Halaman

Rabu, 01 Mei 2013

Larangan Mengambil 'Ilmu Dari Ahlul Bid'ah

Diriwayatkan dari Abu Umayyah al-Jumahi radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya salah satu tanda dekatnya hari Kiamat adalah ilmu diambil dari kaum ashaaghir (ahli bid’ah).”

Ibnul Mubarak berkata dalam kitab az-Zuhd (hal. 21 dan 281): “Yang dimakud kaum ashaaghir adalah ahli bid’ah.”

[Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd (61), dari jalur tersebut al-Lalika-i meriwayatkannya dalam kitab Syarah Usbuul I'tiqaad Ahlis Sunnah (102), ath-Thabrani dalam al-Kabiir (XXII/908 dan 299), al-Harawi dalam kitab Dzammul Kalaam (11/137), al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/79), Ibnu 'Abdil Barr dalam kitab Jaami’ Bayaanil 'llm (1052) dan lainnya dari jalur Ibnu Luhai'ah, dari Bakr bin Sawadah, dari Abu Umayyah. Saya (Syaikh Salim) katakan: "Sanadnya shahih shahih, karena riwayat al-'Abadillah dari Ibnu Luhai'ah adalah riwayat shahih. Adapun perkataan al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaa-id (I/1365) yang mendha'ifkan Ibnu Luhai'ah tidaklah tepat."
Ditambah lagi Ibnu Luhai'ah tidak tersendiri dalam meriwayatkan hadits ini, ia telah diikuti oleh Sa'id bin Abi Ayyub yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Bagdadi dalam al-Jaami' li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami' (I/137). Sa'id adalah perawi tsiqah.

Ada dua penyerta lain lain bagi hadits ini:

Pertama:

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwa ia berkata:
"Manusia senantiasa shalih dan berpegang kepada yang baik selama ilmu datang kepada mereka dari Sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan dari orang-orang yang berilmu dari mereka. Jika ilmu datang kepada mereka dari kaum ashaaghir maka mereka akan binasa." [Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak (815), 'Abdurrazaq (XI/246), Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (VIII/49) dan al-Lalikai dalam Syarh Ushuul I'tiqaad Ahlis Sunnah (101)].

Saya (Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah) katakan: “Sanad hadits tersebut shahih.”

Kedua:

Diriwayatkan dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama generasi pertama masih tersisa dan generasi berikut menimba ilmu dari mereka. Jika generasi pertama telah berlalu sebelum generasi berikut menimba ilmu dari mereka, maka manusia akan binasa.” [Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/78-79) dan Ahmad dalam kitab az-Zuhd (hal. 189) melalui dua jalur dari Salman.

Kedua haits ini memiliki hukum marfu', sebab perkara di atas termasuk salah satu tanda hari Kiamat yang tidak dapat dikatakan atas dasar logika dan ijtihad. Wallahu a'lam.

KANDUNGAN BAB:

1. Kaum ashaaghir adalah ahli bid'ah dan pengikut hawa nafsu yang berani mengeluarkan fatwa meski mereka tidak memiliki ilmu.

Hal ini telah diisyaratkan dalam hadits yang berbicara tentang terangkatnya ilmu.

2. Ulama adalah kaum Akaabir meskipun usia mereka muda usia.

Ibnu 'Abdil Barr berkata dalam kitab Jaami'Bayaanil’llm,
"Orang jahil itu kecil, meskipun usianya tua. Orang alim itu besar meskipun usianya muda."

Lalu ia membawakan sebuah sya'ir,
"Tuntutlah ilmu, karena tidak ada seorangpun yang lahir langsung jadi ulama Sesungguhnya orang alim tidaklah sama dengan orang jahil, Sesepuh satu kaum yang tidak punya ilmu Akan menjadi kecil bila orang-orang melihat kepadanya."

3. Ilmu adalah yang bersumber dari Sahabat radhiyallahu 'anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka.

Itulah ilmu yang berguna. Jika tidak demikian, maka pemiliknya akan binasa karenanya. Dan pemiliknya tidak akan menjadi imam, tidak menjadi orang dipercaya dan diridhai.

