Sering
kita mendengar celotehan sebagian orang jika dia menyaksikan seseorang
membantah/menyingkap kesesatan kelompok-kelompok/dai-dai yang
menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah serta manhaj salaf (ahli sunnah wal
jama’ah), dia mengatakan (entah dimimbar-mimbar jum’at atau
dimajlis-majlisnya) : “Jagalah lisanmu, janganlah engkau mengghibah
(ngrasani) saudaramu sendiri sesama muslim, bukankah Allah berfirman :
‘Janganlah sebagian kamu menghibah (menggunjing) sebagian yang lain
sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah
mati?’”. (QS. Al-Hujurat : 12).
Apakah
benar celotehan mereka ini??? Mari kita simak bersama sebagian
ucapan-ucapan emas para ulama ahlus sunnah dalam masalah ini. Selamat
menikmati -semoga Allah menampakkan yang benar itu benar dan memberi
kita kekuatan untuk mengikutinya dan semoga Allah menampakkan yang batil
itu batil serta memberi kita kekuatan untuk menjauhinya- :
1.
Imam Nawawi (salah seorang ulama madzhab Syafi’i yang meninggal tahun
676 H) mengatakan dalam kitabnya “Riyadhus Shalihin” bab “penjelasan
ghibah yang dibolehkan” :
“Ketahuilah
bahwa ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar dan disyariatkan, yang
tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan ghibah tersebut. Hal
ini ada dalam enam perkara :
a.
Mengajukan kedzaliman orang lain. Dibolehkan bagi orang yang didzalimi
untuk mengajukan yang mendzaliminya kepada penguasa atau hakim dan
selain keduanya dari orang-orang yang memiliki kekuasaan atau kemampuan
untuk mengadili sidzalim itu. Orang yang didzalimi itu boleh mengatakan
si fulan itu telah mendzalimi/menganiaya diriku.
b.
Meminta pertolongan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang
yang berbuat dosa kepada kebenaran. Seseorang boleh mengatakan kepada
yang memiliki kekuatan yang ia harapkan bisa merubah kemungkaran: si
fulan itu berbuat kejahatan ini dan itu, maka nasehati dia/dan larang
dia berbuat jahat. Maksud ghibah disini adalah merubah
kemungkaran/kejahatan, jika tidak bermaksud seperti ini maka ghibah
tersebut haram.
c.
Meminta fatwa. Orang itu mengatakan kepada sang pemberi fatwa : ayahku
atau saudaraku atau suamiku telah mendzalimi diriku, apakah hal ini
boleh? Bagaimana jalan keluarnya? dll. Ghibah seperti ini boleh karena
suatu kebutuhan/tujuan (yang syar’i-pent). Tapi yang lebih utama tidak
disebutkan (personnya/namanya) semisal: Bagaimana pendapat Syaikh
tentang seorang suami atau ayah yang begini dan begitu? Hal ini juga
bisa dilakukan dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan meskipun tanpa
menyebut nama/personnya. Tapi menyebutkan nama/personnya dalam hal ini
hukumnya boleh seperti yang akan disebutkan dalam hasits Hindun -insya
Allah-
d.
Memperingatkan kaum Muslimin dari bahaya kesesatan
(seseorang/kelompok-pent) dan sekaligus dalam rangka saling menasehati.
Yang demikian itu mencakup beberapa hal:
-
Mencela para perawi-perawi (hadits) atau para saksi yang tidak memenuhi
syarat. Hal ini dibolehkan secara ijma’ kaum muslimin bahkan bisa jadi
hal tersebut wajib hukumnya.
-
Meminta pendapat/musyawarah orang lain dalam hal menikahi seseorang
atau bergaul dengannya atau meninggalkannya atau dalam hal bermuamalah
dengannya dll. Maka wajib bagi yang diajak bermusyawarah untuk tidak
menyembunyikan sesuatupun tentang keadaan orang tersebut bahkan dia
harus menyebutkan semua kejelekannya dengan niat saling menasehati.
-
Apabila seseorang melihat penuntut ilmu sering berkunjung kepada ahli
bid’ah (dai penyesat-pent) atau fasik untuk mengambil ilmu darinya dan
dia khawatir si penuntut ilmu itu akan terkena racun kesesatan orang
tersebut maka wajib baginya untuk menasehati si penuntut ilmu dengan
menjelaskan hakekat (kesesatan) sang guru/dai penyesat itu dengan syarat
tujuannya untuk menasehati. Dalam hal ini ada sebagian orang yang salah
mempraktekkannya, dia tujuannya bukan untuk menasehati tapi karena
hasad/dengki dengan orang yang ditahdzir (dighibahi itu), yang telah
dihiasi oleh syaitan seolah-olah dia menasehati tapi hakekatnya dia
hasad dan dengki.
-
Seseorang yang memiliki tanggung jawab/tugas tapi dia tidak
menjalankannya dengan baik atau dia itu fasik dan lalai dll. Maka boleh
bagi yang mengetahuinya untuk menyebutkan keadaan orang tersebut kepada
atasannya agar memecatnya dan menggantinya dengan yang lebih baik atau
agar hanya diketahui keadaannya saja lalu diambil tindakan hingga
atasannya tidak tertipu dengannya atau agar atasannya tersebut
menasehatinya kepada kebaikan
e.
Menyebutkan aib orang yang menampakkan kefasikan dan bid’ahnya seperti
orang yang bangga meminum khomer, menganiaya orang lain, merampas harta
dan melakukan hal-hal yang batil. Boleh bagi orang yang mengetahui
keadaan orang diatas untuk menyebutkan aib-aibnya (agar orang lain
berhati-hati darinya-pent)
f.
Mengenalkan orang lain dengan menyebut gelar (laqob) nya yang sudah
terkenal misalnya Al-A’masy (yang cacat matanya), Al-A’raj (yang
pincang), Al-Ashom (yang tuli) dan selainnya. Boleh mengenalkan dengan
julukan-julukan diatas tapi tidak untuk mencela/mengejeknya dan
seandainya mengenalkan tanpa menyebutkan julukan-julukan tersebut ini
lebih baik.
Inilah
keenam perkara yang disebutkan oleh para ulama (dalam membolehkan
ghibah-pent) kebanyakannya telah disepakati dan dalil-dalil keenam
perkara tersebut ada dalam hadits-hadits shohih yang sudah
masyhur/terkenal, diantaranya:
Dari Aisyah x beliau berkata :
“Bahwa
ada seorang yang meminta ijin untuk (menemui) Nabi, maka beliau
mengatakan : Ijinkanlah dia, dia adalah sejelek-jeleknya kerabat”. (HR.
Bukhari 6054 dan Muslim 2591).
Imam Bukhari berdalil dengan hadits ini dalam membolehkan ghibah terhadap para perusak (penyesat)
Dan dari beliau juga, bahwa Rasulullah pernah bersabda :
“Aku
kira fulan dan fulan itu tidak mengetahui sesuatupun dari agama kita”
(HR. Bukhari 6067). Laits bin Sa’ad (salah seorang perawi hadits ini)
mengatakan : dua orang tersebut termasuk orang-orang munafik.
Dari Fatimah binti Qois x dia berkata :
“Aku
pernah mendatangi Nabi lalu aku berkata : Sesungguhnya Abu Jahm dan
Mu’awiyah telah melamarku? Maka Rasulullah mengatakan : “Adapun
Mu’awiyah dia itu miskin tidak punya harta dan adapun Abu Jahm maka dia
itu tidak pernah menaruh tongkat dari pundaknya.” (HR. Muslim 1480).
Didalam
riwayat Muslim yang lain disebutkan: “Adapun Abu Jahm maka dia sering
memukul perempuan” ini adalah penjelasan atas ucapan beliau (dia itu
tidak pernah menaruh tongkat dari pundaknya). Ada juga yang menjelaskan
bahwa maksudnya adalah sering berpergian jauh/safar.
Dari Aisyah beliau berkata :
Hindun
(istri Abu Sufyan) berkata kepada Nabi : Sesungguhnya Abu Sufyan
seorang lelaki yang bakhil dia tidak memberiku dan anak-anakku nafkah
yang cukup melainkan jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya?
