana engkau menghukum (sesuatu) ?”.
Mu’aadz menjawab : “Aku akan menghukum dengan apa-apa yang terdapat dalam
Kitabullah”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila
tidak terdapat dalam Kitabullah ?”. Mu’aadz menjawab : “Maka (aku akan
menghukum) dengan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kembali : “Apabila
tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ?”.
Mu’adz menjawab : “Saya akan berijtihad dengan pikiranku”. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1327, Abu Daawud no. 3592, dan yang
lainnya].
Sayangnya,
hadits ini tidak shahih, terutama karena kelemahan Al-Haarits bin ‘Amru. Ia
telah dilemahkan jumhur ulama. Al-Bukhaariy rahimahullah berkata :
“Tidak sah haditsnya”.
At-Tirmidziy
mengomentari hadits itu dengan perkataannya:
هَذَا حَدِيثٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ، وَلَيْسَ
إِسْنَادُهُ عِنْدِي بِمُتَّصِلٍ، وَأَبُو عَوْنٍ الثَّقَفِيُّ اسْمُهُ مُحَمَّدُ
بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ
“Hadits
ini tidak kami ketahui kecuali dari jalan ini. Dan menurut pandangan kami,
sanadnya tidaklah muttashil (bersambung). Abu ‘Aun yang dimaksud dalam
hadits bernama Muhammad bin ‘Ubaidillah”.
Selain
itu, matan hadits ini juga munkar. Bagaimana seseorang dapat mengambil
kesimpulan hukum dengan benar seandainya ia mencukupkan diri mencarinya dalam
Al-Qur’an tanpa menoleh kepada As-Sunnah ?. Seandainya ia mencari hukum
pencurian, lalu ia buka Al-Qur’an dan menemukan ayat:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” [QS. Al-Maaidah : 38].
Apakah
ayat ini langsung dapat operasional untuk menghukumi seseorang yang kedapatan
melakukan pencurian?. TIDAK, karena As-Sunnah memberikan beberapa penjelasan diantaranya
nishab harta yang dicuri yang pelakunya dijatuhi hukum potong tangan
adalah ¼ dinar, tidak dijatuhi hukum potong tangan pada kasus pencurian harta
yang tidak dijaga atau tidak disimpan pada tempat penyimpanan oleh pemiliknya,
dan yang lainnya.
Begitu
juga sendainya mencari hukum pembunuhan dan menemukan ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh”
[QS. Al-Baqarah : 178].
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ
فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ
وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
“Dan kami telah tetapkan
terhadap mereka di dalamnya bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan
mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan
luka-luka (pun) ada qishaashnya”
[QS. Al-Maaidah 45].
Dapatkan
seorang hakim atau aparat langsung mengqishaash dengan benar berdasarkan dua
ayat ini terhadap setiap kasus pembunuhan?. TIDAK, karena tidak setiap kasus
pembunuhan dijatuhi hukum qishaash bunuh juga. As-Sunnah
mengecualikannya bagi orang tua yang membunuh anaknya.
عَنْ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: " لَا يُقْتَلُ الْوَالِدُ بِالْوَلَدِ "
Dari
‘Umar bin Al-Khaththaab, ia
berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang tua tidak dibunuh karena membunuh anaknya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1400, Ibnu
Maajah no. 2662, dan yang lainnya; shahih].
Begitu mengecualikan orang
muslim yang membunuh orang kafir, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam:
لَا يُقْتَلَ مُسْلِمٌ
بِكَافِرٍ
“Seorang muslim tidak
dibunuh karena membunuh orang kafir” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
3046].
Oleh karena itu, Mak-huul Asy-Syaamiy
rahimahullah berkata:
الْقُرْآنُ أَحْوَجُ
إِلَى السُّنَّةِ مِنَ السُّنَّةِ إِلَى الْقُرْآنِ
“Al-Qur’an lebih membutuhkan As-Sunnah
daripada As-Sunnah membutuhkan Al-Qur’an” [Diriwayatkan oleh Al-Marwaziy dalam As-Sunnah
no. 106, Ibnu Syaahiin dalam Syarh Madzaahibi Ahlis-Sunnah no. 48,
dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’u Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih no. 2352;
shahih].
