Halaman

Rabu, 13 Februari 2013

Masalah Takdir?

Masih banyak orang yang salah kaprah dalam memahami takdir.....
Jika ada seseorang yang mati dengan cara bunuh diri pada jam sekian, tanggal sekian, di tempat A maka sesungguhnya semua hal itu telah ditetapkan dan ditulis oleh Allah sejak 50.000 tahun yang lalu. Kejadian itu pasti akan terjadi, tak akan bisa dicegah dan tak akan bisa berubah. Tak akan ada yang berubah dalam hal yang sudah ditakdirkan Allah dan dicatat Allah di lauhul mahfudz.

“…….sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”. [surat Al-Hajj: 70]

“Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk, 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. Dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air.” (hadits riwayat Muslim)

Iman kepada takdir punya 4 tingkatan, dan iman yang sempurna harus mengimani ke-4 tingkat itu, jika hanya sampai tingkat 1 atau 3 maka imannya masih cacat:
  1. Percaya bahwa sejak dahulu kala Allah telah MENGETAHUI segala hal yang akan terjadi di dunia ini. Contohnya, sejak dahulu kala Allah telah MENGETAHUI bahwa si X akan mati dengan cara bunuh diri pada jam sekian, tanggal sekian, di tempat A
  2. Percaya bahwa sejak dahulu kala Allah telah MENULIS APA YANG DIKETAHUINYA ITU. Contohnya, sejak dahulu kala Allah telah MENULIS bahwa si X akan mati dengan cara bunuh diri pada jam sekian, tanggal sekian, di tempat A
  3. Percaya bahwa sejak dahulu kala Allah telah MENGHENDAKI HAL YANG AKAN TERJADI TERSEBUT (jika Allah tidak menghendaki sesuatu hal, tentu hal itu tidak akan terjadi, karena segala sesuatu hanya bisa terjadi jika diizinkan Allah untuk terjadi). Contohnya, sejak dahulu kala Allah telah MENGHENDAKI bahwa si X akan mati dengan cara bunuh diri pada jam sekian, tanggal sekian, di tempat A
  4. Percaya bahwa Allah YANG MENCIPTAKAN HAL YANG AKAN TERJADI TERSEBUT (jika Allah tidak menciptakan sesuatu hal, tentu hal itu tidak akan terjadi, karena tidak ada pencipta selain Allah).Contohnya, Allah YANG MENCIPTAKAN KEJADIAN bahwa si X akan mati dengan cara bunuh diri pada jam sekian, tanggal sekian, di tempat A

TAKDIR MANAKAH YANG BISA DIUBAH DENGAN DOA?

Takdir yang bisa diubah dengan doa atau dengan amal baik adalah takdir kontemporer (sementara), misalnya catatan takdir yang ada di catatan malaikat. Sedangkan yang di lauhul mahfuz maka tidak akan berubah, bahkan perbuatan berdoa atau tidak berdoa, itupun sudah tercatat di lauhul mahfudz. Seseorang yang berdoa pada jam sekian, tanggal sekian, ditempat B, maka sebenarnya telah ditakdirkan oleh Allah sejak dahulu kala bahwa orang itu memang akan berdoa pada jam sekian, tanggal sekian, ditempat B.
Jadi, catatan takdir-takdir kontemporer (sementara) akan berubah-ubah sehingga isinya menjadi sama dengan “takdir” yang tertulis di lauhul mahfudz. Bahkan akan terjadinya perubahan pada catatan takdir-takdir kontemporer(sementara) itupun telah tercatat di lauhul mahfudz. 

“Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami… .’” [At-Taubah: 51]

“…Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka saling membunuh. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” [Al-Baqarah: 253]

“…Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk … .” [Al-An’aam: 35]

“Dan kalau Allah menghendaki niscaya mereka tidak mempersekutukan(-Nya)… .” [Al-An’aam: 107]

“Dan jikalau Rabb-mu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya… .” [Yunus: 99] [3]

“Allah Yang menciptakan segala sesuatu… .” [Az-Zumar: 62]

Imam Al-Bukhari Rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Khalq Af’aalil ‘Ibaad dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, dia menuturkan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah menciptakan semua (makhluk) yang berbuat dan juga sekaligus perbuatannya.”

Barang-siapa berbuat dosa lalu bertaubat, maka ia sesuai dengan sifat Nabi Adam 'alaihissalam, dan barangsiapa yang meneruskan dosanya serta berdalihkan dengan takdir, maka ia sesuai dengan sifat iblis. Maka orang-orang yang berbahagia akan mengikuti bapak mereka (yaitu ADAM), dan orang-orang yang celaka akan mengikuti musuh mereka, iblis.