Maka beliau bersabda : “Ambillah apa yang mencukupimu dan anak-anakmu
dengan cara yang baik” (HR. Bukhari 5359 dan Muslim 1714)
2.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin -Rahimahullah- mengatakan dalam
Syarah Riyadhus Shalihin 4/99-101 ketika menjelaskan ucapan Imam Nawawi
diatas :
“Imam
Nawawi menyebutkan dalam bab ini hal-hal yang dibolehkan ghibah
didalamnya yaitu ada enam perkara. Ucapan beliau ini sangat baik sekali,
semuanya benar dan baik” kemudian beliau menjelaskan hadits pertama
yang dibawakan oleh Imam Nawawi : Sabda Nabi : (ijinkanlah dia, dia
itu sejelek-jeleknya kerabat) orang tersebut memang perusak dan
penyesat. Maka hal ini menjelaskan bolehnya mengghibah para penyesat
umat agar manusia lari dari kesesatannya dan agar mereka tidak tertipu.
Jika anda mengetahui ada seseorang yang sesat (dan menyesatkan) tapi dia
memiliki keistimewaan gaya bahasa dan retorika dalam menyampaikan
(ceramah) serta menarik manusia hingga mereka tidak sadar sudah
terjerumus kedalam jaring-jaring kesesatan maka wajib bagimu untuk
menjelaskan hakekat orang yang sesat tersebut dan sebutkan kejelekannya
(saja) agar manusia tidak tertipu dengannya. Berapa banyak para
dai-dai/penceramah-penceramah yang sangat indah dan fasih bahasanya,
jika anda melihatnya anda akan terpesona dan jika dia berbicara anda
akan dengan seksama mendengarkannya akan tetapi dia itu hakekatnya
(penyesat umat). Maka yang wajib adalah menyingkap hakekat dan
kedoknya.”
3. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah yang terkenal dengan sebutan Ibnu Abi Zamanain (meninggal tahun 399 H) berkata :
“Senantiasa
ahlus sunnah mencela ahlul ahwa/bid’ah yang menyesatkan (umat), mereka
melarang bermajlis dengan ahli bid’ah, mengkhawatirkan fitnah mereka
serta menjelaskan balasan mereka. Ahlussunnah tidak menganggap hal
tersebut sebagai suatu ghibah.” (Ushulus Sunnah oleh Ibnu Abi Zamanain
hal. 293)
Sungguh
ahlus sunnah telah sepakat dari dahulu maupun sekarang dalam menyikapi
ahli bid’ah (para penyesat umat-pent). Yang demikian itu dengan mencela
dan memperingatkan umat akan bahaya mereka serta memboikot dan melarang
bermajlis dengan mereka dalam rangka membendung bahaya dan fitnah para
ahli bid’ah tersebut.
Ahlu
sunnah menganggap bahwa menyingkap kedok mereka bukanlah ghibah yang
haram. Para ulama telah mengecualikan 6 perkara dari ghibah yang
diharamkan, seperti yang dikatakan dalam bait-bait ini:
Mencela bukan termasuk ghibah dalam 6 perkara,
Orang yang terdholimi, yang memperkenalkan, yang memperingatkan
Orang yang terang-terangan berbuat kefasikan, orang yang meminta fatwa
Dan orang yang meminta bantuan untuk memberantas kemungkaran (Keenam
hal ini sama dengan apa yang dijelaskan oleh Imam Nawawi diatas. “Ijma
ulama ‘ala hajr wat tahdzir min ahlil ahwa’” oleh Kholid bin Dhohawi
hal. 121)
4. Imam Ahmad (Imam Ahlu sunnah) mengatakan :
“Tidak ada istilah ghibah untuk (membantah) ahli bid’ah” (Thobaqoh Al-Hanabilah 2/274)
5. Imam Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan dalam kitab “Syarh ‘ilal At-Tirmidzi” 1/43-44 :
(Imam
Abu Isa (At-Tirmidzi) berkata: “Sebagian orang yang tidak paham akan
(agama ini) mencela para ahli hadits dalam ucapan mereka tentang
perawi-perawi hadits.
Sungguh
kita telah mendapati banyak dari para Imam dari kalangan tabi’in
membicarakan (menggunjing/mencela) para perowi diantara mereka adalah
Hasan Al-Bashri & Thowus mereka berdua mencela Ma’bad al-Juhani,
Sa’id bin Jubeir membicarakan Tholq bin Habib, Ibrahim an-Nakho’i dan
Amir asy-Sya’bi membicarakan a l-Harits al-A’war. Demikian pula yang
diriwayatkan dari Ayyub as-Sakhtiyani, Abdullah bin ‘Aun, Sulaiman
at-Taimi, Syu’bah bin Hajjaj, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas,
al-’Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Yahya bin Sa’id al-Qoththon, Waki’ bin
Jarrah, Abdurrohman bin Mahdi dan selain mereka dari para ahli ilmu,
mereka semua pernah membicarakan para perawi-perawi dan mendhoifkannya.