Hal yang sama dikatakan juga
oleh Al-Auza’iy rahimahullah.
Bahkan Yahyaa bin Abi Katsiir rahimahullah
sampai berkata:
السُّنَّةُ قَاضِيَةٌ
عَلَى الْكِتَابِ، وَلَيْسَ الْكِتَابُ قَاضِيًا عَلَى السُّنَّةِ
“As-Sunnah adalah hakim terhadap
Al-Kitaab, bukan Al-Kitaab sebagai hakim terhadap As-Sunnah” [Diriwayatkan oleh
Al-Marwaziy dalam As-Sunnah no. 105, Ad-Daarimiy no. 607, dan yang
lainnya; shahih].
Namun, Al-Imaam Ahmad bin
Hanbal mengomentari perkataan Yahyaa bin Abi Katsiir rahimahumullah tersebut dengan :
مَا أَجْسِرُ عَلَى هَذَا
أَنْ أَقُولَهُ، وَلَكِنَّ السُّنَّةَ تُفَسِّرُ الْكِتَابَ، وَتُعَرِّفُ
الْكِتَابَ وَتُبَيِّنُهُ
“Aku tidak berani
mengatakannya, akan tetapi As-Sunnah itu menafsirkan Al-Qur’an,
menerangkannya, dan menjelaskannya” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam Al-Kifaayah
1/81
no. 22;
shahih].
Meski sebagian ulama
menafsirkan perkataan Yahyaa seperti yang dikatakan Ahmad bin Hanbal rahimahumullah,
namun secara lafadh, apa yang dikatakan Ahmad bin Hanbal lebih tepat[1]. Ini
sesuai dengan yang dikatakannya dalam kitab Ushuulus-Sunnah yang sedang
dibahas ini. Wallaahu a’lam.
Apapun itu, perkataan para
ulama di atas menunjukkan betapa agungnya kedudukan As-Sunnah dalam syari’at
Islam selain dari Al-Qur’an.
Namun demikian,….. Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda memperingatkan:
عَنْ أَبِي رَافِعٍ
وَغَيْرِهِ، رَفَعَهُ قَالَ: " لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى
أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ أَمْرٌ مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ
فَيَقُولُ: لَا أَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاهُ "
Dari Abu Raafi’ dan yang
lainnya dan ia memarfu’kannya (kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam),
beliau bersabda : “Jangan sampai aku dapati salah seorang di antara kalian
yang bersandar di atas dipannya, kemudian datang kepadanya perkara yang aku
perintahkan atau aku larang, lalu ia berkata : ‘Aku tidak tahu. Apa saja yang
kami dapati dalam Kitabullah, maka itulah yang kami ikuti” [Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy no. 2663, dan ia berkata : “Hadits hasan shahih”].
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ
مَعْدِي كَرِبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَلا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ،
أَلا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ، أَلا يُوشِكُ رَجُلٌ
شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ، يَقُولُ: عَلَيْكُمْ بِالْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ
فِيهِ مِنْ حَلالٍ فَأَحِلُّوهُ، وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ
فَحَرِّمُوهُ، أَلا لا يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الأَهْلِيِّ وَلا كُلِّ
ذِي نَابٍ مِنَ السَّبُعِ "
Dari Al-Miqdaam bin Ma’diy
Karib, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
: “Ketahuilah, sesungguhnya telah diturunkan kepadaku Al-Kitaab dan yang
semisalnya (As-Sunnah) bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya telah diturunkan
kepadaku Al-Qur’an dan yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya. Ketahuilah,
dikhawatirkan akan ada seseorang yang duduk kenyang di atas dipannya seraya
berkata : ‘Wajib bagi kalian berpegang pada Al-Qur’an ini. Apa saja yang kalian
dapati di dalamnya dari perkara halal, maka halalkanlah, dan apa aja yang
kalian dapati di dalamnya dari perkara haram, maka haramkanlah’. Ketahuilah,
tidak dihalalkan bagi kalian daging keledai jinak dan binatang buas yang
mempunyai taring” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4604, Ibnu Hibbaan no. 12,
Al-Marwaziy dalam As-Sunnah no. 257, dan yang lainnya; shahih – ini
lafadh milik Al-Marwaziy].