4. Para penuntut ilmu harus mengambil ilmu dari orang-orang yang bertakwa, shalih dan mengikuti Salafush Shalih.

Sebab, keberkatan selalu bersama mereka. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Keberkahan selalu bersama kaum akaabir (ahli ilmu) kalian." [HR Ibnu Hibban (955), al-Qadha’i dalam Musnad asy-Syihab (36-37), al-Hakim (I/62), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (VIII/171-172), al-Khathib al-Baghdadi dalam Taarikh Baghdaad (XI/165), al-Bazzar dalam Musnadnya (1957) dan lainnya melalui beberapa jalur dari 'Abdullah bin al-Mubarak, dari Khalid al-Hadzdza', dari 'Ikrimah, dari 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhu. Saya katakan: "Sanadnya shahih].

5. Ulama Salaf terdahulu telah mengisyaratkan keterangan ini yang dapat menyelamatkan kita dari kejahilan dan menjaga kita dari kesesatan.

Seorang tabi’in yang mulia, Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu!” [HR Muslim dalam Muqaddimah Shahiihnya (1/14) dengan sanad shahih].

Sebab, ilmu ini hanya dibawa oleh orang-orang yang terpercaya, maka selayaknya diambil dari mereka. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Musa ‘lsa bin Shabih, Telah diriwayatkan sebuah hadits shahih dari RasuluUah shållallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan kaum yang melampaui batas, takwil orang-orang jahil dan pemalsuan ahli bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu.” (Al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami’ [1/129]).

Oleh karena itu pula harus dibedakan antara ulama Ahlus Sunnah dengan ahli bid’ah, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Muhammad bin Siirin rahimahullah,
 “Dahulu, orang-orang tidak bertanya tentang sanad. Namun setelah terjadi fitnah (munculnya bid’ah), mereka berkata, ‘Sebutkanlah perawi-perawi kalian!’ Jika perawi tersebut Ahlus Sunnah, maka mereka ambil haditsnya. Dan jika ahli bid’ah, maka tidak akan mereka ambil haditsnya.” [HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahiihnya (1/15) dengan sanad shahih]

Demikian pula harus dilihat spesialisasi tiap-tiap orang dan mengambil pendapatnya dalam bidang yang sudah menjadi spesialisasinya. Sebab setiap ilmu memiliki tokoh-tokoh tersendiri, mereka dikenal dengan ilmu tersebut dan ilmu tersebut dapat diketahui melalui mereka.

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata,
Sesungguhnya, ilmu ini adalah agama, maka periksalah dari siapa engkau mengambil ajaran agamamu. Aku sudah bertemu tujuh puluh orang yang mengatakan, fulan berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda di tiang masjid ini -beliau menunjuk Masjid Nabawi namun aku tidak mengambil satu pun hadits dari mereka.- Sesungguhnya, ada beberapa orang dari mereka yang apabila diberi amanat harta, maka ia akan memelihara amanat tersebut. Akan tetapi mereka bukanlah orang-orang yang ahli dalam bidang ini. Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin Syihab pernah datang ke sini, lalu mereka berkerumun di depan pintunya.” [Lihat kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/98)].

Para ahli ilmu telah mengingatkan hal ini dalam tulisan-tulisan mereka. Tujuannya untuk melindungi generasi mendatang agar tidak terpengaruh oleh klaim-klaim dari orang-orang yang bertambah subur tanaman mereka di tanah yang tandus. Yakni orang-orang yang ingin mencuat sebelum matang, ingin muncul sebelum tiba waktunya!

Mereka berkoar-koar di majelis-majelis ilmu, sibuk mengeluarkan fatwa dan sibuk mengarang buku. Mereka mendesak naik ke puncak yang telah ditempati oleh para ulama terlebih dulu. Mereka menempatinya untuk merubuhkan batas-batas pemisahnya dan mengurai jalinannya.

Aksi mereka bertambah gila lagi dengan berdatangannya orang-orang awam dan orang-orang yang setipe dengannya ke majelis-majelis mereka dengan perasaan takjub, amat girang menyimak cerita-cerita kosong mereka.

Al-Khathib al-Baghdaadi berkata dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih (11/960,
“Seorang penuntut ilmu seharusnya menimba ilmu dari ahli fiqih yang terkenal kuat memegang agama, dikenal shalih dan menjaga kesucian diri.”

Kemudian ia mengatakan:
“Dan hendaknya ia juga harus menghiasi diri dengan etika-etika ilmu, seperti sabar, santun, tawadhu’ terhadap sesama penuntut ilmu, bersikap lembut kepada sesama, rendah hati, penuh toleransi kepada teman, mengatakan yang benar, memberi nasihat kepada orang lain dan sifat-sifat terpuji lainnya.”

Dalam kitabnya yang langka, yakni al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami’ (1/126-127), beliau telah menulis beberapa pasal. Kami akan menyebutkan inti dari pasal-pasal tersebut:

1. Tingkatan keilmuan para perawi tidaklah sama, harus didahulukan mendengar riwayat dari perawi yang memiliki sanad ‘Ali (lebih dekat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Jika sanad para perawi tersebut sama dalam hal ini, sedang ia ingin mengambil sebagian saja dari sanad-sanad tersebut, maka hendaklah ia memilih perawi yang lebih populer dalam bidang hadits, yang dikenal ahli dan menguasai ilmu ini.

2. Jika para perawi tersebut juga sama dalam kedua hal tersebut, maka hendaklah memilih perawi yang memiliki nasab dan silsilah yang lebih mulia. Riwayatnyalah yang lebih layak disimak.

3. Hal itu semua berlaku bila para perawi itu telah memenuhi kriteria lain, seperti istiqamah di atas manhaj Salafush Shalih, terpercaya dan terhindar dari bid’ah. Adapun perawi yang tidak memenuhi kriteria di atas, maka harus dijauhi dan jangan menyimak riwayat darinya.

4. Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh mendengar riwayat dari perawi yang telah terbukti kefasikannya. Seorang perawi dapat disebut fasik karena banyak perkara, tidak hanya karena perkara yang berkaitan dengan hadits. Adapun yang berkaitan dengan hadits misalnya memalsukan matan hadits atas nama Rasulullah saw. atau membuat-buat sanad-sanad atau matan-matan palsu. Bahkan katanya, alasan diadakannya pemeriksaan terhadap para perawi awalnya adalah disebabkan perkara di atas.

5. Di antara para perawi itu ada yang mengaku telah mendengar dari syaikh yang belum pernah ditemuinya. Karena itulah para ulama mencatat tarikh kelahiran dan kematian para perawi. Ditemukanlah riwayat-riwayat sejumlah perawi dari syaikh-syaikh yang tidak mungkin bertemu dengan mereka karena keterpautan usia yang sangat jauh.

6. Ulama ahli hadits juga menyebutkan sifat-sifat ulama dan kriteria mereka. Dengan demikian banyak sekali terbongkar kedok sejumlah perawi.

7. Jika perawi tersebut terlepas dari tuduhan memalsukan hadits, terlepas dari tuduhan meriwayatkan hadits dari syaikh yang belum pernah ditemuinya dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang dapat menjatuhkan kehormatannya, hanya saja ia tidak memiliki kitab riwayat yang didengarnya itu dan hanya beipatokan kepada hafalannya dalam menyampaikan hadits, maka tidak boleh mengambil haditsnya hingga para ulama ahli hadits merekomendasikannya dan menyatakan ia termasuk dalam deretan penuntut ilmu yang memiliki perhatian kepada ilmu, memelihara dan menghafalnya dan telah diuji kualitas hafalannya dengan mengajukan hadits-hadits yang terbolak-balik kepadanya.

Jika perawi itu termasuk pengikut hawa nafsu dan pengikut madzhab yang menyelisihi kebenaran, maka tidak boleh mendengar riwayatnya, meskipun ia dikenal memiliki banyak ilmu dan kuat hafalannya.

Seorang penuntut ilmu syar’i harus mengetahui hakikat sebenarnya. la harus tahu dari siapa ia mengambil ajaran agamanya. Janganlah ia mengambil ilmu dari ahli bid’ah, karena mereka akan membuatnya sesat sedang ia tidak menyadarinya.

(Disalin dari kitab Ensiklopedi Larangan Jilid I, cet.Kedua, Muharram 1426 H/Februari 2005 M, hal. 219-224, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah)
sumber : http://abuzuhriy.com/larangan-mengambil-ilmu-dari-ahli-bidah/
Link : Jangan Mengambil Ilmu dari Ahli Bid'ah !