Tidaklah
yang mendorong mereka dalam hal ini (membicarakan/menghibah para
perawi) melainkan untuk menasehati kaum muslimin, tidak mungkin mereka
hanya ingin mencela dan menghibah saja, akan tetapi mereka ingin
menjelaskan kelemahan para perawi tersebut agar diketahui kaum muslimin,
karena sebagian perawi yang lemah tersebut adalah ahli bid’ah, sebagian
lagi tertuduh memalsukan hadits dan sebagian lagi ada yang banyak
kesalahannya. Maka para imam-imam tersebut ingin menjelaskan hakekat
mereka (para perawi) dengan sebenarnya, dalam rangka menjaga agama ini
dan menjelaskan hakekat sebenarnya. Karena persaksian dalam agama
(tentang hadits-pent) lebih utama untuk diteliti dari pada persaksian
dalam masalah hak pribadi dan harta”. Ibnu Rajab berkata: “Disini Imam
Tirmidzi ingin menjelaskan bahwa membicarakan/mengunjing para perowi
(Jarh wa Ta’dil) itu boleh. Hal ini telah disepakati oleh para
salaf/pendahulu umat ini dan para imam-imam mereka. Demikian itu untuk
membedakan mana perowi/hadits yang bisa diterima dan mana yang tidak.
Sebagian orang yang tidak memiliki ilmu mengira itu adalah ghibah (yang
diharamkan), padahal tidak demikian, sebab membicarakan aib seseorang
jika ada maslahatnya -meskipun pribadi- dibolehkan (dalam agama) tanpa
ada perselisihan lagi seperti mencela para saksi yang dusta, maka kalau
maslahatnya umum untuk muslimin ini lebih dibolehkan lagi”
6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam “majmu’ fatawa” 28/225-232 :
Menyebut manusia dengan apa-apa yang mereka benci ada dua macam :
1.
Menyebut jenis (golongan), setiap golongan yang dicela Allah dan
Rasul-Nya maka wajib untuk mencela mereka, hal ini bukan termasuk
ghibah.
2.
Menyebut perorangan baik yang masih hidup atau yang telah meninggal
dunia. Boleh menyebutkan kejelekan orang tersebut dalam beberapa
keadaan, diantaranya: dalam rangka menasehati kaum muslimin tentang
agama dan dunia mereka. Menasehati umat dalam kemaslahatan agama yang
khusus dan umum adalah suatu kewajiban. Seperti menjelaskan perowi
hadits yang salah atau berdusta sebagaimana yang dikatakan oleh Yahya
bin Said serta Al-Auza’I tentang seseorang yang tertuduh (memalsukan)
hadits dan dia tidak hafal, maka mereka mengatakan: “jelaskan hakekat
dan jati dirinya!”. Pernah seseorang berkata kepada Imam Ahmad : “Aku
merasa berat jika mengatakan si fulan itu demikian dan demikian (dari
kesesatannya-pent). Maka Imam Ahmad mengatakan: “jika engkau diam dan
akupun juga diam maka kapan orang bodoh/awam tahu mana yang benar dan
mana yang salah!!!
Seperti
imam-imam ahli bid’ah yang memiliki pendapat-pendapat yang menyelisihi
al-Qur’an dan Sunnah atau beribadah tapi menyelisihi al-Qur’an dan
Sunnah maka mereka ini wajib (menurut ijma kaum muslimin) dijelaskan
kesesatannya dan diperingatkan umat dari bahayanya. Sampai-sampai pernah
ditanyakan kepada Imam Ahmad : “Ada seseorang yang puasa, sholat,
I’tikaf dan ada orang lain yang membantah ahli bid’ah, manakah yang
lebih anda sukai? Beliau menjawab : apabila orang itu sholat, i’tikaf
maka hal itu manfaatnya untuk dia sendiri tapi apabila dia membantah
ahli bid’ah maka manfaatnya bagi kaum muslimin dan inilah yang lebih
afdhol/lebih utama.
Beliau
menjelaskan bahwa manfaatnya lebih luas bagi kaum muslimin di dalam
agama mereka, yang hal tersebut termasuk jihad fi sabilillah.