Ternyata, apa yang
dikhawatirkan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang
kemunculan orang-orang yang menolak memakai As-Sunnah terjadi, baik secara
total maupun sebagian:
1.
Di India, ada seorang yang bernama Ahmad Khaan yang
hidup di abad 18 M. Ia bekerja untuk penjajah Inggris yang mempunyai pemikiran
untuk kembali kepada Al-Qur’an saja dan menjauhkan umat dari As-Sunnah. Penjajah
Inggris memberikan penghargaan Knight Commander of Star of India
kepadanya. Tidaklah Inggris memelihara dan memberikan penghargaan kepada
seseorang kecuali keberadaan orang tersebut menguntungkan mereka. Dan bukan
rahasia lagi, diantara keuntungan besar yang dipetik orang-orang kafir adalah
rusaknya ‘aqidah kaum muslimin sehingga mengokohkan kolonialisme mereka karena keinginan
untuk berjihad melawan mereka (orang-orang kafir) melemah.
2.
Di Mesir, ada banyak tokoh yang memusuhi As-Sunnah,
seperti Muhammad Abduh, Jamaaluddin Al-Afghaniy, Muhammad Rasyid Ridlaa[2], Taufiq
Shiddiiqiy, Muhammad Al-Ghazaliy, Mahmuud Abu Rayyaah, dan yang lainnya.
Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani banyak mempengaruhi
Muhammad Rasyid Ridlaa dalam beberapa tulisan di Majalah Al-Manar yang
kental dengan pemikiran Mu’tazilah yang menolak As-Sunnah. Taufiq Ash-Shiddiqiy
menulis serial artikel Al-Islaamu huwal-Qur’an Wahdah (Islam adalah
Al-Qur’an Semata) yang dimuat dalam Majalah Al-Manaar. Mahmuud Abu
Rayyaah menulis buku Adlwaa’ ‘alas-Sunnah Al-Muhammadiyyah dan
Syaikhul-Madliirah : Abu Hurairah, sedangkan Muhammad Al-Ghazaliy menulis buku As-Sunnah
An-Nabawiyyah baina Ahlil-Fiqh wa Ahlil-Hadits; dimana kedua buku tersebut
memuat syubhat-syubhat yang menimbulkan keraguan terhadap As-Sunnah.
3.
Kelompok Syi’ah Raafidlah yang menolak memakai
As-Sunnah yang dipakai kaum muslimin, kecuali yang diriwayatkan oleh kalangan
mereka yang dinisbatkan kepada Ahlul-Bait.
4.
Kelompok Hizbut-Tahriir yang menolak memakai
As-Sunnah, yaitu hadits ahad, dalam masalah ‘aqidah.
5.
Di Indonesia, ada macam-macam kelompok atau individu
yang menolak As-Sunnah, baik secara total maupun sebagian:
a.
Kelompok Minardi Mursyid di Surakarta (Solo) dan
sekitarnya dengan Yayasan Tauhid Indonesia (Yatain) dan Lembaga Pengkajian dan
Pendalaman Al-Qur’an Tauhid (LPPAT)-nya. Mereka menolak penggunaan As-Sunnah
dan hanya menggunakan Al-Qur’an yang dipahami sesuai tafsir ketuanya, Minardi. Mereka
aktif mengadakan pengajian dan menguploadnya di internet (Youtube).
b.