5 komentar:

  1. Apa mta termasuk ahli bidah?
    Bila ya/ tidak apa alasannya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nhah sudah jelas tho! Syafa'at diingkari, kesurupan diingkari,.... eee malah bai'at pimpinanne koyo ulil amri. Wanitanya podho shalat jum'at walau neng ngomah dhewe'an, kalau safar nekad tayamum walau ada air, anjing halal, emas ok (buat lelaki), musik kranjingan senenge... dll. Akeh banget lah!

      Hapus
  2. apa ya kriteria yang bisa membedakan mana yang termasuk bidah dengan mana yang termasuk hanya sekedar beda pemahaman? dan kelompok manakah di indonesia ini yang bisa kita ambil sbgai standarisasi untuk ukuran dalam pemahaman alquran dan hadist.. maaf sblumnya..saya msih blum terlalu faham tentang agama..krna slama ini saya masih ikut2 orangtua saya., trima kasih kalo ada yang berkenan membagi ilmu., terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perbedaan yg dibolehkan syari'at itu ada dua hal, yaitu :
      1. Perbedaan dalam memahami suatu perkara dengan dukungan nash yg shahih.
      Sebagaimana perbedaan pemahaman pada sahabat saat menuju bani quraidhoh, dan hal ini dibiarkan oleh rasulullah shalallahu'alaihi wasallam karena dari kedua golongan sahabat ini semuanya mengikuti dalil perintah rasulullah shalallahu'alaihi wasallam. Yakni ada yg shalat tepat pada waktunya dan ada yg shalat setelah sampai di tujuan dan kedua duanya karena perintah rasulullah shalallahu'alaihi wasallam.

      2. Perbedaan keragaman dalam tata cara ibadah karena memang semuanya itu berdasarkan dalil yg shahih dari rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Misalnya dalam perkara mengangkat tangan saat takbir shalat, ada yg setentang dengan bahunya, dan ada yg sjajar dengan telinganya, dan semua itu memang ada dalil shahih yg memerintahkan keduanya.

      SEDANGKAN BID'AH :
      1. Tidak ada dalil yg shahih yg menjelaskan perintahnya, atau jika ada perintahnya terkadang tata caranya (kaifiyatnya) dibikin manusia sendiri dengan aqalnya sendiri dirangkai sedemikian rupa.
      2. Ada dalil tapi salah dalam menempatkan dalil tersebut, misalnya dalil bersedekah pada keluarga mayit, tapi pelaksanaannya justru keluarga mayit yg sibuk membuat makanan buat orang yg datang.
      3. Ada dalil tapi menyelisihi jumlahnya/ukurannya, Misal zakat profesi, jelas ini bid'ah krna zakat mal harus sesuai dengan aturan yg telah ditetapkan yaaitu dengan syarat terpenuhi haul dan nishabnya, sdangkan jika tdk terpenuhi syarat ini kok tetap dilaksanakan maka itulah bid'ah.
      4. Ada dalil tapi menyelisihi Jenisnya, misal : membayar fidyah itu dengan makanan, tapi kok diganti uang maka itulah bid'ah.
      5. Ada dalil perintahnya tapi menyelisihi tempatnya, misal : shalat itu ya di masjid atau di rumah atau ditempat tempat yg dibolehkan shalat, lha shalat fardhu kok dilaksanakan di kuburan maka itulah bid'ah.
      6. Ada dalil tapi menyelisihi waktunya, misal: shalat shubuh dilaksanakan setelah matahari tenggelam, maka itulah bid'ah.
      7. Yang paling parah adalah yg tanpa dalil tapi membikin bikin ibadah sendiri dengan dasar aqal dan prasaan padahal tidak pernah dilaksanakan oleh rasululla dan para sahabatnya, maka itulah bid'ah.

      Tapi dalam perkara dunia maka tidak dikatakan bid'ah karena dalam urusan dunia asal hukumnya adalah mubah selama tdk ada dalil yg melarangnya.
      Wallahua'lam bishshowaab.

      Hapus
  3. Belajarlah melalui ustadz ustadz yg bermanhaj salaf, dan ikutilah kajian kajiannya baik lewat majlis ta'limnya, radio, rekaman ceramah mp3, website, majalah dan berbagai media yg lain. Smoga antum dimudahkan utk dekat dengan 'ilmu yg benar agar bisa meniti manhaj yg lurus 'ala bashiiroh. Barokallohufiykum.

    BalasHapus