Menjernihkan jalan Allah, agama, manhaj serta syari’at-Nya dari
kesesatan dan permusuhan mereka (ahli bid’ah) merupakan suatu kewajiban
yang kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin
Seandainya
tidak ada yang menolak/membantah bahaya (bid’ah) nya mereka maka akan
rusaklah agama ini. Dan kerusakan yang ditumbuhkan nya (bid’ah) lebih
dahsyat daripada penjajahan. Karena mereka (para penjajah) jika merusak
tidaklah merusak hati pertama kali tapi mereka (ahli bid’ah) pertama
kali yang dilakukan adalah merusak hati
7. Imam Hasan Al-Bashri mengatakan :
“Tidak
ada istilah ghibah dalam membantah ahli bid’ah”. Beliau mengatakan :
“Tiga golongan manusia yang tidak ada larangan dalam mengghibah mereka,
salah satunya adalah ahli bid’ah yang extrim dalam bid’ahnya”. Beliau
juga pernah berkata: “tidak ada istilah ghibah dalam mencela pelaku
bid’ah dan orang fasik yang menampakkan kefasikannya”. (ucapan-ucapan
ini diriwayatkan oleh Al-Lalika’I dalam “Syarh Ushul I’tiqod Ahlis
Sunnah” 1/140)
8. Ibrahim An-Nakho’i mengatakan :
“Tidak ada ghibah dalam membantah ahli bid’ah” (lihat Sunan Darimi 1/120)
9. Sufyan bin Uyainah berkata :
“Pengekor
hawa nafsu dalam agama ini tidak ada larangan dalam mengghibahnya”
(lihat “Mukhtashor Hujjah” oleh Nashr Al-Maqdisy hal.538)
10. Abu Hamid Al-Ghozali setelah membahas masalah ghibah dalam kitabnya “Ihya’ Ulumuddin” beliau berkata :
“Ketahuilah
bahwa ghibah itu dibolehkan selama untuk tujuan yang disyari’atkan yang
tidak mungkin sampai kepadanya kecuali dengan ghibah tersebut, maka
tidak ada dosa didalamnya. Hal tersebut ada pada 6 keadaan”. (Ihya’
Ulumuddin 3/152)
Dari
ucapan para ulama salaf ahli sunnah diatas telah jelas bagi kita akan
bolehnya mengghibah para penyesat umat dengan tujuan
menjelaskan/menyikap hakekat kesesatan mereka kepada umat ini. Bahkan
bisa jadi hal tersebut wajib, tapi perlu diketahui bahwa mengghibah ahli
bid’ah itu dibolehkan dengan syarat-syarat berikut ini :
1.
Ikhlas karena Allah dan tujuan dari mencela/membantah ahli bid’ah
adalah menasehati kaum muslimin dan memperingatkan mereka akan bahaya
bid’ah mereka. Selain untuk tujuan ini maka ghibah itu diharamkan,
seperti karena permusuhan pribadi, hasad terhadap ahli bid’ah dll
2.
Pelaku bid’ah tersebut menyebarkan bid’ahnya. Jika pelaku bid’ah
tersebut menyembunyikan/tidak menyebarkan bid’ahnya maka tidak boleh
mengghibahnya. Karena mengghibah pelaku bid’ah (penyesat umat) tujuannya
untuk amar ma’ruf nahi mungkar dan hal ini tidak bisa dilakukan kecuali
kalau bid’ahnya itu ditampakkan/disebarkan ditengah masyarakat
3.
Ahli bid’ah tersebut masih hidup dan belum meninggal. Jika orang
tersebut (penyesat umat) sudah meninggal dunia maka tidak boleh
mengghibahnya, kecuali jika dia memiliki buku-buku (tulisan-tulisan) dan
pengikut yang memuat dan menyebarkan bid’ahnya maka wajib untuk
memperingatkan umat darinya.
4.
Bersikap adil dalam membantah ahli bid’ah, menjelaskan
kesesatan/kebid’ahannya tanpa berdusta/tanpa mengada-ada. (Lihat “Mauqif
ahlis sunnah wal jama’ah min ahlil ahwa’ wal bid’ah” oleh DR. Ibrahim
Ar-Ruhaily 2/506-509)
Oleh : Abu Abdirrahman bin Thayib, Lc.
Sumber : Majalah adz-Dzakhiirah
Semoga mendapat pahala dari Allah atas ketekunan dan keseriusan mengelola blok ini. Lumayan bagus untuk referensi hidup
BalasHapus