Kelompok Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) pimpinan Ahmad
Sukina yang berpusat di Surakarta (Solo) yang menolak beberapa
hadits shahih karena dianggap bertentangan dengan Al-Qur’an
yang
mereka pahami (misalnya : hadits tentang keharaman binantang bertaring, kesurupan jin, syafa’at,
peristiwa akhir jaman, dll.).
c.
Marinus Taka dan Irham Sutarto, pentolan kelompok
Inkarus-Sunnah di Indonesia generasi awal.
d.
Irene Handono, mantan biarawati yang menolak As-Sunnah
yang mengkhabarkan tentang kedatangan ‘Iisaa ‘alaihis-salaam di akhir
jaman karena ia anggap bertentangan dengan Al-Qur’an. Ia bahkan menulis buku
berjudul : ‘Mempertanyakan Kebangkitan dan Kenaikan ‘Iisaa Al-Masih. Begitulah
baik sangkanya terhadap pemahamannya.
Siapakah yang lebih mengerti tentang Al-Qur’an
daripada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?. As-Sunnah yang
mengkhabarkan tentang kedatangan ‘Iisaa di akhir jaman adalah mutawatir.
e.
Dan lain-lain.
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam :
مَنْ قَالَ فِي
الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa
yang berkata tentang Al-Qur’an tanpa ilmu, maka persiapkanlah tempat duduknya
di neraka” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2950, dan ia berkata : ‘Hadits
hasan shahih’].
Ayyuub
As-Sakhtiyaaniy rahimahullah:
إِذَا حَدَّثْتَ
الرَّجُلَ بِالسُّنَّةِ فَقَالَ: دَعْنَا مِنْ هَذَا وَحَدِّثْنَا مِنَ
الْقُرْآنِ، فَاعْلَمْ أَنَّهُ ضَالٌّ مُضِلٌّ
“Apabila
engkau menceritakan sunnah kepada seseorang, lalu ia berkata : ‘Tinggalkan kami
dari ini dan ceritakan kepada kami sesuatu yang berasal dari Al-Qur’an’. Maka
ketahuilah, sesungguhnya ia sesat dan menyesatkan” [Diriwayatkan oleh
Al-Khathiib dalam Al-Kifaayah 1/85-85 no. 26; shahih].
Kita mesti waspada dan
hati-hati. Tidak setiap suara mesti kita dengar meski suara-suara itu dibungkus
dengan kemasan agama.
Wallaahu
a’lam.
Bersambung,
insya Allah……
[Perum
Ciomas Indah Bukit Asri, Sabtu, 16-05-2015 – Abul-Jauzaa’ - Ushuulus-Sunnah lil-Imaam
Ahmad, syarh dan tahqiiq Al-Waliid bin Muhammad Nabiih, hal.
39-40, Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 1/1416, Kairo, Miftaahul-Jannah
fil-Ihtijaaj bis-Sunnah oleh As-Suyuuthiy, dengan beberapa referensi lain
sebagai tambahan penjelasan].
[1] Selain
Yahyaa bin Abi Katsiir, perkataan serupan juga diucapkan oleh Al-Auzaa’iy dan
Ad-Daarimiy rahimahumullah.
[2] Di akhir
kehidupannya, Muhammad Rasyid Ridlaa rujuk kepada pemahaman Ahlus-Sunnah dan
banyak menuliskan pembelaan terhadap As-Sunnah dan ‘aqidah Ahlus-Sunnah, meski
beberapa sisa pemikirannya yang lalu masih nampak di sebagian tulisannya.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2015/05/ushuulus-sunnah-lil-imaam-ahmad-bin_17.html#more
Assalaamu 'alaikum,
BalasHapusikut nyimak, di tunggu posting selanjutnya
jazakallah...
Jazakallahu Akhii..semoga Allah meridhoi jalan dakwah Panjenengan..dan semoga banyak orang yang bisa tersadarkan kembali ke jalanNya yang lurus atas izin Allah, salah satunya melalui perantara blog ini.. Semoga Antum mendapat berkah yang berlimpah dari Allah Azza Wa Jalla..Allahumma Aamiin.
BalasHapus