Masih banyak orang yang salah kaprah dalam memahami takdir.....
Jika ada seseorang yang mati dengan cara bunuh diri pada jam sekian,
tanggal sekian, di tempat A maka sesungguhnya semua hal itu telah
ditetapkan dan ditulis oleh Allah sejak 50.000 tahun yang lalu.
Kejadian itu pasti akan terjadi, tak akan bisa dicegah dan tak akan bisa
berubah. Tak akan ada yang berubah dalam hal yang sudah ditakdirkan
Allah dan dicatat Allah di lauhul mahfudz.
“…….sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di
bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh
Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”. [surat
Al-Hajj: 70]
“Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk, 50.000 tahun
sebelum menciptakan langit dan bumi. Dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air.”
(hadits riwayat Muslim)
Iman kepada takdir punya 4 tingkatan, dan iman yang sempurna harus
mengimani ke-4 tingkat itu, jika hanya sampai tingkat 1 atau 3 maka
imannya masih cacat:
- Percaya bahwa sejak dahulu kala Allah telah MENGETAHUI segala hal yang akan terjadi di dunia ini. Contohnya, sejak dahulu kala Allah telah MENGETAHUI bahwa si X akan mati dengan cara bunuh diri pada jam sekian, tanggal sekian, di tempat A
- Percaya bahwa sejak dahulu kala Allah telah MENULIS APA YANG DIKETAHUINYA ITU. Contohnya, sejak dahulu kala Allah telah MENULIS bahwa si X akan mati dengan cara bunuh diri pada jam sekian, tanggal sekian, di tempat A
- Percaya bahwa sejak dahulu kala Allah telah MENGHENDAKI HAL YANG AKAN TERJADI TERSEBUT (jika Allah tidak menghendaki sesuatu hal, tentu hal itu tidak akan terjadi, karena segala sesuatu hanya bisa terjadi jika diizinkan Allah untuk terjadi). Contohnya, sejak dahulu kala Allah telah MENGHENDAKI bahwa si X akan mati dengan cara bunuh diri pada jam sekian, tanggal sekian, di tempat A
- Percaya bahwa Allah YANG MENCIPTAKAN HAL YANG AKAN TERJADI TERSEBUT (jika Allah tidak menciptakan sesuatu hal, tentu hal itu tidak akan terjadi, karena tidak ada pencipta selain Allah).Contohnya, Allah YANG MENCIPTAKAN KEJADIAN bahwa si X akan mati dengan cara bunuh diri pada jam sekian, tanggal sekian, di tempat A
TAKDIR MANAKAH YANG BISA DIUBAH DENGAN DOA?
Takdir yang bisa diubah dengan doa atau dengan amal baik adalah
takdir kontemporer (sementara), misalnya catatan takdir yang ada di
catatan malaikat. Sedangkan yang di lauhul mahfuz maka tidak akan
berubah, bahkan perbuatan berdoa atau tidak berdoa, itupun sudah
tercatat di lauhul mahfudz. Seseorang yang berdoa pada jam sekian,
tanggal sekian, ditempat B, maka sebenarnya telah ditakdirkan oleh Allah
sejak dahulu kala bahwa orang itu memang akan berdoa pada jam sekian,
tanggal sekian, ditempat B.
Jadi, catatan takdir-takdir kontemporer (sementara) akan berubah-ubah
sehingga isinya menjadi sama dengan “takdir” yang tertulis di lauhul
mahfudz. Bahkan akan terjadinya perubahan pada catatan takdir-takdir
kontemporer(sementara) itupun telah tercatat di lauhul mahfudz.
“Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami… .’” [At-Taubah: 51]
“…Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka saling membunuh. Akan
tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” [Al-Baqarah: 253]
“…Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk … .” [Al-An’aam: 35]
“Dan kalau Allah menghendaki niscaya mereka tidak mempersekutukan(-Nya)… .” [Al-An’aam: 107]
“Dan jikalau Rabb-mu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya… .” [Yunus: 99] [3]
“Allah Yang menciptakan segala sesuatu… .” [Az-Zumar: 62]
Imam Al-Bukhari Rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Khalq Af’aalil
‘Ibaad dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, dia menuturkan, “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah menciptakan semua (makhluk) yang berbuat dan juga sekaligus perbuatannya.”
Barang-siapa berbuat dosa lalu bertaubat, maka ia sesuai dengan sifat
Nabi Adam 'alaihissalam, dan barangsiapa yang meneruskan dosanya serta
berdalihkan dengan takdir, maka ia sesuai dengan sifat iblis. Maka
orang-orang yang berbahagia akan mengikuti bapak mereka (yaitu ADAM),
dan orang-orang yang celaka akan mengikuti musuh mereka, iblis.
APA KEWAJIBAN HAMBA BERKENAAN DENGAN MASALAH TAKDIR?
Oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
Kewajiban seorang hamba dalam masalah ini ialah mengimani qadha’
Allah dan qadar-Nya, serta mengimani syari’at, perintah dan
larangan-Nya. Ia berkewajiban untuk membenarkan khabar (berita) dan
mentaati perintah. [1]
Jika ia berbuat kebajikan, hendaklah ia memuji Allah dan jika ia
berbuat keburukan, hendaklah ia memohon ampun kepada-Nya. Ia pun
mengetahui bahwa semua itu terjadi dengan qadha’ Allah dan qadar-Nya.
Sesungguhnya, ketika Nabi Adam Alaihissalam melakukan dosa, maka dia
bertaubat, lalu Rabb-nya memilihnya dan memberi petunjuk kepadanya.
Sedangkan iblis, ia tetap meneruskan dosa dan menghujat, maka Allah
melaknat dan mengusirnya. Barang-siapa yang bertaubat, maka ia sesuai
dengan sifat Nabi Adam Alaihissalam, dan barangsiapa yang meneruskan
dosanya serta berdalihkan dengan takdir, maka ia sesuai dengan sifat
iblis. Maka orang-orang yang berbahagia akan mengikuti bapak mereka, dan
orang-orang yang celaka akan mengikuti musuh mereka, iblis. [2]
“Dengan pemahaman terhadap qadar Allah dan pelaksanaan terhadap
syari’at-Nya secara benar, maka manusia akan menjadi seorang hamba -yang
hakiki-, sehingga dia akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh
Allah, yaitu para Nabi, ash-shiddiqin, asy-syuhada’ dan ash-shalihin.
Cukuplah dengan persahabatan ini suatu keberuntungan dan kebahagiaan.”
[3]
Kesimpulannya, ia wajib mengimani keempat tingkatan takdir yang telah
disinggung sebelumnya. Yaitu, tidak ada sesuatu pun yang terjadi
melainkan Allah telah mengetahui, mencatat, menghendaki, dan
menciptakannya. Ia mengimani juga bahwa Allah memerintahkan agar
mentaati-Nya dan melarang bermaksiat kepada-Nya, lalu ia melakukan
ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Apabila Allah memberi taufik
kepadanya untuk melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan, maka
hendaklah ia memuji Allah dan meneruskan hal itu. Tetapi apabila dirinya
dibiarkan dan dipasrahkan (oleh Allah) kepada dirinya sendiri, lalu ia
melakukan kemaksiatan dan meninggalkan ketaatan, maka hendaklah ia
beristighfar dan bertaubat.
Kemudian, hamba juga berkewajiban untuk bekerja demi kemaslahatan
duniawinya, dan menempuh cara-cara yang benar yang dapat menghantarkan
ke sana, lalu ia berjalan di muka bumi dan segala penjurunya. Jika
berbagai perkara datang sesuai dengan apa yang dikehendakinya, hendaklah
ia memuji Allah, dan jika datang tidak sesuai dengan yang
diinginkannya, maka ia terhibur dengan qadar Allah. Ia tahu bahwa itu
semua terjadi dengan qadar Allah Azza wa Jalla, dan bahwa apa yang
menimpanya tidak pernah luput darinya, serta apa yang luput darinya
tidak akan pernah menimpanya.
“Jika hamba mengetahui secara global bahwa Allah dalam apa yang
diciptakan dan diperintahkan-Nya memiliki hikmah yang besar, maka hal
ini cukuplah baginya (menjadikannya tenang). Kemudian setiap kali
bertambah ilmu dan keimanannya, maka semakin tampak pula baginya hikmah
Allah dan rahmat-Nya yang mengagumkan akalnya, serta menjelaskan
kepadanya kebenaran apa yang dikabarkan Allah dalam kitab-Nya.” [4]
Bukan menjadi suatu keharusan bagi setiap orang untuk mengetahui
detil pembicaraan tentang iman kepada qadar, tetapi keimanan secara
global ini sudah mencukupi. Ahlus Sunnah wal Jama’ah -sebagaimana yang
dinyatakan oleh mereka- tidak mewajibkan atas orang yang lemah apa yang
diwajibkan atas orang yang mampu.
Alhamdulillaah, selesailah pembahasan kita mengenai dalil-dalil
syari’at, fitrah, akal, dan secara inderawi, yang tidak ada kontradiksi
di dalamnya dan tidak ada kesamaran.
[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia
Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,
Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Footenotes
[1]. Lihat, Jaami’ur Rasaa-il, Ibnu Taimiyyah, (II/341) dan lihat, Dar’ Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql, (VIII/405).
[2]. Lihat, al-Fataawaa, (VIII/64) dan Thariiqul Hijratain, hal. 170.
[3] At-Tuhfah al-Mahdiyyah fii Syarh ar-Risaalah at-Tadmuriyyah,
Syaikh Falih bin Mahdi, (II/140) dan lihat, Taqriib at-Tadmuriyyah,
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 119.
[4]. Majmuu’ul Fatawaa, (VIII/97).
terimaksih informasinya
BalasHapus