APA KEWAJIBAN HAMBA BERKENAAN DENGAN MASALAH TAKDIR?
Oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd

Kewajiban seorang hamba dalam masalah ini ialah mengimani qadha’ Allah dan qadar-Nya, serta mengimani syari’at, perintah dan larangan-Nya. Ia berkewajiban untuk membenarkan khabar (berita) dan mentaati perintah. [1]
Jika ia berbuat kebajikan, hendaklah ia memuji Allah dan jika ia berbuat keburukan, hendaklah ia memohon ampun kepada-Nya. Ia pun mengetahui bahwa semua itu terjadi dengan qadha’ Allah dan qadar-Nya. Sesungguhnya, ketika Nabi Adam Alaihissalam melakukan dosa, maka dia bertaubat, lalu Rabb-nya memilihnya dan memberi petunjuk kepadanya. Sedangkan iblis, ia tetap meneruskan dosa dan menghujat, maka Allah melaknat dan mengusirnya. Barang-siapa yang bertaubat, maka ia sesuai dengan sifat Nabi Adam Alaihissalam, dan barangsiapa yang meneruskan dosanya serta berdalihkan dengan takdir, maka ia sesuai dengan sifat iblis. Maka orang-orang yang berbahagia akan mengikuti bapak mereka, dan orang-orang yang celaka akan mengikuti musuh mereka, iblis. [2]

“Dengan pemahaman terhadap qadar Allah dan pelaksanaan terhadap syari’at-Nya secara benar, maka manusia akan menjadi seorang hamba -yang hakiki-, sehingga dia akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, ash-shiddiqin, asy-syuhada’ dan ash-shalihin. Cukuplah dengan persahabatan ini suatu keberuntungan dan kebahagiaan.” [3]

Kesimpulannya, ia wajib mengimani keempat tingkatan takdir yang telah disinggung sebelumnya. Yaitu, tidak ada sesuatu pun yang terjadi melainkan Allah telah mengetahui, mencatat, menghendaki, dan menciptakannya. Ia mengimani juga bahwa Allah memerintahkan agar mentaati-Nya dan melarang bermaksiat kepada-Nya, lalu ia melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Apabila Allah memberi taufik kepadanya untuk melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan, maka hendaklah ia memuji Allah dan meneruskan hal itu. Tetapi apabila dirinya dibiarkan dan dipasrahkan (oleh Allah) kepada dirinya sendiri, lalu ia melakukan kemaksiatan dan meninggalkan ketaatan, maka hendaklah ia beristighfar dan bertaubat.

Kemudian, hamba juga berkewajiban untuk bekerja demi kemaslahatan duniawinya, dan menempuh cara-cara yang benar yang dapat menghantarkan ke sana, lalu ia berjalan di muka bumi dan segala penjurunya. Jika berbagai perkara datang sesuai dengan apa yang dikehendakinya, hendaklah ia memuji Allah, dan jika datang tidak sesuai dengan yang diinginkannya, maka ia terhibur dengan qadar Allah. Ia tahu bahwa itu semua terjadi dengan qadar Allah Azza wa Jalla, dan bahwa apa yang menimpanya tidak pernah luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan pernah menimpanya.

“Jika hamba mengetahui secara global bahwa Allah dalam apa yang diciptakan dan diperintahkan-Nya memiliki hikmah yang besar, maka hal ini cukuplah baginya (menjadikannya tenang). Kemudian setiap kali bertambah ilmu dan keimanannya, maka semakin tampak pula baginya hikmah Allah dan rahmat-Nya yang mengagumkan akalnya, serta menjelaskan kepadanya kebenaran apa yang dikabarkan Allah dalam kitab-Nya.” [4]

Bukan menjadi suatu keharusan bagi setiap orang untuk mengetahui detil pembicaraan tentang iman kepada qadar, tetapi keimanan secara global ini sudah mencukupi. Ahlus Sunnah wal Jama’ah -sebagaimana yang dinyatakan oleh mereka- tidak mewajibkan atas orang yang lemah apa yang diwajibkan atas orang yang mampu.
Alhamdulillaah, selesailah pembahasan kita mengenai dalil-dalil syari’at, fitrah, akal, dan secara inderawi, yang tidak ada kontradiksi di dalamnya dan tidak ada kesamaran.

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Footenotes
[1]. Lihat, Jaami’ur Rasaa-il, Ibnu Taimiyyah, (II/341) dan lihat, Dar’ Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql, (VIII/405).
[2]. Lihat, al-Fataawaa, (VIII/64) dan Thariiqul Hijratain, hal. 170.
[3] At-Tuhfah al-Mahdiyyah fii Syarh ar-Risaalah at-Tadmuriyyah, Syaikh Falih bin Mahdi, (II/140) dan lihat, Taqriib at-Tadmuriyyah, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 119.
[4]. Majmuu’ul Fatawaa, (VIII/97).

1 komentar: